Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Kedaulatan Demokrasi di Tangan Mahkamah

Tercatat sejak 29 April 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima delapan permohonan Judicial Review.

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Aenul Ikhsan Peserta Advance Training (LK 3) Badko HMI Sulsel / Direktur Eksekutif LKBHMI Cabang Gowa Raya periode 2024-2025 

Oleh: Aenul Ikhsan

Peserta Advance Training (LK 3) Badko HMI Sulsel / Direktur Eksekutif LKBHMI Cabang Gowa Raya periode 2024-2025

TRIBUN-TIMUR.COM - Pengesahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) mendapat respon yang cepat dari mahasiswa serta penggiat hukum dan demokrasi.

Tercatat sejak 29 April 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima delapan permohonan Judicial Review.

Keseluruhan permohonan yang telah diterima Mahkamah Konstitusi merupakan perkara uji formil yaitu menguji kesesuaian antara proses pembuatan undang-undang (Law Making Procces) terhadap ketentuan hukum yang berlaku.

Oleh karena itu, besar harapan melalui tangan MK perkara ini dapat dinilai dengan mempertimbangkan partisipasi publik dalam proses pengesahannya.

Idealnya dalam negara hukum prinsip legalitas harus menjadi landasan segala tindakan pemerintah, termasuk pembentukan Undang-Undang.

Oleh karena itu, pembentukan suatu Undang-Undang TNI ini harus  tunduk pada prosedur yang sah, tertib, transparan, dan akuntabel sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk asas due process of law sebagai syarat legitimasi konstitusional.

yah, saat ini diharapkan semua mata tertuju pada Mahkamah Konstitusi. Pada awal tahun 2025, daftar pemohon judicial Review mengalami peningkatan.

Tentu saja tujuannya untuk mengantisipasi kejadian yang sama seperti tahun 2023 dan 2024.

Oleh karena itu, banyaknya perkara Judicial Review menjadi moment terbaik Mahkamah Konstitusi untuk berbenah, menguji taring, ketajaman mata serta integritas demi merebut kembali kepercayaan publik. 

Menoleh pada tahun 2023 lalu, putusan MK No. 90/PUU/ XXI/2023 menuai respon negatif masyarakat. Putusan ini dianggap sebagai kado istimewa Hakim Konstitusi Anwar Usman kepada ponakannya yang saat itu berumur 36 tahun.

Selain melalui proses yang formal sebagai alternatif pengujian putusan ini juga dengan mempertimbangkan gelombang demonstrasi  di seluruh kota besar di indonesia juga sebagai alternatif pengujian.

Ibarat sepak bola,  Kebobolan bola panas politik yang nyaris merobek jaring gawang Mahkamah Konstitusi menjadi kemenangan telak oligarki atas demokrasi.

Artinya, Mahkamah Konstitusi telah mengingkari amanah sejarah dan gagal menjaga marwah demokrasi dan kedaulatan hukum. 

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa cikal bakal Mahkamah Konstitusi dibentuk karena tuntutan sejarah bangsa indonesia yang baru saja lepas dari belenggu rezim otoriter orde baru.

Bahkan, keistimewaan inilah yang membuat Mahkamah Konstitusi dinobatkan sebagai The Guardian of Democracy.

Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi harus terdepan untuk menjadi benteng terakhir menjaga kedaulatan hukum agar kekhawatiran publik tidak terjadi terus menerus dan akan menjadi sikap pesimis kolektif.

Sebenarnya kekhawatiran itu muncul ketika pemilu 2024 yang juga sebagai hal yang sangat berhubungan  dengan putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2023.

Publik menilai bahwa kejadian ini mempertontonkan keberpihakan instrumen negara terhadap kelompok tertentu secara terang-terangan. Fenomena ini eksis sebagai ”Autocratic Legalisme”, sebuah paradigma yang berlindung dibalik hukum untuk melanggengkan kekuasaan.

Seakan kekuasaan itu memang sudah berbaur ditengah masyarakat namun berlindung dibalik topeng hukum yang formal dan legitimatif. Maka Sangat berbahaya jika wajah aslinya tidak bisa kita kenali.

Sebagai sebuah ikhtiar untuk bergotong royong menghidupkan roh demokrasi tentunya bisa dilakukan dengan bersama-sama mengawasi proses legislasi kedepannya.

Karena memang tidak ada alternatif menjaga kedaulatan bangsa selain demokrasi.

Oleh karena itu, besar harapan Mahkamah Konstitusi dapat membuat putusan yang bijak terhadap pengujian undang-undang TNI yang proses pembahasannya yang sangat cepat serta minim partisipasi publik.

Mahkamah Konstitusi diharapkan memaksimalkan perannya untuk memutuskan Undang-Undang ini cacat formil agar pemerintahan tidak dianggap berpihak kepada kepentingan politik hukum rezim saat ini dibandingkan kepentingan publik.

Memang pada awalnya hanyalah Revisi yang begitu cepat terhadap Undang-Undang ini namun pada akhirnya, kelembagaan hukum bisa saja terus digunakan sebagai alat untuk melumasi kekuasaan.

Laporan Democracy Index pada tahun 2023: Age of Conflict menempatkan Indonesia pada peringkat 56 dengan skor 6,53 yang pada tahun sebelumnya 6,71 persen.

 Hal ini menjadi cerminan kondisi pasang surut indeks demokrasi indonesia. Berdasarkan rilisan Economist Intelegence Unit (EIU) penurunan kualitas pelaksanaan pemilu, pelaksanaan pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil adalah beberapa indikator penilaian sehingga demokrasi Indonesia disebut Demokrasi Cacat (Flawed Democracy).

Kita masih optimis walaupun nama Mahkamah Konstitusi pernah tercoreng karena ulah salah satu hakim saja.

Namun dengan kekuatan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi yang juga menghapus ambang batas pencalonan presiden dan kepala daerah merupakan tonggak penting dalam memperkuat demokrasi Indonesia.

Mengurus negara memang tidak mudah harus ditopang dengan kualitas mental dan keilmuan untuk menghadapi tantangan dari elit politik.

Mahkamah Konstitusi tetap berusaha menjaga kedaulatan demokrasi leawat tangannya. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penyelamat demokrasi di tengah problematika politisasi legislasi, memastikan bahwa suara rakyat tetap menjadi pilar utama dalam sistem demokrasi Indonesia.

Oleh karena itu meskipun kadang ada perbedaan pendapat hakim pada suatu perkara (Dissenting Opinion) namun jika dasarnya adalah demokrasi tetap saja penarikan kesimpulannya akan sama.

Sebagai langkah kongkret melalui Uji Formil ini kita akan mencoba menguji kembali sikap Mahkamah Konstitusi meskipun target utamanya mengenai muatan pasal menambah kewenangan TNI dan memperluas jumlah lembaga sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif. 

Maka dari itu, semua perkara yang sedang di uji di Mahkamah Konstitusi tanpa terkecuali harus mendapatkan keputusan yang sejalan dengan cita hukum ideal.

Mahkamah Konstitusi harus muncul sebagai lembaga yang anti terhadap politisasi penegakan hukum ditengah penggelembungan kekuasaan eksekutif (Executive Heavy) yang telah melemahkan fungsi Legislatif.

Oleh karena itu sebagai tandingannya adalah Constitutional Heavy agar pelaksanaan pemerintahan kembali mengedepankan prinsip Check and Balances dan menjaga kedaulatan demokrasi.

 

 

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved