Opini
Menata Ulang Demokrasi Melalui Revisi Regulasi Pemilu
Situasi ini menciptakan kebingungan baik bagi penyelenggara maupun pemilih, serta membuka ruang bagi ketidakpastian hukum.
Oleh: Endang Sari
Dosen Ilmu Politik Fisip Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM - PEMILIHAN umum merupakan fondasi utama demokrasi, karena melalui mekanisme inilah rakyat dapat menyalurkan aspirasi politik mereka secara langsung dan sah.
Dalam pemilu, setiap warga negara memiliki hak yang setara untuk menentukan siapa yang akan mewakili mereka di lembaga legislatif maupun eksekutif.
Proses ini bukan hanya tentang memilih pemimpin, tetapi juga tentang mempercayakan masa depan bangsa kepada individu atau partai politik yang dianggap mampu mewujudkan harapan kolektif.
Sayangnya, regulasi pemilu saat ini masih menyimpan berbagai kelemahan, mulai dari tumpang tindih aturan hingga ketidaksinkronan antara Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada.
Situasi ini menciptakan kebingungan baik bagi penyelenggara maupun pemilih, serta membuka ruang bagi ketidakpastian hukum.
Maka, regulasi yang membingungkan justru menghambat kebebasan rakyat dalam mengekspresikan pilihan politiknya secara sadar dan merdeka.
Selain persoalan substansi regulasi, sistem pemilu yang digunakan pun perlu ditinjau kembali.
Penerapan sistem proporsional terbuka dalam konteks multipartai telah menimbulkan kompleksitas dalam pencalonan dan penghitungan suara.
Beban berat penyelenggara pemilu akibat desain keserentakan, lemahnya penegakan hukum, serta perubahan aturan di tengah tahapan pemilu melalui judicial review, menjadi indikasi kuat perlunya evaluasi menyeluruh.
Seperti dikatakan filsuf Bertrand Russell, “Demokrasi adalah proses di mana orang-orang memilih seseorang yang kelak akan mereka salahkan”, sebuah sindiran tajam yang mengingatkan kita bahwa sistem yang tidak dirancang dengan baik justru akan melahirkan kekecewaan publik.
Kita dihadapkan pada kenyataan bahwa regulasi pemilu dan pilkada tumbuh bagai dua pohon dalam satu lahan, akarnya bersilangan, batangnya bertubrukan, dan daunnya menebarkan bayang-bayang yang membingungkan.
Disparitas serta tumpang tindih antara Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada menyisakan celah hukum yang rentan dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan pragmatis.
Oleh karena itu, penyatuan dan kodifikasi keduanya ke dalam satu payung hukum yang padu perlu disegerakan, agar tidak ada lagi kisruh tafsir dan konflik kewenangan dalam pelaksanaannya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.