Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Politik yang Dikerjakan: Dari Lorong ke Kota, dari Warga ke Demokrasi

Ia mulai terdengar seperti slogan kosong yang terpajang di baliho dan pidato seremonial.

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Asra Tillah Direktur Profetik Institute 

Tentu, jalan ini tidak mudah. Kita harus menghadapi birokrasi yang aroma feodalnya terkadang masih cukup menyengat, budaya politik yang paternalistik, dan bahkan apatisme warga yang telah letih berharap.

Tapi di balik semua itu, saya melihat api kecil yang terus menyala. Di lorong-lorong Makassar, komunitas-komunitas kecil tetap tumbuh: dari petani kota yang menanam sayur di pekarangan sempit, hingga pemuda-pemudi yang membuka perpustakaan gratis dari kardus bekas.

Mereka adalah para pekerja publik yang sejati, meskipun negara belum memberi mereka nama.

Jika kota ini serius ingin membangun demokrasi yang tahan uji, maka ia harus berpaling kepada warga. Bukan sekadar untuk mendengar aspirasi mereka, tetapi untuk berbagi ruang, kuasa, dan tanggung jawab.

Ini membutuhkan reformasi dalam cara kita memandang kewargaan. Warga bukan beban pembangunan, mereka adalah tulang punggungnya.

Maka tak cukup hanya memberi mereka bantuan sosial atau insentif lorong, kita harus memberi mereka suara, kepercayaan, dan ruang untuk bekerja bagi kota.

Boyte dalam tulisannya menolak politik sebagai kompetisi yang menghabiskan energi demi suara. Ia menawarkan politik sebagai kolaborasi.

Sebuah kerja lintas batas, komunikasi multiarah, kerjasama dalam membangun public value, yang melibatkan semua orang yang mencintai tempat tinggalnya.

Ia percaya bahwa pekerjaan publik tidak hanya membentuk hasil, tetapi juga membentuk manusia: melatih kesabaran, kepemimpinan, dan imajinasi kolektif. Dalam dunia yang penuh polarisasi, pekerjaan publik bisa menjadi jembatan yang menyatukan.

Barangkali inilah yang paling kita butuhkan saat ini: politik yang tidak menjanjikan surga, tapi yang mengajak kita bekerja bersama untuk membangun rumah.

Politik yang tidak menakut-nakuti dengan musuh imajiner, tapi yang merangkul dengan mimpi yang dikerjakan.

Politik yang tidak hidup di televisi atau media sosial, tapi di lorong-lorong kecil tempat warga saling menyapa dan bekerja.

Sebagai penutup, saya ingin meminjam semangat Bung Karno, yang pernah berucap bahwa “sosio-demokrasi adalah demokrasi yang berdiri dengan dua kakinya di dalam masyarakat.”

Demokrasi sejati bukanlah imitasi dari buku-buku teks, ruang-ruang rapat, kelas-kelas kampus ataupun produk elite teknokrat.

Ia adalah hasil kerja warga yang berani bermimpi, dan lebih berani lagi untuk mewujudkannya bersama-sama.

Di situlah everyday politics menemukan rumahnya: bukan di pusat kekuasaan, tapi di setiap langkah kecil warga yang tak pernah berhenti memperbaiki dunia.

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Reshuffle Menteri

 

Reshuffle Menteri

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved