Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Menguji Relevansi Demokrasi Infrastruktur dan Investasi

Dalam lintasan waktu, demokrasi elektoral Indonesia justru gamang: partisipasi pemilih meningkat, namun kualitas demokrasi stagnan bahkan mundur.

|
Editor: Saldy Irawan
DOK PRIBADI
Aqramawardana 

Oleh: Aqramawardana


Peserta LK3 Badko HMI sulsel tahun 2025,


TRIBUN-TIMUR.COM - Pemilu bukan sekadar pesta demokrasi lima tahunan, melainkan uji antara harapan masyarakat dan janji politik yang mengkristal jadi keputusan kekuasaan. 

Dalam lintasan waktu, demokrasi elektoral Indonesia justru gamang: partisipasi pemilih meningkat, namun kualitas demokrasi stagnan bahkan mundur.

Ini menggugah pertanyaan serius—apakah demokrasi masih berpijak pada substansi, atau telah menyusut jadi ritual pencoblosan belaka? 

Sementara itu, proyek-proyek infrastruktur megaskala terus disanjung sebagai simbol kemajuan, dan investasi diburu atas nama pertumbuhan, meski kerap mengorbankan partisipasi publik dan keadilan sosial. 

Padahal, demokrasi, pembangunan, dan investasi semestinya berjalan beriringan: demokrasi memberi legitimasi dan kontrol atas pembangunan; pembangunan mendistribusikan manfaat; dan investasi memperkuat kedaulatan ekonomi. 

Jika pembangunan hanya alat elektabilitas dan investasi abai terhadap inklusivitas, maka demokrasi hanyalah panggung semu yang kehilangan rasa.

Nalar Statistik atas Pemilihan Umum

Berdasarkan rilis statistik politik 2024 oleh BPS, partisipasi pemilih sebesar 81,14 persen. 

Angka ini stagnan, bahkan turun dibandingkan 92,6 persen pada Pemilu 1999. Di sisi lain, Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2023 turun 0,90 poin menjadi 79,51—masuk kategori sedang.

Sementara EIU mencatat IDI Indonesia 2024 hanya 6,44 (dari skala 10). 

Meski beda sumber, indikatornya relatif serupa, memperkuat kesimpulan bahwa tren demokrasi menunjukkan kemunduran sejak reformasi. 

Partisipasi tinggi pada pemilu seharusnya menjadi indikator positif, namun tanpa peningkatan kualitas institusi, transparansi, dan akuntabilitas penyelenggaraan pemilu, partisipasi hanya jadi legitimasi semu bagi kekuasaan, Hal tersebut sejalan dengan pemikiran noam chomsky tentang “pabrikasi persetujuan”. 

Demokrasi bukan sekadar jumlah suara, tapi tentang bagaimana suara itu diwujudkan dalam kebijakan yang berpihak pada rakyat.

Atas Nama Investasi dan Elektabilitas

Pemerintah gencar membangun infrastruktur dengan dalih menarik investasi dan meningkatkan pertumbuhan. 

Kini, infrastruktur menjelma simbol kekuasaan, bukan sekadar penopang kesejahteraan. 

Proyek besar seperti ibu kota baru, tol, bendungan hingga jembatan ditampilkan sebagai wajah kemajuan. 

Tapi, benarkah pembangunan ini berpihak pada rakyat? Investasi besar-besaran kerap minim transparansi dan partisipasi publik. Alih-alih berbasis pada kerangka pikir “All need analysis need analysis”, keputusan strategis justru diambil atas nama 'strategis nasional' tanpa pelibatan warga. 

Banyak proyek berpihak pada investor, bukan masyarakat. Pembangunan dibungkus jargon keadilan, tapi akses masih terbatas, air bersih dan pendidikan tetap langka. 

Relasi antara demokrasi dan infrastruktur timpang: suara rakyat hadir di TPS, tapi absen dalam forum perencanaan pembangunan.

Menuju Demokrasi Substantif 

Demokrasi tak cukup bertumpu pada angka partisipasi dan prosedur elektoral; ia harus menyalurkan keadilan, termasuk dalam pembangunan. 

Jika partisipasi berhenti di bilik suara, dan absen dalam perencanaan anggaran, pembangunan hanya jadi panggung eksklusif para elite, hal ini sejalan dengan pendekatan Michel Foucault tentang “relasi kuasa” yang membentuk hukum dan kebijakan. 

Partisipasi politik tinggi tanpa pembangunan berbasis rakyat menjadikan demokrasi sekadar kosmetik lusuh ditengah badai. 

Demokrasi sejati harus menghadirkan suara publik dalam prioritas kebijakan—terutama dalam pembangunan infrastruktur. 

Tantangan hari ini bukan sekadar meningkatkan partisipasi, tapi memastikan bahwa partisipasi itu beresonansi dalam kebijakan. 

Kita butuh demokrasi yang melahirkan pembangunan manusiawi, bukan sekadar monumental—yang menjamin akses, kesetaraan, dan keadilan dalam setiap kilometer jalan yang dibangun.(*)

 

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved