Pemilik Cafe di Luwu Khawatir Royalti Lagu Ancam Usaha Kecil
Pemilik History Cafe di Kecamatan Larompong, Luwu, Sulsel, Ardi, mengaku belum tahu secara rinci polemik royalti lagu.
Penulis: Muh. Sauki Maulana | Editor: Alfian
TRIBUN-TIMUR.COM, LUWU – Polemik pembayaran royalti lagu yang diputar di warung kopi atau cafe belakangan ramai diperbincangkan publik.
Isu ini mencuat setelah Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI) melaporkan Mie Gacoan Bali ke polisi karena memutar lagu tanpa izin dan tidak membayar royalti.
Pemilik History Cafe di Kecamatan Larompong, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan Ardi, mengaku belum mengetahui secara rinci polemik antara LMK SELMI dan Mie Gacoan Bali tersebut.
Menurutnya, pelaku usaha perlu mendapatkan edukasi dari pihak terkait, termasuk pencipta musik.
"Harus ada edukasi yang jelas. Karena ada juga musisi yang tidak mempermasalahkan lagunya diputar. Saya lihat, misalnya, Dewa 19 sempat posting hal itu di media sosial. Tapi koreksi saya kalau keliru," ujar Ardi saat dikonfirmasi, Kamis (7/8/2025).
Ardi mengaku khawatir jika kebijakan pembayaran royalti musik diberlakukan secara ketat, bisa berdampak pada kelangsungan usaha kecil seperti miliknya.
"Royalti ini bisa jadi beban tambahan dalam biaya operasional. Padahal kami putar musik cuma untuk bikin pengunjung nyaman," keluhnya.
Baca juga: Soal Bayar Royalti Lagu Pemilik Cafe di Takalar: Kalau Sudah Ketuk Palu, Kita Ikut
Dosen UIN Alauddin Palopo, Alghazali mengaku, pemutaran lagu di tempat usaha, termasuk kafe dan warkop, untuk kepentingan komersial, diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Kata Alghazali, undang-undang ini menyatakan pencipta atau pemegang hak cipta memiliki hak eksklusif untuk mendapatkan royalti atas penggunaan ciptaannya.
"Termasuk dalam bentuk lagu atau musik, di tempat-tempat komersial," bebernya.
Alumnus Magister Hukum Universitas Hasanuddin ini mengaku, setiap orang menggunakan lagu untuk kepentingan komersial, wajib meminta izin dan membayar royalti kepada pemegang hak cipta atau melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang ditunjuk.
Hanya saja sambung Alghazali, sering kali, persepsi owner warkop atau cafe merasa sudah membayar hak cipta dengan cara membeli kaset ataupun berlangganan.
"Persepsi 'sudah bayar' sebagian pemilik kafe mungkin merasa sudah membayar hak cipta dengan cara lain, misalnya dengan membeli kaset atau CD asli, atau berlangganan layanan musik berbayar seperti Spotify atau YouTube Premium," ujarnya.
"Padahal, langganan tersebut bersifat personal dan tidak memberikan lisensi untuk penggunaan komersial di ruang publik. Sosialisasi terkait perbedaan ini sering kali tidak sampai kepada pelaku usaha," tambah Alghazali.
Ia menerangkan, perlu kerja sama kolekt8f antar lembaga untuk memberikan edukasi serta mensortir lagu yang aman untuk dimainkan.
"Tentu dengan persetujuan band atau pencipta musik, lembaga otoritas yang bertanggung jawan, serta melibatkan perhimpunan owner cafe ini," tandasnya.(*)
Pupuk Indonesia Pastikan Stok Pupuk di Luwu Aman |
![]() |
---|
Badly Ayatullah Pebalap Asal Lutim Sulsel Sabet 2 Podium di IATC Malaysia |
![]() |
---|
GulaTa Diminati, Produk Gula Semut Petani Hutan Luwu Tembus Pasar Lokal |
![]() |
---|
Soal Bayar Royalti Lagu Pemilik Cafe di Takalar: Kalau Sudah Ketuk Palu, Kita Ikut |
![]() |
---|
Polemik Royalti Lagu Bikin Pengusaha Kafe dan Resto di Makassar Resah |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.