Opini
Stephen Hawking, Tambang, hingga Wahabi Lingkungan
Seperti katanya dalam tulisan “Ini Adalah Saat yang Paling Berbahaya bagi Planet Kita” yang dimuat The Guardian.
Namun, aktivitas tambang nikel, menyebabkan beragam dampak buruk. Pertama, deforestasi.
Greenpeace menyebutkan Lebih dari 500 hektare vegetasi alami dibabat, termasuk sekitar 300 ha di Pulau Gag.
Selain pulau Gag, eksploitasi pulau-pulau kecil lainnya juga terjadi, seperti di Kawe, Manuran, Batang Pele, dan Manyaifun.
Kedua, Pencemaran laut. Mulai dari perairan keruh, menurunnya kualitas habitat laut, hingga rusak dan matinya terumbu karang, salah satu penyebabnya adalah sedimentasi tinggi.
Limbah tambang yang mengandung logam berat, turut mencemari ekosistem laut.
Selain dampak lingkungan, tambang turut membawa ancaman terhadap ekonomi masyarakat. Nelayan lokal mengeluhkan turunnya hasil tangkapan.
Demi mendapatkan hasil lebih, mereka harus menempuh jarak lebih jauh, namun, biaya operasi bertambah.
Ancaman lainnya adalah ketegangan sosial, dari masyarakat adat yang terusir, hingga konflik antar masyarakat yang berbeda pandangan soal tambang.
Tapi Raja Ampat tidak sendiri, ini ibarat fenomena gunung es, akumulasi dari investasi di Indonesia yang abai terhadap lingkungan dan hak-hak masyarakat adat, serta proses transparansi.
Ada Pulau Wawonii di Sulawesi Tenggara, hingga Pulau Obi di Maluku Utara, juga terdampak aktivitas pertambangan.
Di balik geliat ini, ada pertanyaan mendasar: bagaimana kita memaknai hubungan antara manusia, alam, dan tanggung jawab moral terhadap keduanya?
Islam, yang menjunjung nilai keseimbangan dan keadilan, memberikan landasan etis kuat untuk menjawab persoalan ini. Dalam perspektif Islam, kondisi ini bukan hanya masalah ekologis atau sosial.
Bukan. Melainkan juga masalah moral dan spiritual. Islam mengajarkan bahwa manusia adalah khalifah (wakil-Nya) di bumi, hadir bukan untuk mengeksploitasi, melainkan menjaga dan merawat ciptaan-Nya.
Namun, sungguh sayang, jika upaya melawan pertambangan yang membawa dampak kerusakan nyata, pun mendapat tentangan.
Teranyar, dalam sebuah acara di TV swasta, istilah “Wahabi lingkungan” menggema seantero negeri.
Saatnya Meninjau Ulang Parliamentary Threshold 4 Persen |
![]() |
---|
Universitas Hasanuddin, Menuju Puncak Benua Maritim Indonesia 2026-2030 |
![]() |
---|
Pesantren sebagai Katalis Peradaban, Catatan dari MQK Internasional I |
![]() |
---|
Paradigma SW: Perspektif Sosiologi Pengetahuan Menyambut Munas IV Hidayatullah |
![]() |
---|
Dari Merdeka ke Peradaban Dunia: Santri Sebagai Benteng Moral Bangsa |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.