Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Kontravensi

Tetapi juga menandai kemunduran serius dalam upaya rekonsiliasi dan pengakuan korban kekerasan negara.

Editor: Sudirman
Rahmat Muhammad
OPINI - Rahmat Muhammad Ketua Prodi S3 Sosiologi Unhas 

Oleh: Rahmat Muhammad 

Ketua Prodi S3 Sosiologi Unhas 

TRIBUN-TIMUR.COM - Dari pojok warung kopi "temang_nge" di Kota Sutra Sengkang, obrolan pelanggan larut sehangat kopi dengan pernyataan Fadli Zon yang menyebut pemerkosaan massal pada kerusuhan Mei 1998 sebagai "rumor" bukan hanya menyakitkan.

Tetapi juga menandai kemunduran serius dalam upaya rekonsiliasi dan pengakuan korban kekerasan negara.

Dalam kapasitasnya sebagai Menteri Kebudayaan, ucapan pejabat negara memiliki bobot simbolik karena tidak hanya berbicara sebagai individu, tetapi mewakili pemerintah.

Dan ketika negara memilih untuk menyangkal, itu sama saja dengan menghapus luka yang telah lama menanti pengakuan.

Dalam konsep Sosiologi bentuk interaksi sosial kontravensi ini sifatnya disosiatif (negatif) yang ditandai ketidakpastian, perasaan tidak suka dan penolakan yang disembunyikan terhadap orang lain atau suatu pandangan. 

Sejarah kelam Mei 1998 tidak bisa dilihat sekadar sebagai angka dan kerusakan infrastruktur.

Di baliknya ada tubuh-tubuh perempuan yang dihancurkan, martabat yang diluluhlantakkan dan trauma lintas generasi yang masih hidup hingga hari ini.

Komnas Perempuan, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), serta laporan  independen telah menunjukkan bahwa pemerkosaan terjadi, utamanya terhadap perempuan Tionghoa, sebagai bagian dari kekerasan rasial dan politik.

Menolak untuk mengakui peristiwa tersebut dengan alasan "belum ada cukup bukti" adalah bentuk kekerasan simbolik, sebuah bentuk kekerasan tak kasatmata yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu, di mana kekuasaan beroperasi dengan menyangkal validitas pengalaman korban.

Dalam masyarakat patriarkis yang sarat stigma terhadap korban kekerasan seksual, menuntut bukti bukanlah sikap netral itu adalah perpanjangan dari ketidakadilan itu sendiri.

Apalagi jika datang dari pejabat publik yang seharusnya memiliki sensitivitas terhadap isu kemanusiaan.

Sosiolog Paul Connerton dalam How Societies Remember menyebutkan bahwa sebuah bangsa bisa mengatur "ingatan kolektifnya" untuk membentuk identitas tertentu.

Jika negara memilih untuk melupakan tragedi Mei 1998, itu bukan karena ketiadaan bukti, tetapi karena ada upaya sistematis untuk menghapus narasi korban dari sejarah nasional.

Kita tidak sedang berdebat soal data, kita sedang menyaksikan kontestasi memori dimana siapa yang layak didengar dan  siapa yang dihapus dari sejarah.

Pernyataan Menteri Kebudayaan juga menyingkap soal relasi kuasa antara negara dan rakyat. Negara punya kewenangan untuk mengarsipkan peristiwa, menentukan mana yang sah sebagai "sejarah", dan mana yang sekadar "isu liar".

Di sinilah pentingnya melihat ulang konsep epistemic injustice ketika korban tak hanya mengalami kekerasan fisik, tetapi juga diperlakukan seolah-olah pengetahuan mereka tentang apa yang terjadi pada diri mereka sendiri tidak valid. Mereka dibungkam, diabaikan dan dilupakan.

Lebih dari dua dekade telah berlalu, namun keluarga korban, aktivis dan komunitas Tionghoa masih menyimpan luka yang belum sembuh.

Pernyataan seperti ini bukan hanya menghambat pemulihan mereka, tetapi juga menghambat bangsa ini untuk benar-benar dewasa dalam menghadapi masa lalunya.

Negara yang tidak mampu mengakui kesalahan masa lalunya adalah negara yang gagal belajar.

Apa yang seharusnya dilakukan? Pertama, negara harus tegas mengakui kekerasan seksual Mei 1998 sebagai bagian dari pelanggaran HAM berat.

Kedua, pemulihan harus ditempuh dengan cara yang menghormati korban bukan dengan memperdebatkan keabsahan luka mereka.

Ketiga, budaya politik yang gemar menormalkan kekerasan simbolik perlu dikoreksi melalui pendidikan sejarah yang berpihak pada kebenaran, bukan pada kekuasaan.

Sejarah tidak membutuhkan pembenaran kekuasaan. Ia butuh keberanian untuk melihat ke belakang dengan jujur, agar kita tak terus-menerus menginjak luka yang belum sembuh.

Jika negara tetap bungkam atau lebih buruk lagi, menyangkal maka luka itu akan sulit sembuh dari tubuh bangsa ini.

Melibatkan Sejarawan bukan pada saat polemik ini tak berujung akibat wacana yang serampangan   untuk membenarkan kekeliruan, berharap kontravensi pernyataan pejabat setingkat menteri tidak jadi beban bagi presiden, semoga.(*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved