Opini
Negaranya Kaya Tapi Manusianya Miskin
Namun, ironisnya, kemakmuran itu tak kunjung merata hingga ke rakyatnya yang paling dasar.
Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2025, total jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 juta orang.
Sedangkan jumlah setengah pengangguran alias pengangguran terpaksa yang saat ini bekerja kurang dari 35 jam per minggu dan masih mencari pekerjaan tambahan, jumlahnya mencapai 11,67 juta orang.
Alhasil, total sebanyak 18,95 juta orang di Indonesia saat ini tak punya pekerjaan dan masih mencari pekerjaan lebih layak.
Gelombang PHK juga umeningkat di sektor padat karya dan diperkirakan akan terus berlanjut. Situasi ketenagakerjaan dalam negeri yang memburuk itu diperkirakan akan terus berlanjut sampai ada langkah konkret dari Pemerintah RI (https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news).
Lebih pedih lagi, nasib rakyat acapkali terjebak dalam siklus kemiskinan yang panjang: generasi tua yang tak pernah melek pendidikan formal, generasi muda yang bekerja di sektor informal—petani subsisten, nelayan tradisional, buruh konstruksi harian—serta warga pinggiran kota yang hidup dari upah minimum.
Infrastruktur yang belum menyentuh seluruh pelosok memperburuk keadaan. Selain itu, modal untuk memulai usaha kecil sering sulit diakses karena syarat kredit bank yang tinggi, biaya administrasi besar, dan bunga yang memberatkan.
Ada dua pihak yang disorot ketimpangannya dalam dialog Panji Koming tersebut, yaitu; penguasa dan rakyat.
“Yang satu miskin adab dan akal,”—ini merujuk pada pemimpin yang gagal menghadirkan tata kelola yang baik. Korupsi, dan praktek nepotisme, clientelisme, serta keputusan kebijakan yang sering menguntungkan segelintir kelompok elit ekonomi dan politik—semua itu melahirkan disequilibrium distribusi kekayaan.
Belenggu Korupsi
Ketika kepala daerah menggunakan dana desa untuk proyek fiktif, ketika pejabat pusat menikmati fasilitas mewah namun publik tidak merasakan dampak nyata dari pajak, ketika proyek strategis hanya menguntungkan kontraktor besar—adab dan akal yang seharusnya jadi landasan moral kenegaraan ‘miskin’.
Sementara itu, “yang satu lagi dimiskinkan penguasanya”—merujuk pada rakyat awam yang secara sistematis dikurangi haknya.
Potensi hasil bumi diambil, dikelola, dan dijual, sementara dana keuntungan dipindahkan ke kota besar atau bahkan luar negeri. Ketika perusahaan tambang asing atau domestik menambang, rakyat setempat hanya mendapat janji pekerjaan alih-alih kemakmuran.
Ketika hutan ditebang untuk sawit, rakyat desa kehilangan mata pencaharian tanpa modal manusia untuk bertahan. Relokasi demi pembangunan sering berujung pada masyarakat adat yang dipindahkan tanpa kompensasi layak.
Dialog Panji Koming menyiratkan kritik tajam: kekayaan alam itu tak akan bermakna bila tak dibarengi dengan tata kelola manusia yang baik dan pemerataan hasil bagi rakyat.
Justru potensi itu bisa menjadi bumerang—sumber konflik, ketimpangan, dan pemberantakan kondisi sosial. Sumber daya alam bisa jadi curse kalau dikelola tanpa akal sehat dan adab, dan tanpa sadar, penguasa menjadi alat yang memiskinkan rakyatnya sendiri.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.