Opini
Darurat Literasi di Era Digital: Apa Gunanya Sekolah Jika Tak Bisa Membaca Dunia?
Di Hari Pendidikan ini, kita harus bertanya lebih serius: apakah kita masih mengajarkan anak-anak untuk sekadar membaca teks?
Dalam dunia seperti ini, keterampilan abad ke-21 bukan semata tentang menguasai perangkat teknologi, melainkan kemampuan memilah informasi, mempertimbangkan kebenaran, dan bertindak bijaksana.
Manusia bukan hanya makhluk kognitif, tetapi juga emosional.
Literasi sejati mencakup kemampuan mengelola emosi, berempati, dan membangun ketahanan mental.
Pendidikan yang mengabaikan dimensi ini berisiko melahirkan generasi yang cerdas secara teknis, tetapi rapuh dalam menghadapi tekanan hidup.
Laporan terbaru dari UNICEF dan WHO (2024) menunjukkan peningkatan masalah kesehatan mental di kalangan remaja, terutama akibat paparan berlebihan terhadap media sosial, tekanan citra diri, dan polarisasi digital.
Banyak remaja mengalami kesulitan memahami dan mengelola emosi karena pendidikan formal masih terlalu menekankan prestasi akademik, namun melupakan penguatan karakter dan keseimbangan emosional.
Literasi emosional bukan sekadar pelengkap, melainkan fondasi esensial untuk membentuk manusia yang utuh, resilien, dan adaptif menghadapi dunia yang kompleks.
Di tengah tantangan itu, selalu ada ruang untuk perubahan. Ketimpangan infrastruktur digital dan disparitas antarwilayah memang menjadi hambatan, tetapi bukan alasan untuk menyerah.
Gerakan literasi berbasis komunitas, penguatan digitalisasi bahan ajar, hingga kampanye literasi media di sekolah-sekolah telah membuktikan diri sebagai upaya nyata untuk membalik keadaan.
Program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang diinisiasi Kemendikbud, misalnya, meski masih menghadapi tantangan di lapangan, menunjukkan bahwa perubahan budaya membaca bisa dimulai dari level paling dasar.
Pendidikan literasi yang kokoh tidak hanya membentuk individu yang cerdas, melainkan juga memperkuat demokrasi.
Masyarakat yang literat tidak mudah dipecah oleh polarisasi semu, tidak gampang dimanipulasi oleh narasi palsu, dan lebih siap membangun peradaban yang adil dan beradab.
Hari Pendidikan Nasional seharusnya tidak menjadi seremoni nostalgia belaka, melainkan momentum membangun literasi yang membebaskan, bukan membelenggu; memberdayakan, bukan sekadar mencetak angka.
Membaca dunia berarti memahami perubahan, berempati terhadap sesama, kritis terhadap ketidakadilan, dan kreatif dalam membangun masa depan. Tanpa literasi yang hidup dan utuh ini, pendidikan kehilangan rohnya.
Kini saatnya kita bertanya: apakah kita hanya melahirkan manusia yang bisa membaca teks, atau manusia yang mampu memahami dan membentuk kehidupan?
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.