Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Kolaborasi, Bukan Kompetisi: Menjaga Marwah Antarprofesi Kesehatan

Pernyataan tidak hanya menyesatkan secara faktual, tetapi juga menyiratkan dikotomi relasi kuasa yang sebenarnya tidak relevan dalam kesehatan.

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Dr drg Eka Erwansyah MKes SpOrt Sub DDTK(K) Dosen FKG Universitas Hasanuddin 

Oleh: Dr drg Eka Erwansyah MKes SpOrt Sub DDTK(K)

Dosen FKG Universitas Hasanuddin

TRIBUN-TIMUR.COM - Belum lama ini, publik dibuat terkejut oleh pernyataan Menteri Kesehatan yang menyebut bahwa “di luar negeri perawat setara dengan dokter, sementara di Indonesia perawat jadi pesuruh dokter.”

Pernyataan ini tentu mengundang respons yang beragam, terutama dari kalangan profesi kesehatan yang selama ini justru telah berjuang bersama dalam sistem pelayanan yang sangat kompleks dan penuh tantangan.

Di tengah upaya kita membangun sistem kesehatan nasional yang kuat pasca-pandemi, narasi semacam ini justru berisiko meretakkan kerja sama antarprofesi yang selama ini telah berjalan secara harmonis dan penuh saling menghargai.

Pernyataan tersebut tidak hanya menyesatkan secara faktual, tetapi juga menyiratkan dikotomi relasi kuasa yang sebenarnya tidak relevan dalam kerangka pelayanan kesehatan modern.

Fakta di Lapangan: Peran yang Berbeda, Tujuan yang Sama

Profesi dokter dan perawat—termasuk profesi kesehatan lainnya—memiliki tanggung jawab, kompetensi, serta kewenangan masing-masing yang telah diatur secara jelas dalam regulasi dan standar etik.

Di negara mana pun, termasuk di luar negeri yang dijadikan rujukan, tidak ada konsep bahwa dokter dan perawat “setara” dalam arti fungsional maupun kewenangan klinis. Yang ada adalah kolaborasi berbasis profesionalisme dan saling menghormati keahlian masing-masing.

Di ruang-ruang pelayanan kesehatan, dokter dan perawat saling melengkapi. Dokter menetapkan diagnosis dan terapi, sementara perawat menjalankan intervensi keperawatan berdasarkan asesmen keperawatan.

Masing-masing berdiri di atas ilmu dan tanggung jawab profesionalnya, bukan dalam hubungan “pesuruh” atau “atasan-bawahan.”

Narasi yang Dibutuhkan: Kolaborasi dan Integrals

Yang kita butuhkan hari ini bukanlah dikotomi atau adu superioritas antarprofesi. Kita memerlukan kolaborasi interprofesional yang kuat, berorientasi pada keselamatan dan kenyamanan pasien. 

Sistem kesehatan yang efektif hanya bisa dibangun jika seluruh profesi bekerja dalam sinergi, saling percaya, dan didukung oleh komunikasi yang sehat, baik di internal profesi maupun di ruang publik.

Seorang menteri adalah panutan sekaligus nahkoda arah kebijakan kesehatan nasional. Oleh karena itu, setiap pernyataan yang dilontarkan idealnya memperkuat kesatuan, bukan membuka celah konflik.

Ketika seorang pejabat mengeluarkan narasi yang provokatif, apalagi menyasar relasi antarprofesi, maka bukan hanya harmoni yang terganggu, tapi juga kepercayaan publik terhadap sistem kesehatan itu sendiri.

Menjaga Marwah Profesi, Menjaga Martabat Bangsa

Kita semua mencintai negeri ini. Kita semua ingin masyarakat Indonesia mendapat pelayanan kesehatan yang aman, adil, dan bermutu.

Untuk itu, sudah saatnya kita merawat kepercayaan antarprofesi, menguatkan jejaring kerja sama, serta menempatkan narasi publik dalam bingkai penghormatan terhadap semua profesi kesehatan.

Karena pada akhirnya, bukan soal siapa yang lebih tinggi atau lebih penting. Tapi soal bagaimana kita bisa saling menopang demi satu tujuan: kesehatan untuk semua.

 

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Medium

    Large

    Larger

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved