Beatiful Malino 2025
Balla Lompoa dan Balla Jambu, Warisan Hidup Budaya 400 Tahun Kerajaan Gowa
Ada dua bangunan kayu yang seolah bernyawa di Kecamatan Tinggi Moncong, Kabupaten Gowa Balla Lompoa dan Balla Jambu.
Penulis: Muh. Hasim Arfah | Editor: Muh Hasim Arfah
Hal ini adalah bagian dari hidup itu sendiri.
Dari peristiwa inilah kampung-kampung baru lahir.
Tanah-tanah baru dibuka.
Tetapi yang mereka bawa bukan sekadar kapak dan cangkul.
Mereka membawa nilai.
Mereka membawa Adak.
Sementara itu, di tempat lain yang lebih tinggi, secara harfiah, kawasan yang disebut lappara atau dataran tinggi, tumbuh menjadi kota kecil bernama Malino.
Dahulu sunyi, kini ramai.
Malino bukan sekadar destinasi wisata yang ramai dikunjungi karena pemandangan pinus atau air terjunnya yang memikat.
Ia kini menjadi bagian penting dari wajah baru Kabupaten Gowa, terutama di sektor ekowisata.
Pemerintah daerah tak tinggal diam.
Mereka melihat potensi yang bisa tumbuh jika Malino dikelola dengan serius.
Salah satu tonggak penting adalah ketika kebun teh di sana, yang sebelumnya dikelola oleh PT Nitto, beralih ke tangan investor asing.
Tapi alih-alih menjadi kawasan industri yang kaku, tempat itu justru berubah menjadi ruang perjumpaan antara alam dan manusia.
Dari atas bukit, para pengunjung bisa menyeruput teh sambil menikmati kabut yang perlahan turun, seolah alam sengaja memperlambat waktu.
Bicara tentang Buluttana, nama itu bukan sembarang sebutan.
Ia berakar dari kata dalam bahasa Makassar, bulu’ berarti bukit, tana berarti tanah.
Gabungan yang sederhana, tetapi maknanya dalam.
Dalam narasi masyarakat setempat, ada cerita tentang seorang raja yang menyingkir dari Kerajaan Gowa dan menemukan bukit strategis.
Bukit itu hanya punya satu jalur masuk, cocok dijadikan pertahanan.
Maka dinamailah tempat itu, Buluttana.
Hingga kini, nama itu tetap dipakai.
Ia tak hanya menjadi penanda geografis, tetapi juga penanda sejarah dan identitas.
Karena di sanalah, tepat di pinggir Sungai Jeneberang, berdiri kampung tertua yang menjadi asal-usul kelurahan Buluttana saat ini.
Mereka yang tinggal di Buluttana tidak hanya tinggal di ruang fisik.
Mereka hidup dalam ruang budaya yang punya akar kuat.
Komunitas Adak Sampulonrua memegang teguh empat pokok ajaran yang menjadi panduan dalam menjalani hidup.
Tapi yang menarik, nilai-nilai ini tidak kaku. Mereka hidup dan tumbuh. Mereka membuka pintu pada hal-hal baru, tapi tak pernah kehilangan jati diri.
Falsafah yang mereka anut tak melarang perubahan, tapi menyaringnya.
Seperti air yang disaring sebelum diminum, nilai-nilai baru hanya diterima jika memberi manfaat.
Yang membawa mudarat? Ditolak dengan tenang, tanpa harus gaduh.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.