Opini Tribun Timur
Cinta yang Hilang: Bahasa Diam Dalam Hubungan Digital
Tak ada pesan, tak ada penjelasan. Atau, chatting-mu tiba-tiba cuma di-read atau seen saja? Itulah yang disebut ghosting.
Ketika seseorang dicueki, otaknya tetap aktif mencoba “menerjemahkan” diam itu “kira-kira dia kenapa yah?”. Laki-laki juga tidak kebal dari overthinking atau spekulasi emosional sama dengan perempuan.
Jadi, walau perempuan mungkin lebih sering menuntut kejelasan secara eksplisit, laki-laki juga bisa merasa sangat terguncang saat komunikasi terputus tanpa penjelasan.
Perbedaannya bukan terletak pada seberapa dalam perasaan itu. Tapi rasa tiba-tiba ditinggalkan, apalagi bagi yang sudah menjalin hubungan sudah lama.
Penelitian juga menunjukkan bahwa perempuan lebih aktif dalam menjaga komunikasi dengan pasangannya.
Sebuah studi yang menganalisis data panggilan dan pesan teks dari tiga juta orang menemukan bahwa perempuan lebih sering menghubungi pasangannya dibandingkan laki-laki.
Hal ini menunjukkan bahwa perempuan lebih berinisiatif dalam menjaga kejelasan dan kesinambungan komunikasi dalam hubungan.
Saat pesan tak dibalas, otak langsung aktif mencari makna. Kita membaca ulang chat terakhir, memperhatikan emotikon, mengira-ngira maksudnya, dan membayangkan nada bicaranya. Inilah yang disebut internal speech—monolog batin yang muncul karena tidak adanya respons dari luar.
Apa yang terjadi di dalam otak ketika mengalami ghosting?
Ternyata ghosting bisa menyebabkan stres secara kognitif. Otak merasa ada yang belum selesai, seperti notifikasi yang belum dibaca. Kita jadi overthinking, sulit fokus dalam aktivitas, bahkan mulai menyalahkan diri sendiri. Bagi yang punya kecenderungan cemas (anxious attachment), ini bisa lebih parah. Karena itu, ghosting bukan cuma soal cinta yang gagal, tapi juga soal luka batin yang sulit dijelaskan—karena tidak ada kata yang diucapkan.
Bayangkan diam itu seperti read tanpa reply. Bukankah itu bentuk komunikasi juga? Tapi karena tidak eksplisit, kita jadi bebas mengartikan sesuka hati. Dan di situlah letak bahayanya.
Kita bisa salah paham, menyiksa diri sendiri, atau bahkan kehilangan kepercayaan pada orang lain.
Ghosting seolah berkata, “Saya tidak ingin menjelaskan apa pun, dan kamu tidak penting bagi saya.” Kejam? Mungkin begitu di pikiran kita. Tapi itulah realitas komunikasi digital zaman ini.
Kalau kamu pernah atau sedang di-ghosting, kamu bukan satu-satunya dan itu bukan salahmu. Diam orang lain bukan selalu karena salahmu, mungkin karena ingin sendiri dan tidak ingin diganggu.
Apa yang bisa kamu lakukan?
Jangan menyalahkan diri. Tahan diri untuk tidak mengarang cerita di kepala. Fokuslah pada diri sendiri dan mengembangan skill, tidak dengan mencari orang baru.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.