Opini Ibnu Azka
Perempuan dan Mimbar Tarawih
Masjid di Indonesia sudah memiliki susunan penceramah ramadhan setiap malamnya, tetapi ada juga masjid yang tidak memiliki penceramah.
Selain aspek teologis, faktor sosial dan budaya juga turut mempengaruhi bagaimana peran perempuan dalam dakwah diterima oleh masyarakat.
Di beberapa komunitas, masih ada anggapan bahwa masjid adalah ruang yang lebih diperuntukkan bagi laki-laki, meskipun secara historis perempuan juga memiliki akses untuk berbicara di atas mimbar masjid.
Jika menelusuri sejarah Islam, ada banyak tokoh-tokoh perempuan yang memiliki latarbelakang keilmuan mumpuni dalam agama, sebut saja Aisyah RA, Ummu Salamah, Asma binti Abu Bakar, Ummul Fadhl Biba Al-Harawiyah dan masih banyak lagi, mereka tak hanya menghafal hadist, tetapi juga menjadi penghafal Al-Qur’an pada masanya.
Di Indonesia misalnya Ustadzah yang cukup populer juga aktif berceramah ada Ustadzah Oki Setiana Dewi, Ustadzah Ummi Pipik, dan Mamah Dedeh.
Mereka-mereka inilah bukti bahwa pengetahuan dan mimbar agama itu tidak memiliki gender superior.
Fakta inilah yang menunjukkan bahwa peran perempuan sangat diperhitungkan dalam khazanah keilmuan dalam sejarah peradaban umat Islam di dunia, mereka tak hanya menjadi guru bagi para laki- laki, namun juga menjadi sumber inspirasi untuk terus belajar.
Di era kontemporer, ulama yang cukup mashur seperti Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh Al-Mar’ah dan Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar cenderung memberikan ruang yang lebih
luas bagi perempuan dalam berdakwah.
Pandangan mereka berdua tentang perempuan berceramah cukup progresif dan terbuka dibandingkan dengan ulama konservatif.
Ia melihat perempuan sebagai bagian penting dalam dakwah Islam dan mendorong mereka untuk aktif dalam menyebarkan ilmu agama. Namun, mereka menggaris bawahi tentang pentingnya adab dan etika dalam berbicara di ruang publik.
Selain itu, ia juga menambahkan bahwa selama ceramah yang disampaikan berorientasi untuk menyebarkan ilmu dan meningkatkan pemahaman keagamaan, maka tidak ada dalil yang melarangnya.
Argumen ini diperkuat dengan fakta bahwa dalam banyak masyarakat Muslim, perempuan telah lama aktif dalam pengajian dan majelis taklim, serta memiliki banyak audiens ketika menyampaikan ceramah keagamaan baik di mimbar masjid, platform media sosial, juga yang belakangan mulai ekspansi ke hotel-hotel.
Lalu mengapa ketika ada perempuan naik ke mimbar masjid menyampaikan dakwah masih diperdebatkan ?
hal itu didasari tak lain dari pemahaman fiqih, interpretasi dalil, dan perkembangan sosial dalam masyarakat Muslim.
Sebagian besar resistensi terhadap perempuan penceramah bukan berasal dari teks keagamaan yang eksplisit, melainkan dari konstruksi budaya yang mengakar di masyarakat.
Dalam beberapa komunitas, masjid dianggap sebagai ruang yang lebih diperuntukkan bagi laki-laki, sementara perempuan diharapkan lebih banyak bergumul di lingkaran domestik atau pengajian khusus perempuan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.