Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Euforia Superfisial atau Kemenangan Suci?

Penghujung pekan keempat, sayup ramadhan mulai terasa hening. Di kejauhan, lantunan ayat tetap menyambut jiwa-jiwa insan imani. 

Editor: Muh Hasim Arfah
Tribun-Timur.com
Juanto Avol, Alumni santri Pesantren DDI Kaballangang 

Bukankah setiap tahun, kita melihat pemandangan yang sama, orang-orang berbondong membagikan zakat, sedekah, anak-anak yatim dan tunawisma mendapat bingkisan dan uang dari dermawan. Lalu mengapa, kemiskinan sang fakir masih berseliweran?

Ataukah boleh jadi, zakat dan sedekah sering kali hanya menjadi simbol jangka pendek seiring berakhirnya ramadhan, dan bukan sebagai solusi perbaikan struktur sosial berkelanjutan di lingkungan kita.

Mungkin saja, mereka yang memberi, sering kali hanya euforia, ingin merasa baik tanpa benar-benar peduli terhadap akar masalah kemiskinan di sekitarnya.

Dan jika idul fitri dimaknai tentang kemenangan kembali suci, lantas mengapa masih banyak yang kalah dalam pertarungan hidup? Kalah menundukkan nafsunya?

Andai saja kita mau bertanya ke dalam diri, benarkah hati ini suci dalam ketulusan memberi sebagai solusi. Atau jangan-jangan kita hanya disibukkan dalam ritual euforia tahunan?

Belum lagi, tradisi mudik tahunan, sering dianggap sebagai simbol kemapanan. Pulang ke kampung halaman, mereka dipaksa menunjukkan kesuksesan, hasil kerja keras dari tanah rantau. Meskipun realita, masih banyak yang berjuang memenuhi kebutuhan dasarnya. 

Kehadiran mereka dibuat seolah dengan membawa cerita sukses. Namun, tak sedikit para perantau, mudik justeru menjadi tekanan finansial dan psikologis.

Mungkin, tak nampak di dalam dada mereka ada risau batin, beban sosial untuk membawa kesan hebat dalam masyarakat. Walau kenyataannya tak berbanding lurus, ada pilu membelenggu.

Mudik yang seharusnya menjadi momentum silaturahim, saling meringankan dosa-dosa sosial, malah berubah menjadi ajang pembuktian strata sosial. 

Akhirnya, kadang tak disadari, tujuan mudik sesungguhnya adalah menguatkan hubungan keluarga. Atas sebuah penantian panjang orang tua di kampung halaman, kerinduannya bagai pelipur swargantara (langit dan surga) tiada bandingan. 

Pun andai kata, kepulangan hanya membawa diri tanpa materi, itu tidak masalah bagi dua manusia mulia yang membesarkan kita.

Karena sesungguhnya yang mereka (orang tua) nantikan hanyalah pelukan hangat, derai air mata, do'a dan pertemuan dalam keberkahan umur.

Lalu, apakah kita benar-benar pulang untuk bersilaturahmi atau hanya untuk menjaga citra di mata keluarga dan tetangga? Pikirkan!


Superfisial

Di momentum hari raya, ada hal lain, satu ucapan yang familiar sering kita dapati, "Mohon Maaf Lahir dan Batin". 

Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved