Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Lipsus Kekerasan Seksual

BEM FISH UNM Kawal Diduga Korban Pelecehan Seksual AD Lawan Trauma dan Tuntut Keadilan

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum (BEM FIS-H) Universitas Negeri Makassar kawal diduga korban pelecehan seksual AD.

|
Penulis: Sukmawati Ibrahim | Editor: Muh Hasim Arfah
IG BEM FISH UNM
PENDAMPINGAN BEM FISH- Presiden BEM FIS-H UNM, Fikran Prawira. Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum (BEM FIS-H) Universitas Negeri Makassar mendampingi diduga korban pelecehan seksual mahasiswa bernama AD. 

TRIBUN-TIMUR.COM- Jauh sebelum jurnalis Tribun-Timur.com berhasil menemui diduga korban pelecehan seksual AD, pihak paling awal mendampingi korban adalah Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum (BEM FIS-H) Universitas Negeri Makassar

Baca kronologis dugaan pelecehan seksual melalui berita Ujian Lisan di Atas Kasur Jadi Modus Dosen Diduga Lecehkan Mahasiswa

Presiden BEM FIS-H UNM, Fikran Prawira, menjadi sosok terdepan dalam memperjuangkan keadilan bagi AD. 

Bersama pengurus lainnya, ia tidak hanya mendampingi korban secara hukum, tetapi juga secara psikologis.

Pendampingan psikologis dilakukan secara tertutup untuk menjaga keamanan AD. 

Namun, trauma dialami tetap tampak jelas. Setiap kali mengenang kembali peristiwa yang dialaminya, tubuh AD gemetar. 

“Kami ingin memastikan kondisi psikisnya tetap stabil dan kuliahnya tetap bisa dilanjutkan,” kata Fikran saat ditemui Tribun-Timur.com di Daun Coffea, Jl Dg Tata, Makassar, Sulsel, 26 Februari 2025. 

BEM FIS-H memutuskan untuk tidak bergantung pada Satgas PPKS UNM. Mereka langsung melaporkan kasus ini ke Polda Sulsel. 

“Kami sempat scan barcode pengaduan ke Satgas tapi tidak berhasil. Tidak ada balasan. Kami kecewa,” jelas Fikran. 

Kekhawatiran mereka bukan tanpa alasan. Fikran dan rekan-rekannya khawatir kasus ini akan berhenti di tengah jalan, seperti kasus-kasus lain yang gagal memberi sanksi tegas kepada pelaku. 

“Kami tidak akan berhenti sampai hak-hak korban dipenuhi dan keadilan ditegakkan,” tegas Fikran. 

Di tengah perjuangan itu, dukungan datang dari senior dan alumni. Mereka ikut turun tangan mengawal kasus. Namun, di sisi lain, AD juga dihantui rasa takut. Takut jika orang yang semula membela, justru berbalik mendukung terduga pelaku. 

Informasinya, KH sudah memberikan klarifikasi di Polda Sulsel. 

Tribun Timur terakhir mencoba mengkonfirmasi dosen KH dengan nomor kontak +62 852-9972-5XXX, Sabtu (14/6/2025) pukul 22.29 WITA.

Nomor ini terkonfirmasi milik KH dari dosen dan mahasiswanya di Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum UNM.

Namun, dia belum memberikan tanggapan atas tuduhan pelecehan seksual dan laporan AD ke Polda Sulsel.(*)

Korban Lain Memilih ‘Hilang’ 

Sejenak AD bukan satu-satunya mahasiswa terjebak dalam bayang-bayang kekerasan seksual di kampusnya. 

Kisah AD, meskipun memilukan, hanyalah satu dari sekian banyak cerita tersembunyi di balik pagar akademik, tempat seharusnya menjadi ruang aman dan nyaman bagi mahasiswa. 

Namun kenyataannya jauh dari harapan. Waktu berjalan, dan semakin banyak suara mulai muncul. Semakin banyak luka akhirnya terungkap. 

Di antara mereka ada Jeje (nama samaran), mahasiswi turut mendampingi korban kekerasan seksual lainnya di Fakultas Bahasa dan Sastra, di kampus sama Universitas Negeri Makassar

Pada 26 Februari 2025, Jeje ditemui di sebuah kedai kopi di Jl Dg Tata, Makassar. Ia duduk menggenggam segelas es coklat. 

Matanya sayu, dan suaranya lirih saat menceritakan kisah teman dekatnya jadi korban kekerasan seksual yang kini memilih diam. 

“Dia dulu orang yang sangat ceria,” kata Jeje, suaranya terdengar tertahan. “Sekarang, setelah kasusnya viral, saya bahkan tidak pernah melihatnya lagi.” 

Cerita itu penuh kesedihan. Temannya yang dahulu hidup penuh semangat, kini hilang dalam kesunyian dan trauma. 

Sosok dulu kerap tertawa kini hanya tinggal bayang-bayang. Jeje masih ingat saat pertama kali menemani temannya melapor ke Satgas PPKS (Pusat Pengaduan dan Konsultasi Seksual). 

Korban saat itu tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. 

Dalam diam yang panjang, hanya satu isyarat disampaikan: ia meminta Jeje untuk melanjutkan perjuangan demi keadilan. 

Namun, perjuangan itu tidak pernah mudah. Jeje mengisahkan betapa lambatnya proses harus mereka jalani. “Kasus ini pertama kali dilaporkan Maret 2024. Tapi surat baru masuk ke fakultas pada November 2024. 

Respons dari Satgas PPKS sangat lambat. Bahkan mereka baru balas pesan setelah tiga sampai lima hari,” ujar Jeje, dengan suara serak. 

Di tengah penantian tanpa kepastian, kenyataan pahit pun muncul. Pelaku masih bebas berkeliaran di lingkungan kampus. 

Tidak ada sanksi tegas. Kampus hanya memberi teguran ringan, sementara pelaku tetap berstatus sebagai mahasiswa aktif. “Korban sudah cuti. Dia ingin kasus ini tetap berjalan, tapi sekarang dia menghilang. Semua kontak tak bisa diakses. Saya tidak tahu lagi bagaimana kondisinya,” ucap Jeje dengan suara bergetar.

Kesedihan tergambar jelas di wajahnya. Ia tahu perjuangan untuk keadilan bagi temannya tidak hanya panjang, tetapi juga penuh ketakutan dan pengabaian. (*)

 

Liputan ini merupakan pendanaan yang didukung oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) di bawah Program Jurnalisme Aman.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved