Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Politik yang Dikerjakan: Dari Lorong ke Kota, dari Warga ke Demokrasi

Ia mulai terdengar seperti slogan kosong yang terpajang di baliho dan pidato seremonial.

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Asra Tillah Direktur Profetik Institute 

BPS Kota Makassar mencatat bahwa hanya sekitar 38 persen warga merasa terlibat dalam pengambilan keputusan pembangunan.

Sementara itu, lebih dari 15 ribu pengurus RT-RW menjadi aktor mikro yang potensial, tapi minim kapasitas dan daya tawar.

Di tengah itu semua, hadir program-program seperti Lorong Wisata dan Bank Sampah, yang sering dipromosikan sebagai bukti keberhasilan partisipasi publik.

Tapi benarkah warga menjadi subjek di sana, atau sekadar pelengkap narasi keberhasilan pemerintah?

Boyte mengajak kita untuk melihat lebih dalam. Ia tak puas dengan demokrasi prosedural yang denyut nadi hidupnya hanya lima tahun sekali.

Baginya, demokrasi sejati adalah demokrasi yang hidup setiap hari—demokrasi yang dikerjakan, bukan yang hanya diklaim.

Maka ia menolak dikotomi antara negara dan masyarakat. Bagi Boyte, negara bukan satu-satunya pengatur kehidupan publik.

Warga, dengan pengalamannya, dengan keberaniannya, adalah pengelola sekaligus pencipta dari kehidupan bersama.

Dalam semangat itu, saya percaya Makassar membutuhkan semacam kebangkitan dari bawah.

Sebuah pergeseran dari politik representatif menuju politik yang dikerjakan secara kolektif.

Bukan berarti kita meninggalkan sistem formal, tetapi kita memperluas panggungnya agar warga bisa lebih dari sekadar penonton.

Ini artinya, kita harus membongkar cara lama yang menjadikan warga sebagai klien birokrasi, dan mulai membayangkan mereka sebagai mitra dalam perancangan kota.

Salah satu jalan ke arah itu adalah dengan membangun sekolah-sekolah kewargaan di tingkat kelurahan dan lorong.

Bukan sekolah dalam arti bangunan fisik, tapi ruang belajar bersama, tempat warga bisa memahami hak dan tanggung jawabnya, belajar menyusun anggaran komunitas, memahami peta kekuasaan, hingga merumuskan mimpi bersama.

Ruang semacam ini bukan utopia. Di beberapa kota, dari Porto Alegre hingga Kerala, ruang-ruang itu sudah membuahkan hasil: warga menjadi sadar, kritis, dan mampu merancang masa depan tanpa harus tergantung pada elite.

Halaman
123
Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Reshuffle Menteri

 

Reshuffle Menteri

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved