Opini
Tahun Baru Islam Sebagai Momen Introspeksi Umat Islam
Momen ini seharusnya bagi umat Islam Indonesia dijadikan titik tolak untuk introspeksi diri secara kolektif, baik sebagai pribadi Muslim.
Oleh: Aswar Hasan
Dosen Fisipol Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM - "Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok."(QS. Al-Hasyr: 18)
Tahun Baru Islam, yang ditandai dengan datangnya 1 Muharram dalam kalender Hijriyah, bukanlah sekadar peralihan angka tahun. Tetapi menyimpan makna spiritual dan historis yang dalam bagi umat Islam.
Momen ini seharusnya bagi umat Islam Indonesia dijadikan titik tolak untuk introspeksi diri secara kolektif, baik sebagai pribadi Muslim, masyarakat, maupun bagi bangsa Indonesia yang peduduknya mayoritas Islam.
Sejarah Tahun baru Hijriyah dimulai dari peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah.
Hijrah bukan sekadar perpindahan fisik dari satu tempat ke tempat lain, tetapi simbol transformasi besar: dari ketertindasan menuju kemerdekaan sejati dari kemusyrikan menuju iman tauhid, dari keterpurukan posisi menuju kebangkitan umat.
Dalam konteks Indonesia masa kini, umat Islam perlu merenungi kembali makna hijrah tersebut.
Apakah kita sudah berhijrah secara hakekat spiritual dan sosial menuju masyarakat yang adil, makmur, dan beradab?
Apakah kita telah ikut andil dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Betapa tidak, sebab hijrah mengajarkan nilai keberanian, keikhlasan, dan pengorbanan demi tegaknya kebenaran.
Maka, pada momen Muharram ini, introspeksi umat Islam Indonesia sangat relevan dilakukan untuk menjawab tantangan zaman yang makin kompleks: kemerosotan moral, dekadensi spiritual, korupsi yang merajalela, serta lemahnya solidaritas sosial antarumat.
Muharram bukanlah sekadar momentum seremonial yang ramai di festivalkan, melainkan momen kontemplatif untuk melihat ke dalam diri.
Bahwa sejauh mana kita telah mengamalkan nilai-nilai Islam, serta bagaimana peran kita sebagai umat yang seharusnya menjadi rahmat bagi semesta.
Introspeksi yang pertama dan utama yang mendesak kita lakukan adalah tentang akhlak kita, mengingat Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad).
Maka, akhlak menjadi fondasi utama keislaman kita. Sayangnya, dibanyak kasus intoleransi, kekerasan, ujaran kebencian, bahkan tindakan koruptif dilakukan oleh oknum yang beridentitaskan Islam.
Ini menjadi alarm bagi umat Islam Indonesia untuk kembali pada inti ajaran Islam dengan menekankan akhlak mulia, kejujuran, kasih sayang, dan persaudaraan.
Tahun baru Hijriyah menjadi kesempatan untuk bertanya; sudahkah kita menjadi Muslim yang jujur, adil, dan penyayang?
Sudahkah Islam kita menjadi rahmat bagi lingkungan sekitar kita dan bukan hanya dalam wacana, tetapi dalam tindakan nyata?
Apakah kita sudah peka terhadap penderitaan saudara-saudara kita yang miskin, tertindas, atau menjadi korban ketidakadilan?
Apakah masjid dan majelis taklim kita hanya sibuk dengan urusan ritual, atau juga menjadi pusat solusi sosial dan pemberdayaan umat? Kesemua itu menjadi pertanyaan intospeksi yang perlu kita jawab secara jujur.
Indonesia sebagai negara majemuk sangat membutuhkan peran Islam sebagai agama mayoritas untuk menjadi perekat, bukan pemecah.
Ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah insaniyah harus menjadi semangat hidup bersama.
Tahun Baru Islam adalah saat yang tepat untuk merefleksikan sejauh mana umat Islam turut menjaga persatuan bangsa, bukan terjebak dalam politik identitas atau fanatisme sempit yang memecah belah.
Tantangan umat Islam Indonesia juga mencakup bidang politik dan ekonomi. Dalam dunia politik, sering kali umat Islam terjebak dalam pragmatisme, sehingga kehilangan arah perjuangan substansial.
Momen Muharram harus menghidupkan kembali kesadaran akan pentingnya peran politik yang bersih, amanah, dan berorientasi pada keadilan sosial sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad dalam Piagam Madinah.
Di bidang ekonomi, umat Islam Indonesia masih banyak yang terpinggirkan.
Ketimpangan dan kemiskinan yang menganga menunjukkan bahwa semangat ekonomi Islam yang berbasis keadilan dan keberkahan belum benar-benar menjadi sistem alternatif.
Tahun Baru Islam bisa menjadi titik awal untuk memperkuat ekonomi umat melalui koperasi syariah, bisnis halal, dan distribusi zakat yang profesional.
Muharram adalah titik awal, bukan akhir. Ia membuka lembaran baru untuk kita isi dengan amal shaleh, pemikiran jernih, dan tindakan nyata.
Umat Islam Indonesia harus menjadikan momen ini sebagai kesempatan untuk memperbaiki diri, memperkuat solidaritas, dan menghidupkan kembali semangat hijrah untuk berpindah dari kelemahan menuju kekuatan, dari kebodohan menuju pencerahan, dari perpecahan menuju persatuan dan kesatuan.
Introspeksi bukanlah semata memamerkan kelemahan, tetapi justru isyarat kekuatan. Ia menunjukkan bahwa umat Islam sadar akan tanggung jawabnya di dunia dan akhirat.
Maka dari itu, mari kita jadikan Tahun Baru Islam sebagai momentum perubahan menuju Indonesia yang lebih beradab, Islami, dan bermartabat. Wallahu a’lam bissawabe.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.