Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Ibnu Azka

Perempuan dan Mimbar Tarawih

Masjid di Indonesia sudah memiliki susunan penceramah ramadhan setiap malamnya, tetapi ada juga masjid yang tidak memiliki penceramah.

Editor: Sudirman
zoom-inlihat foto Perempuan dan Mimbar Tarawih
Ibnu Azka
OPINI - Ibnu Azka Akademisi, Penulis, dan Da’i

Oleh: Ibnu Azka

Akademisi, Penulis, dan Da’i

TRIBUN-TIMUR.COM - PERDEBATAN tentang kebolehan perempuan tampil di mimbar masjid belakangan mencuat lagi ke publik.

Apalagi momentum ramadhan memang erat kaitannya sebagai bulan dakwah, dan dalam praktiknya dipastikan masjid-masjid setelah melaksanakan shalat isya, melanjutkan dengan rangkaian ceramah agama atau yang lebih populer disebut ceramah tarawih.

Umumnya masjid-masjid di Indonesia sudah memiliki susunan penceramah ramadhan di setiap malamnya, tetapi ada juga masjid yang secara struktural tidak memiliki
jadwal para penceramah.

Artinya pelaksananannya dilakukan secara dinamis, bagi yang mau mengisi ceramah diperbolehkan, selama tetap memegang prinsip syariat, salah satunya berpakaian yang sopan.

Dalam Islam, penyebaran ilmu dan dakwah pada prinsipnya tidak dibatasi oleh gender.

Baik laki-laki maupun perempuan memiliki tanggung jawab dan hak yang sama untuk menyampaikan kebaikan.

Meskipun dalam praktiknya ada perbedaan sebahagian ulama mengenai hal ini, khususnya perihal ruang dan batasan tertentu bagi perempuan untuk menyampaikan ceramah, utamanya di masjid.

Dalam khazanah fiqih klasik, ada pandangan yang membedakan antara peran perempuan dalam ibadah ritual seperti shalat berjamaah dan perannya dalam menyampaikan ilmu agama.

Beberapa ulama cenderung membatasi partisipasi perempuan dalam ruang publik keagamaan dengan alasan menjaga adab dan menghindari fitnah, misalnya Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin.

Ia berpendapat bahwa suara perempuan itu memiliki potensi fitnah, sebab perempuan biasanya mengartikulasikan suara dengan nada yang mendayu-dayu (baca:istilah populer).

Namun, ulama lain, terutama dalam tradisi fiqih mazhab seperti Imam Syafii, dalam kitabnya Al- Umm, justru secara tegas mengakui peran perempuan dalam peradaban keilmuan Islam, termaksud sebagai guru bagi laki-laki.

Sehingga dalam hal ini, penulis berargumen tidak ada konsensus secara eksplisit dari para ulama mengenai adanya larangan yang jelas bagi perempuan untuk memberikan ceramah agama selama tetap menjaga etika dan tidak melanggar prinsip-prinsip syariat.

Perempuan dan Peradaban Keilmuan Islam

Halaman
123
Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved