Opini
Media Harus Berpihak pada Kebenaran
Ia justru bisa menjadi bentuk lain dari sebuah keberpihakan — keberpihakan kepada sang penindas.
Oleh: Aswar Hasan
Dosen Fisipol Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM - Di tengah dunia yang semakin bising dengan hoaks, manipulasi data, untuk kekuasaan yang juga kian lihai memoles citra. Maka, informasi bukan lagi sekadar kabar. Ia adalah amanah.
Amanah yang menuntut tanggung jawab, keberanian, dan integritas. Media yang benar tidak hanya menyampaikan apa yang terjadi, tapi juga berani menyuarakan apa yang semestinya terjadi.
Karena di tengah ketimpangan dan ketidakadilan, netralitas bukanlah kebajikan.
Ia justru bisa menjadi bentuk lain dari sebuah keberpihakan — keberpihakan kepada sang penindas.
Olehnya itu, ketika keadilan dilecehkan, dan hukum dipermainkan, serta suara rakyat diabaikan, maka seharusnya media menjadi pagar terakhir tempat rakyat bersandar.
Khususnya ketika semua institusi lain telah menjadi rapuh, di mana suara-suara kecil bisa terdengar, dan tempat di mana kebenaran bisa hidup dan diperjuangkan.
Tapi kenyataan hari ini tidak seindah idealnya. Tak semua media berani memegang peran ini. Banyak yang lebih memilih diam.
Ada yang sengaja ikut arus. Bahkan lebih menyedihkan lagi, tak sedikit yang menjelma menjadi corong kekuasaan — menjual idealisme, integritas, dan nurani hanya demi klik, rating, atau kontrak iklan.
Padahal, tanggung jawab jurnalisme adalah tanggung jawab moral. Ia bukan sekadar bisnis konten, bukan hanya mesin pencari trafik, dan bukan pula alat propaganda. Jurnalisme adalah keberanian untuk berpihak.
Berpihak pada mereka yang tertindas. Pada kebenaran yang tersembunyi. Pada suara-suara yang disingkirkan oleh narasi arus utama kekuasaan.
Dalam Islam, amanah itu adalah perkara berat. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Ahzab ayat 72: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, lalu dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh.” Ayat ini mengajarkan betapa beratnya amanah — termasuk amanah menyampaikan kebenaran.
Maka menjadi jurnalis media, bukan hanya tentang keterampilan menulis atau meliput, tapi tentang kesanggupan menanggung dan memperjuangkan kebenaran.
Di tengah situasi bangsa yang semakin rawan ini — dimana kebohongan bisa menjadi kebijakan, dan pencitraan bisa menutupi kenyataan — media tidak boleh ikut larut.
Justru dalam keadaan seperti inilah, media harus menjadi perahu terakhir yang membawa rakyat menyeberangi badai dusta. Media harus menjadi penyangga terakhir nalar publik, benteng terakhir akal sehat dan nurani bangsa.
Sayangnya, sebagian media hari ini justru menyublim ke dalam kekuasaan. Mereka menggadaikan objektivitas demi kedekatan politik.
Mereka mengatur narasi untuk menjaga kepentingan tertentu. Mereka lebih takut kehilangan iklan daripada kehilangan kepercayaan publik. Mereka lupa, bahwa ketika media tunduk, maka demokrasi sedang sekarat dan rakyat menjadi korban.
Di sinilah kita melihat pentingnya keberanian. Keberanian media untuk berkata tidak pada kompromi. Keberanian untuk tidak netral di tengah ketidakadilan.
Sebab di dunia yang timpang, sikap netral adalah pembiaran. Di tengah penindasan, diam adalah bagian dari kezaliman itu sendiri.
Media harus hadir sebagai penanda perlawanan atas pembungkaman. Media harus dibangun atas keyakinan bahwa kebenaran tidak netral. Kebenaran harus diperjuangkan.
Tidak semua informasi layak diberi tempat setara, karena tidak semua pihak berbicara dari landasan moral yang sama.
Media tidak boleh menjadi penonton atas kebusukan yang terjadi. Media tidak boleh menjadi alat untuk melanggengkan kuasa tanpa kritik. Media pantang menjadi penyalur suara-suara palsu demi kepentingan elite.
Ia harus menjadi rumah bagi suara yang jujur, walau lirih. Tetapi menjadi cermin bagi luka rakyat, bukan kaca pembesar untuk citra penguasa.
Media massa harus menolak tunduk. Jika media ikut diam, lalu siapa yang akan bersuara? Jika media ikut tunduk, lalu siapa yang akan berdiri bagi kebenaran?
Dan jika semua media ikut menyesuaikan diri demi kenyamanan, lalu siapa yang akan membela rakyat saat ditindas? Inilah permasalahan kita.
Informasi adalah amanah. Ia bukan alat. Ia bukan dagangan. Ia bukan sarana untuk menutupi keburukan dengan kemasan.
Informasi adalah jantung dari demokrasi dan denyut dari keadilan. Tanpa informasi yang berpihak pada kebenaran, rakyat akan terbutakan sehingga bangsa kehilangan arah.
Olehnya itu, kita butuh media yang berani. Yang jujur. Yang setia pada nurani. Yang siap menjadi pagar terakhir saat semua kekuatan lain runtuh.
Media yang tidak hanya memantulkan apa yang terjadi pada bangsanya tapi juga menuntun arah yang seharusnya.
Keberanian itulah makna yang sesungguhnya dari jurnalisme yang bermartabat. Dan, disitulah makna yang sesungguhnya bahwa pers adalah pilar keempat dari demokrasi.
Betapa tidak, karena kekuatannya terletak pada pengaruh terhadap opini publik dan kemampuannya mendorong transparansi serta keadilan sosial.
Jika pers dilemahkan, maka demokrasi akan pincang — karena pengawasan publik terhadap kekuasaan tidak lagi efektif. Maka dari itu, kebebasan pers adalah ukuran kesehatan demokrasi. Wallahu a’ lam bisawwabe.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.