Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Skincare Bermerkuri

Tangis Pecah di Ruang Sidang, Mira Hayati Bacakan Pledoi dengan Suara Bergetar

Tangis Mira Hayati, terdakwa dalam kasus peredaran skincare tanpa izin BPOM, pecah tak terbendung saat membacakan nota pembelaannya.

Editor: Muh Hasim Arfah
Tribun-Timur.com
MIRA HAYATI - Terdakwa skincare berbahaya Mira Hayati didorong kursi roda saat mengikuti sidang dakwaan di Pengadilan Negeri Makassar, Jl RA Kartini, Kecamatan Ujung Pandang, Selasa (11/3/2025). Mira Hayati membacakan pembelaan di ruang sidang Ali Said, Pengadilan Negeri Makassar, Kota Makassar. 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR— Suasana ruang sidang Ali Said di Pengadilan Negeri Makassar, Selasa (17/6/2025) siang, mendadak berubah menjadi ruang penuh haru dan keheningan.

Tangis Mira Hayati, terdakwa dalam kasus Skincare Berbahaya atau peredaran skincare tanpa izin BPOM, pecah tak terbendung saat membacakan nota pembelaannya.

Mengenakan gaun putih polos, langkahnya tampak lunglai.

Di tangan gemetar itu, tergenggam lima lembar kertas — bukan sekadar tulisan pembelaan, tapi jeritan hati seorang ibu, seorang perempuan, yang tengah berjuang menyuarakan sisi lain dari perjalanan hukumnya.

Selama hampir sepuluh menit, ruang sidang berubah menjadi panggung sunyi, ketika Mira berbicara langsung — bukan hanya kepada majelis hakim dan jaksa, tetapi juga kepada publik yang mengikuti jalannya persidangan dengan napas tertahan.

Dipimpin Hakim Ketua Arif Wisaksono, sidang pledoi kali ini berlangsung jauh lebih senyap dibanding sidang-sidang sebelumnya.

Baca juga: Kalimat Pembelaan Mira Hayati Bos Skincare Makassar Bikin Hakim Terdiam, Suara Bergetar Mata Sembab

Baca juga: Tangis Mira Hayati Pecah di Ruang Sidang: Saya Hamil Saat Ditahan, Bayi Saya Lahir Lewat Operasi

Saat Mira mulai membaca pembelaannya dengan suara bergetar dan mata sembab, bahkan deru pendingin ruangan pun terdengar.

“Setelah melalui rangkaian persidangan yang cukup panjang dan melelahkan, dengan kondisi fisik dan psikologis yang sangat rentan karena sedang hamil...” ucapnya, lalu suaranya patah.

Air mata yang sejak awal tertahan, akhirnya tumpah. Ia mengusap pipinya perlahan, lalu melanjutkan dengan nada tercekik, “…dengan kondisi preeklampsia dan akhirnya harus melahirkan secara cesar karena mengalami guncangan psikis yang luar biasa saat menjalani tahanan.”

Pengakuan itu mengguncang.

Hadirin terdiam.

Beberapa menunduk, ada yang menggigit bibir, ada pula yang menatap kosong ke meja kayu di depannya — seakan menolak ikut larut dalam kesedihan yang memenuhi ruangan.

Mira tak hanya membacakan pledoi hukum. Ia menuturkan bagaimana proses panjang persidangan telah menggoreskan luka dalam pada kehamilannya.

Anak yang dikandungnya lahir dalam bayang tekanan medis dan beban mental yang tak terucap.

Di balik suara yang bergetar itu, tergambar jerit batin seorang perempuan yang berharap pengadilan mampu mendengar — bukan hanya kata-katanya, tapi juga penderitaan yang ia tanggung dalam diam.

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved