Opini Anshar Aminullah
Gajah dalam Ruang Demokrasi
Pidato ini juga menandai era baru dari parpol yang pernah menggunakan jargon partai anak muda dan partainya para Bro dan Sis.
Anshar Aminullah
(Mahasiswa Doktoral Sosiologi Universitas Indonesia)
TRIBUN-TIMUR.COM - "Mungkin orang mengaggap kita masih gajah yang kecil, tapi gajah yang kecil itu tetap besar. Jadi lihat nanti, 2029 kita akan jadi partai yang besar".
Kalimat ini disambut gemuruh tepuk tangan para hadirin, yang berada dalam ruangan kongres PSI pada pidato kemenangan Kaesang Pangarep.
Pidato ini juga menandai era baru dari parpol yang pernah menggunakan jargon partai anak muda dan partainya para Bro dan Sis.
Ini tak hanya sekedar perubahan dari tangan ke belalai, namun juga sebagai bentuk evolusi PSI dalam spirit gajah pada ruang tamu demokrasi di Indonesia.
Cukup serius warning kehadiran mereka bagi parpol-sarpol besar pada kontestasi di 2029 nanti. Pasca terpilihnya kembali kader pendatang baru mereka Kaesang Pangarep yang turut menggandeng sang bapak, mantan orang nomor 1 di negeri ini untuk menjadi bagian penting dalam perjalanan panjang partai yang sedang semangat-semangatnya dengan logo barunya ini.
Upaya mengangkat citra dan perolehan suara melalui support langsung sang bapak adalah hal lumrah dalam demokrasi. Sebutlah Ferdinand "Bongbon" Marcos Jr berhasil melenggang jauh berkat nama besar sang ayah Ferdinand Marcos Sr yang pernah menjabat presiden selama dua dekade.
Meskipun pemerintahannya berakhir terguling melalui aksi revolusi rakyat di tahun 1986, namun nama besarnya, masih mampu membawa anaknya ketampuk tertinggi 36 tahun kemudian.
Perolehan hasil akhir PSI di Pemilu 2024 tak buruk-buruk amat. Berada di kisaran angka 2.40 Juta suara atau sekitar 3.13 persen suara sah nasional (KPU RI 2024). Presentase ini memang tetap saja berada di bawah ambang batas 4?n ikut mengubur asa PSI mendudukkan kadernya di Senayan hingga 2029.
Namun dengan modal 33 kursi untuk level DPRD Propinsi, dan 149 kursi di semua Kabupaten/Kota se Indonesia (Wikipedia, 2024), tentu menjadi modal yang cukup bagus bagi putra bungsu mantan Walikota Solo 2005-2012 ini.
Beban Simbolik Yang Prematur?
Dalam banyak makna simbolik, gajah selalu melambangkan kebesaran, daya ingat yang bagus, stabilitas serta kekuatan moral yang bisa dipertanggung jawabkan.
Pilihan logo baru ini tentu saja mengandung pesan tersirat kepada para kompetitor parpol yang lebih senior, bahwa mereka kini hadir dengan kekuatan baru, sebuah kekuatan gajah yang siap beradu dengan kuatnya banteng, perkasanya garuda dan lincahnya burung elang. Mereka siap berebut suara walau ditengah terik matahari, dan berada di wilayah yang dulunya dipenuhi pohon Beringin.
Meskipun gajah kecil ini akan menghadapi tantangan pertama, yakni persoalan stigma dalam capaian selama ini. Tentu ini adalah hal yang sulit dihindari oleh PSI, dimana branding dan simbolnya memang serasa belum berimbang dengan pencapaian elektoralnya dalam dua kali keikut sertaannya di pemilu.
Kendala lainnya adalah pencitraan yang lebih mendominasi dibanding konsolidasi akar rumput. Jualan program "PSI Menang, Gratis BPJS" tetap saja tak mampu mengangkat lebih elektabilitas di pemilu kemarin.
Bahkan disinyalir campur tangan kekuatan besar milik negara ikut mensupport hingga ke level grassroots, masih juga belum mampu mengangkat ke ambang batas resmi. Namun hadirnya putusan Mahkamah Konstitusi nomor 116/PUU-XXI/2023 beberapa waktu lalu, seolah menjadi angin segar bagi PSI.
Dimana andaikan perolehan suaranya tak mengalami perubahan signifikan, putusan ini juga tentu menjadi jalan tol ke Senayan bagi PSI di 2029 nanti. Namun yang namanya melintas di jalan tol, yah tetap saja membutuhkan bensin elektoral yang real, PSI tentu sangat paham dengan hal ini.
Persoalan yang tidak kalah krusialnya, adalah isyu ijazah palsu yang masih mendera ayah dari Ketua Umum partai ini. Yang hingga saat ini masih berpolemik dan menimbulkan beragam reaksi. Respon yang kurang lebih tetap membawa dampak kurang bagus bagi upaya partai ini meraih simpati khalayak.
Pun dengan isyu pemaksulan sang kakak dari posisi wakil pemimpin tertinggi di Indonesia. Berbagai jejak digital serta perjalanan akademik Wapres ke 14 ini, masih menduduki rating populer di berbagai medsos dan group-group Whatsapp.
Jejak dan perjalanan studinya ini kerapkali dipantaskan dengan hasil output berupa kualitas SDM dari putra sulung presiden ke 7 ini. Kedua isyu ini berpotensi menjadi penyumbang signifikan minimnya minat publik untuk mencoblos para caleg, serta calon pemimpin usungannya nanti di 2029.
Kondisi ini jauh hari memang telah diingatkan oleh Habermas (1962) yang melihat ruang publik jika di era sekarang ini tentu tak mengecualikan media sosial dan grup WA sebagai arena diskursus rasional. Dimana isu akademik yang muncul tanpa ada upaya rasionalisasi yang kuat, maka ruang publik membentuk diskursus negatif, dan Ini dapat dipastikan akan semakin memperburuk krisis kepercayaan (trust deficit) terhadap partai maupun tokoh objeknya.
Dan Erving Goffman (1956) semakin mempertegas situasi rumit diatas sebagai “manajemen kesan” (impression management), dimana saat simbol kredibilitas rusak, maka semua panggung juga akan ikut runtuh.
Usia Belia, Beban Dewasa
Salah satu Dewan Pimpinan Wilayah yang menarik perhatian pasca pelaksanaan Kongres 19-20 Juli kemarin adalah Sulsel. Mencuatnya nama MFG, putra Ketua Nasdem Sulsel, RMS untuk memimpin partai Solidaritas Indonesia di tingkat wilayah.
Tentu ini sebuah rekor tersendiri bagi seorang MFG, menjadi pemimpin muda partai level Propinsi tepat di kisaran Usia 19 tahun. Usia yang bagi kebanyakan anak muda lebih memilih untuk asyik dan seru dalam aktivitas belajar, membuat resume dan makalah di bangku kuliah. Plus sesekali memegang megaphone sambil nahan truk buat orasi di depan ban yang sedang terbakar.
Juga memang tidak apple to apple, jika membandingkan kesibukan saya pribadi di usia demikian.
Dimana saat masih 19 tahun, harus bergelut dengan memikul keranjang ikan dari perahu ke lantai atas pelelangan ikan, sekedar membantu jualan ikan mendiang bapak saya demi menyambung hidup, mengharap sedikit rupiah, untuk memastikan uang iuran SPP bisa terbayar jelang masa akhir pelunasan.
Sementara MFG dengan segala fasilitas yang tersedia, telah memikul tanggung jawab besar guna menyambung kelangsungan partai politik, dan harus memastikan perolehan suara signifikan jelang akhir rekapitulasi. Perbandingannya Langit dan bumi khan?
Dalam banyak kondisi, memimpin organisasi di usia yang masih sangat muda, kadangkala lebih tersorot pada aspek kedewasaan publiknya. Sebuah bentuk kedewasaan yang hingga saat ini belum bisa didownload lewat koneksi internet namun lebih bisa didapati lewat koneksi internal dengan jaringan yang harus kuat.
Namun kehadiran MFG kedepan sepertinya akan menghadirkan atmosfer berbeda. Anak muda yang berasal dari Bumi Nenek Mallomo, tokoh legenda adat dan intelektual yang dikenal lewat kalimat legendarisnya:
“Resopa temmangingngi namalomo naletei pammase dewata.” (Hanya dengan kerja keras dan keikhlasan, rahmat Tuhan bisa dicapai).
Jika MFG mampu membawa spirit legenda ini kedalam kepemimpinannya, termasuk melepaskan diri dari bayang-bayang partai berlogo lingkaran biru-bulan sabit orange pimpinan sang ayah, maka kehadiran Gajah dalam ruang demokrasi khususnya di Sulsel, akan memberikan nuansa yang semakin dinamis.
Mungkin sesekali kita perlu tetap menoleh ke hikmah di masa lalu, tentang apa yang digambarkan dalam Surat Al-Fil, bahwa bukan besarnya pasukan gajah yang menentukan sebuah kemenangan, melainkan arah langkah serta niat di balik perjalanan itu.
Jika gajah dipandu dengan kebijaksanaan oleh seorang MFG, bukan kesombongan, maka ia bisa menjadi pelindung, bukan ancaman. Sebab dari sanalah, sejarah akan mencatat bukan sekadar siapa yang datang, tapi apa yang sedang diperjuangkannya.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.