Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Ribuan Warga Manggala Demo, Tolak Vonis "Hukum Kolonial" yang Ancam Gusur Rumah Mereka!

Mereka menyuarakan penolakan terhadap keputusan hukum yang dinilai mengancam keberadaan tempat tinggal yang telah mereka huni secara sah

Editor: Muh. Abdiwan
TRIBUN-TIMUR.COM/MUHAMMAD ABDIWAN
DEMO MAFIA TANAH - Ribuan warga Perumahan Gubernur dan Perumahan Pemda di Kelurahan Manggala, Kota Makassar, memadati kawasan depan Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Arab (STIBA) untuk menggelar aksi unjuk rasa, Minggu (18/5). Mereka menyuarakan penolakan terhadap keputusan hukum yang dinilai mengancam keberadaan tempat tinggal yang telah mereka huni secara sah selama bertahun-tahun. 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Ribuan warga Perumahan Gubernur dan Perumahan Pemda di Kelurahan Manggala, Kota Makassar, memadati kawasan depan Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Arab (STIBA) untuk menggelar aksi unjuk rasa, Minggu (18/5). 

Mereka menyuarakan penolakan terhadap keputusan hukum yang dinilai mengancam keberadaan tempat tinggal yang telah mereka huni secara sah selama bertahun-tahun.

Akar dari keresahan ini bermula dari gugatan sengketa tanah yang diajukan oleh pihak penggugat, berdasarkan dokumen kuno warisan kolonial Belanda: Eigendom Verponding Nomor 12 Tahun 1838.

Dokumen tersebut diklaim sebagai bukti kepemilikan sah oleh pihak penggugat, meski lahan yang dimaksud selama ini berstatus sebagai tanah negara yang telah dialihfungsikan menjadi kawasan perumahan ASN oleh pemerintah.

Dalam perjalanan hukumnya, gugatan yang semula ditolak oleh Pengadilan Negeri Makassar, justru dimenangkan oleh penggugat di tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi. Hal ini sontak memicu kekhawatiran warga yang selama ini merasa tak tergugat namun kini menjadi pihak yang paling terdampak.

Warga Bentuk Forum Perlawanan

Merespons kondisi tersebut, warga pun membentuk wadah perjuangan bernama Forum Warga Bersatu Perumahan Gubernur & Pemda Manggala.

 Forum ini menyatakan sikap menolak segala bentuk praktik mafia tanah, intimidasi terhadap warga, serta proses hukum yang dinilai menyimpang dan tidak berpihak kepada keadilan rakyat.

“Kami menolak hukum penjajahan di negeri yang telah merdeka!” tegas Sadaruddin, Ketua Forum Warga, saat membacakan pernyataan resmi di tengah kerumunan aksi.

Ia menyebut bahwa penggunaan dokumen Eigendom Verponding hanyalah bentuk kemunduran hukum yang mengancam kedaulatan rakyat atas tanah yang sudah lama mereka tempati.

Aksi unjuk rasa ini bukan sekadar ekspresi kekecewaan, tetapi juga bentuk desakan kepada pemerintah daerah dan pusat untuk hadir secara nyata melindungi hak warga negara.

Warga menuntut agar Gubernur Sulawesi Selatan dan Wali Kota Makassar turun tangan langsung, serta mendesak aparat hukum mengusut tuntas dugaan pemalsuan dokumen dan membongkar jaringan mafia tanah yang mereka yakini berada di balik sengketa ini.

Delapan Tuntutan Warga

Dalam pernyataan sikap tersebut, warga menyampaikan delapan poin utama:

  1. Menolak hukum kolonial Belanda (Eigendom Verponding) yang sudah tidak relevan di era kemerdekaan.
  2. Menolak peradilan sesat yang diduga dikendalikan oleh mafia tanah dan mafia hukum.
  3. Mendesak Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan untuk bertindak tegas membongkar jaringan mafia tanah dan menghukum berat pelakunya.
  4. Menuntut tanggung jawab Pemprov Sulsel dan Pemkot Makassar untuk menjaga aset negara yang kini dihuni oleh ASN dan masyarakat.
  5. Menolak segala bentuk premanisme dan intimidasi yang mulai muncul di kawasan tersebut.
  6. Mengajak seluruh warga untuk bersatu dan solid memperjuangkan hak-haknya.
  7. Menuntut pembongkaran jaringan mafia hukum yang terlibat dalam sengketa ini.
  8. Mendesak penindakan pemalsuan dokumen yang digunakan untuk menggugat tanah yang sudah lama dihuni warga.

Sadaruddin menegaskan bahwa perjuangan ini akan terus dikawal secara damai, konstitusional, namun dengan sikap tegas.

Situasi ini menjadi semakin kompleks karena kawasan sengketa tidak hanya dihuni oleh ribuan warga, tetapi juga berdiri berbagai fasilitas umum yang vital. 

Di antaranya adalah Kampus STIBA, lima masjid, dua pesantren, satu SMA, posyandu, dua Pamsimas, jaringan pipa PDAM Makassar, dua taman pendidikan anak, dan Gedung BKPRMI Sulsel.

Duduk Perkara yang Membelit Warga

Sengketa lahan bermula dari gugatan yang diajukan oleh Samla Dg Simba dkk dan Hj. Magdallena De Munnik terhadap berbagai lembaga negara, mulai dari Kementerian ATR/BPN, Pemprov Sulsel, Pemkot Makassar, hingga PDAM dan dua koperasi ASN.

Gugatan ini tercatat di Pengadilan Negeri Makassar dengan nomor perkara 15/Pdt.G/2024/PN.MKS. 

Pada tingkat pertama, gugatan ini ditolak oleh majelis hakim. Namun Magdallena De Munnik mengajukan banding dan justru menang di Pengadilan Tinggi Makassar.

Pemerintah pusat dan daerah pun tidak tinggal diam. Saat ini, upaya kasasi ke Mahkamah Agung sedang berjalan.

Selain menggelar demonstrasi di kawasan Manggala, Forum Warga juga merencanakan rangkaian aksi lanjutan ke Kantor BPN Makassar, Pengadilan Tinggi, dan DPRD Sulsel sebagai bentuk tekanan publik atas dugaan ketidakadilan dalam proses hukum yang tengah berlangsung.

Saat ini, upaya kasasi oleh pemerintah ke Mahkamah Agung sedang berjalan, memberi sedikit harapan bahwa suara warga akan tetap mendapat ruang dalam keadilan konstitusional.

Di tengah krisis kepercayaan terhadap sistem hukum, para warga tetap berkomitmen untuk mengawal perjuangan mereka secara damai namun tegas, demi mempertahankan hak atas tanah yang telah menjadi bagian dari hidup mereka.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved