Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

‎Politik Uang dari Amplop ke Aplikasi

Namun, perkembangan teknologi dan transformasi keuangan digital di masyarakat membuka jalur baru yang lebih efisien.

|
Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Rusdianto Sudirman Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare  

Oleh: Rusdianto Sudirman

‎Dosen Hukum Tata Negara IAIN Parepare 

TRIBUN-TIMUR.COM - ‎Gelombang reformasi pemilu yang kembali menguat di tengah agenda revisi Undang-Undang Pemilu saat ini menempatkan politik uang digital sebagai bahaya laten terhadap kualitas demokrasi.

Transformasi modus politik uang dari serangan fajar konvensional melalui amplop menjadi transfer melalui dompet digital (e-wallet) tak hanya mempertebal lapisan kecurangan, tetapi juga memperumit instrumen penindakan dan pembuktiannya secara hukum. Sayangnya, regulasi pemilu kita masih gagap dalam merespons fenomena ini.

‎Politik uang dalam bentuk konvensional berupa amplop berisi uang tunai atau  sarung, sejadah, pakaian, dan barang konsumtif lainnya telah lama menjadi musuh dan racun demokrasi.

Namun, perkembangan teknologi dan transformasi keuangan digital di masyarakat membuka jalur baru yang lebih efisien, tak terdeteksi, dan sulit dibuktikan secara hukum.

Penelusuran oleh beberapa pemantau pemilu menunjukkan meningkatnya pola transfer uang langsung melalui aplikasi dompet digital (OVO, DANA, GoPay, Paylater dan lainnya) menjelang hari pemungutan suara, dengan nominal bervariasi dan menyasar pemilih rentan secara geografis dan ekonomi.

‎Tindak pidana pemilu  ini terjadi dalam zona abu-abu hukum, karena peraturan perundang-undangan belum secara eksplisit menyasar bentuk transaksi elektronik sebagai sarana suap elektoral.

Dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Pasal 280 ayat (1) huruf j dan Pasal 523 memang melarang dan mengancam pelaku politik uang dengan pidana, namun norma tersebut masih berorientasi pada transaksi fisik dan langsung (cash hand-in-hand).

Instrumen hukum belum mencakup transaksi berbasis aplikasi elektronik yang bersifat daring, terdesentralisasi, dan lintas akun.

‎Karakter transaksi digital menghadirkan tantangan hukum yang rumit. Pertama, transaksi e-wallet tidak selalu memuat narasi yang jelas, melainkan hanya berupa nominal dan kode transaksi.

Tidak ada "jejak niat" seperti dalam percakapan atau kesepakatan tertulis. Kedua, pelaku dapat menggunakan identitas palsu atau pihak ketiga untuk menghindari keterkaitan langsung dengan peserta pemilu.

Ketiga, dompet digital bukan lembaga perbankan yang tunduk langsung pada pengawasan ketat Otoritas Jasa Keuangan, sehingga sulit menjangkau data transaksi tanpa izin atau kerja sama hukum.

‎Dalam konteks ini, beban pembuktian dalam tindak pidana pemilu menjadi sangat sulit dan rumit. Penegakan hukum pemilu yang berbasis sistem laporan/pengaduan pun tidak cukup responsif karena keterbatasan waktu dan sumber daya dalam menindak pelanggaran secara cepat.

Dalam beberapa kasus, praktik politik uang digital bahkan dianggap sebagai “sumbangan sukarela” yang sah karena tidak memiliki bukti transaksi yang mencantumkan tujuan elektoral.

‎Dalam proses revisi UU Pemilu yang saat ini tengah bergulir, isu politik uang digital harus masuk dalam daftar prioritas substansi yang direvisi.

Setidaknya ada tiga pendekatan legislasi yang dapat ditempuh, Pertama perluasan definisi politik uang, redaksi pasal yang mengatur larangan politik uang harus diperluas mencakup segala bentuk pemberian, janji, atau transfer dalam bentuk uang elektronik, saldo digital, voucher, pulsa, token listrik, dan bentuk insentif digital lainnya yang dilakukan dalam rangka mempengaruhi pilihan pemilih.

Kedua, perlu ada instrumen Pengawasan Teknologi Finansial. Bawaslu perlu diberi kewenangan hukum untuk bekerja sama dengan penyedia jasa keuangan digital dan lembaga otoritas seperti OJK, Bank Indonesia, serta Kemenkominfo guna mengakses dan menganalisis data transaksi yang mencurigakan selama masa kampanye dan masa tenang. 

Ketiga, Penegakan Hukum Digital Forensik, regulasi perlu mewajibkan penyelenggara dan peserta pemilu untuk membuka akses terhadap audit digital atas aliran dana kampanye, serta memberi dasar hukum bagi penyidik tindak pidana pemilu melakukan forensik digital terhadap perangkat komunikasi dan aplikasi keuangan pelaku.

‎Oleh karena itu menurut penulis yang perlu diakomodir oleh pembentuk UU yaitu penambahan norma larangan dalam UU Pemilu yang secara eksplisit menyebutkan bentuk-bentuk pemberian digital.

Kalimat yang tegas dan tidak multitafsir penting untuk mencegah adanya penyelundupan hukum yang dimanfaatkan peserta pemilu.

Selain itu  diperlukan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan antara hukum pemilu, UU ITE, dan peraturan otoritas fintech diperlukan untuk mengintegrasikan kerja-kerja pengawasan, pelaporan, hingga pemidanaan dalam konteks keuangan digital. 

Selanjutnya diperlukan penguatan kelembagaan Bawaslu dalam bidang pengawasan digital.

Perlu dibentuk satuan kerja atau divisi pengawasan pemilu berbasis digital yang bertugas melakukan pemantauan tren digital, pelacakan transaksi mencurigakan, serta penyusunan laporan elektronik berbasis bukti digital. 

Dan Hal yang paling penting yaitu pendidikan pemilih berbasis literasi digital harus masuk dalam kurikulum sosialisasi pemilu oleh KPU.

Pemilih perlu diberi kesadaran bahwa menerima uang dalam bentuk digital tetaplah bentuk korupsi elektoral yang merusak integritas suara mereka.

Transformasi digital sejatinya memberi peluang perbaikan bagi demokrasi, tapi juga membawa risiko baru jika tidak diantisipasi oleh regulasi.

Politik uang yang memanfaatkan platform digital adalah wajah baru dari kecurangan pemilu yang tak kalah berbahaya dari praktik konvensional. Dalam situasi seperti ini, negara tidak boleh tinggal diam.

Revisi UU Pemilu harus menjadi momen penegasan bahwa hukum selalu siap merespons perkembangan zaman. Jika regulasi tidak berbenah, maka teknologi akan terus dimanfaatkan sebagai alat baru untuk mengulang kecurangan lama.

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved