Opini
Politik yang Dikerjakan: Dari Lorong ke Kota, dari Warga ke Demokrasi
Ia mulai terdengar seperti slogan kosong yang terpajang di baliho dan pidato seremonial.
Oleh: Asra Tillah
Direktur Profetik Institute
TRIBUN-TIMUR.COM - Beberapa dekade terakhir, demokrasi telah menjadi mantra yang yang paling sering dirapalkan, slogan yang paling sering disebutkan, serta janji yang paling sering diucapkan.
Ia menjanjikan keadilan, keterbukaan, dan kesetaraan. Tapi seperti semua janji yang terlalu sering diucapkan, demokrasi lambat laun kehilangan pesonanya.
Ia mulai terdengar seperti slogan kosong yang terpajang di baliho dan pidato seremonial.
Warga tak lagi menunggu jawaban dari ruang dewan atau kantor walikota, melainkan mulai bertanya pada dirinya sendiri: benarkah ini demokrasi? Seperti inikah demokrasi?
Harry C. Boyte, seorang pemikir politik asal Amerika Serikat, dalam bukunya Everyday Politics: Reconnecting Citizens and Public Life (2004), mencoba menjawab kegelisahan itu dengan jalan yang tak lumrah: ia membawa kita kembali ke politik warga, politik sehari-hari (everyday politics).
Bukan politik yang berpentas di panggung kampanye tatkala pemilu atau pilkada, melainkan politik yang tumbuh di dapur, lorong, ruang kelas, bahkan di warung kopi pinggir jalan.
Baginya, politik bukanlah hak eksklusif pejabat, konsultan, atau pemilik modal. Politik adalah milik semua orang yang bersedia bekerja demi kebaikan bersama—dari hal yang paling kecil, hingga yang paling struktural nan kolosal.
Di tengah maraknya demokrasi yang berbau pasar—di mana warga direndahkan menjadi konsumen layanan publik—Boyte mengusulkan sebuah konsep: public work.
Sebuah kerja publik, yang bukan sekadar kerja sosial atau kerja amal (charity), melainkan tindakan produktif yang dilakukan warga biasa demi memperbaiki kehidupan bersama.
Dalam konsep ini, warga bukan objek dari kebijakan, melainkan pencipta dari masa depannya sendiri. Mereka tidak menunggu perubahan, mereka mengerjakannya.
Lalu bagaimana dengan Makassar, kota yang sedang tumbuh, tapi juga sedang gamang. Kota yang menampakkan dua wajahnya secara bersamaan: satu yang berkilau dengan pembangunan infrastruktur, dan satu lagi yang muram di lorong-lorong sempit penuh anak muda yang menganggur.
Kota ini, seperti juga kota-kota besar lainnya, telah lama mengalami tegangan antara harapan dan kenyataan. Di atas langitnya berkibar semangat smart city dan digitalisasi tata kelola.
Namun di bawahnya, suara warga kerap terpinggirkan, hanya dipanggil saat Musrenbang, lalu dilupakan setelah itu.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.