Opini Alem Febri Sonni
Ramadhan dan Transformasi Komunikasi Sosial di Era Digital
Ramadhan bukan sekadar ritual puasa dan peningkatan ibadah formal semata.
Oleh: Dr. Alem Febri Sonni
Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Hasanuddin Makassar
Refleksi Komunikasi Di Bulan Suci
TRIBUN_TIMUR.COM - Saat tulisan ini dibuat, kita tengah berada di pekan pertama bulan Ramadhan 1446 Hijriah.
Bulan suci yang dinanti oleh seluruh umat Muslim di penjuru dunia, termasuk di Kota Makassar yang dikenal dengan kerukunan dan harmoni masyarakatnya yang majemuk.
Sebagai seorang akademisi yang telah mengabdikan diri selama hampir dua dekade dalam bidang ilmu komunikasi, saya ingin mengajak pembaca untuk merefleksikan makna Ramadhan dari sudut pandang komunikasi sosial dan bagaimana nilai-nilai spiritual bulan ini dapat mentransformasi pola komunikasi kita di tengah arus deras informasi era digital.
Ramadhan bukan sekadar ritual puasa dan peningkatan ibadah formal semata.
Lebih dari itu, Ramadhan adalah momentum untuk evaluasi diri, termasuk dalam aspek komunikasi yang kita praktikkan sehari-hari.
Bagaimana kita berkomunikasi dengan sesama, bagaimana kita menyikapi informasi yang diterima, dan bagaimana kita berkontribusi dalam ekosistem informasi yang kini semakin kompleks.
Tulisan ini akan mengurai secara mendalam fenomena komunikasi sosial kontemporer, khususnya di Kota Makassar, dan bagaimana nilai-nilai Ramadhan dapat menjadi fondasi untuk membangun pola komunikasi yang lebih sehat, etis, dan konstruktif di tengah masyarakat yang semakin terfragmentasi oleh kepentingan politik, ekonomi, dan identitas.
Dinamika Komunikasi Sosial Di Kota Makassar
Kota Makassar, sebagai salah satu kota metropolitan terbesar di Indonesia Timur, memiliki dinamika sosial yang kompleks. Dengan populasi yang heterogen, baik dari segi etnis, agama, maupun status sosial-ekonomi, pola komunikasi yang terjadi di kota ini mencerminkan keberagaman tersebut.
Ada beberapa fenomena komunikasi sosial yang saya amati selama bertahun-tahun hidup dan mengajar di kota ini.
Pertama, tradisi verbal yang kuat.
Masyarakat Makassar dikenal dengan tradisi lisan yang kaya, mulai dari pakelong (syair), pasang (petuah), hingga siri' (harga diri) yang diekspresikan melalui komunikasi verbal yang ekspresif.
Tradisi verbal ini menjadi modal sosial yang berharga dalam membangun kohesi sosial.
Namun di sisi lain, kadang menjadi tantangan tersendiri ketika dihadapkan dengan budaya komunikasi digital yang cenderung singkat, cepat, dan seringkali miskin konteks.
Kedua, transformasi ruang publik.
Jika dahulu pasar, warung kopi, dan mesjid menjadi ruang publik utama tempat masyarakat Makassar bertukar informasi dan membangun konsensus sosial, kini ruang-ruang tersebut telah bertransformasi.
Media sosial, grup WhatsApp, dan forum-forum online menjadi "ruang publik baru" yang mengubah pola komunikasi. Pergeseran ini membawa konsekuensi pada kualitas dan karakteristik komunikasi yang terjadi.
Ketiga, polarisasi dan segregasi informasi.
Seperti halnya kota-kota besar lainnya di Indonesia, Makassar pun tidak luput dari fenomena polarisasi sosial-politik yang tercermin dalam pola komunikasi masyarakatnya.
Algoritma media sosial yang menciptakan "ruang gema" (echo chamber) semakin memperparah segregasi informasi, di mana orang cenderung hanya terpapar informasi yang sesuai dengan keyakinan politiknya.
Fenomena ini tentu mengancam keutuhan sosial dalam jangka panjang.
Keempat, krisis literasi dan verifikasi.
Perkembangan teknologi informasi yang pesat tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas literasi digital masyarakat. Akibatnya, hoaks dan disinformasi menjadi fenomena yang akut di tengah masyarakat Makassar.
Riset yang pernah dilakukan pada tahun 2022 menunjukkan bahwa 65 persen responden di Makassar pernah menyebarkan informasi tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu, terutama jika informasi tersebut relevan dengan identitas sosial-politik mereka.
Kelima, pergeseran otoritas informasi.
Jika dulunya tokoh agama, akademisi, dan media mainstream menjadi rujukan utama informasi, kini otoritas tersebut tersebar.
Influencer media sosial, YouTuber, bahkan anonymous account di Twitter/X seringkali memiliki pengaruh yang lebih besar dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan sumber-sumber konvensional.
Pergeseran ini tentu membawa implikasi pada kualitas wacana publik yang berkembang.
Dalam konteks dinamika tersebut, Ramadhan hadir sebagai momentum spiritual yang potensial untuk mengevaluasi dan memperbaiki pola komunikasi sosial kita. Lalu, bagaimana nilai-nilai Ramadhan dapat menjadi fondasi untuk membangun komunikasi yang lebih sehat dan konstruktif?
Nilai-Nilai Ramadhan Sebagai Fondasi Komunikasi Etis
Ramadhan membawa beberapa nilai fundamental yang sangat relevan dengan upaya membangun komunikasi etis di era digital. Berikut adalah beberapa nilai tersebut dan bagaimana relevansinya dengan praktik komunikasi kontemporer:
1. Pengendalian Diri (Self-Control)
Esensi puasa dalam Ramadhan adalah pengendalian diri – menahan lapar, haus, dan hawa nafsu. Nilai ini sangat relevan dengan komunikasi di era digital yang cenderung impulsif dan reaktif.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Yale University menemukan bahwa konten yang memicu emosi negatif seperti kemarahan dan ketersinggungan cenderung 2,5 kali lebih viral dibandingkan konten yang netral atau positif. Inilah mengapa konten-konten provokatif begitu mudah menyebar di media sosial.
Pengendalian diri dalam konteks komunikasi digital berarti kemampuan untuk tidak reaktif terhadap provokasi, kemampuan untuk memverifikasi informasi sebelum membagikannya, dan kesediaan untuk berpikir kritis terhadap informasi yang diterima.
Pengendalian diri juga tercermin dari kemampuan untuk memilih kata dan cara penyampaian yang tepat, terutama ketika berkomunikasi dengan mereka yang berbeda pandangan.
Di Makassar, fenomena "warung kopi digital" di mana diskusi-diskusi yang dulu terjadi di warung kopi kini berpindah ke media social, seringkali kehilangan etika komunikasi yang biasanya hadir dalam interaksi tatap muka.
Orang lebih mudah melontarkan kata-kata kasar, stereotip, bahkan fitnah karena tidak ada kehadiran fisik yang menuntut tanggung jawab langsung.
Nilai pengendalian diri dalam Ramadhan mengingatkan kita bahwa komunikasi bukan hanya tentang menyampaikan pendapat, tapi juga tentang bertanggung jawab atas dampak dari komunikasi tersebut.
2. Kejujuran dan Integritas (Honesty and Integrity)
Nilai kejujuran dan integritas sangat ditekankan dalam Ramadhan. Dalam hadits disebutkan bahwa puasa tidak hanya menahan dari makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari perkataan dusta.
Dalam konteks komunikasi digital, kejujuran menjadi tantangan tersendiri ketika manipulasi informasi begitu mudah dilakukan.
Fenomena deepfake, manipulasi foto dan video, serta penyebaran narasi yang sengaja direkayasa untuk menyesatkan merupakan antitesis dari nilai kejujuran yang dianjurkan dalam Ramadhan.
Di Makassar, fenomena "buzzer politik" yang memproduksi dan menyebarkan narasi-narasi manipulatif terutama menjelang kontestasi politik lokal maupun nasional telah menciptakan lanskap informasi yang terdistorsi.
Integritas dalam komunikasi berarti konsistensi antara apa yang diketahui, apa yang diyakini, dan apa yang disampaikan. Ini termasuk kejujuran untuk mengakui keterbatasan pengetahuan dan tidak mengklaim kepastian atas hal-hal yang belum terverifikasi. Sayangnya, budaya "merasa paling tahu" yang didorong oleh kemudahan akses informasi seringkali mengikis integritas komunikasi.
Ramadhan mengajarkan kita untuk menjunjung tinggi kejujuran dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam berkomunikasi. Ketika kita menahan diri dari makanan dan minuman yang halal selama berpuasa, bukankah lebih penting lagi untuk menahan diri dari menyebarkan informasi yang belum terverifikasi kebenarannya?
3. Empati dan Kasih Sayang (Empathy and Compassion)
Ramadhan adalah bulan kasih sayang, di mana umat Muslim didorong untuk lebih peka terhadap penderitaan sesama, berbagi dengan yang membutuhkan, dan memperkuat ikatan sosial. Nilai empati ini sangat relevan dengan komunikasi di era digital yang cenderung kehilangan konteks emosional dan nuansa non-verbal.
Komunikasi digital seringkali bersifat asinkron dan termediasi oleh teknologi, sehingga mengurangi elemen empati yang biasanya hadir dalam komunikasi tatap muka.
Akibatnya, orang lebih mudah bersikap kasar, menghakimi, atau bahkan melakukan perundungan online karena tidak langsung melihat dampak emosional dari komunikasi tersebut pada penerima pesan.
Di Makassar, fenomena perundungan online terhadap individu yang dianggap menyimpang dari norma sosial atau memiliki pandangan yang berbeda telah menjadi persoalan serius.
Riset yang pernah dilakukan pada tahun 2023 menunjukkan bahwa 70 persen kasus perundungan online di Makassar dipicu oleh perbedaan pandangan politik atau agama. Fenomena ini mencerminkan krisis empati dalam komunikasi digital.
Nilai empati dalam Ramadhan mengingatkan kita bahwa di balik setiap akun media sosial ada manusia nyata dengan perasaan dan harga diri.
Komunikasi empatis berarti kemampuan untuk mempertimbangkan dampak emosional dari pesan yang kita sampaikan, dan kesediaan untuk mendengarkan perspektif yang berbeda dengan pikiran terbuka. Ini juga termasuk kemampuan untuk membayangkan bagaimana rasanya berada di posisi orang lain sebelum menghakimi atau mengkritik.
4. Refleksi dan Introspeksi (Reflection and Introspection)
Ramadhan adalah bulan refleksi dan introspeksi, di mana umat Muslim didorong untuk mengevaluasi diri dan memperbaiki hubungan dengan Tuhan dan sesama. Nilai ini sangat relevan dengan komunikasi di era digital yang cenderung dangkal, reaktif, dan miskin refleksi.
Di tengah arus informasi yang begitu deras, orang semakin jarang memiliki waktu untuk merenungkan makna dari informasi yang diterima.
Komunikasi digital mendorong respons instan dan pemikiran dangkal, sehingga seringkali mengorbankan kedalaman analisis dan refleksi kritis. Algoritma media sosial yang dirancang untuk memaksimalkan engagement juga cenderung memprioritaskan konten yang memicu respons emosional cepat dibandingkan konten yang mendorong refleksi mendalam.
Di Makassar, tradisi reflektif seperti yang tercermin dalam konsep pasang ri kajang (petuah-petuah bijak) atau pappasang (pesan leluhur) yang kaya akan nilai-nilai kebijaksanaan perlahan mulai tergerus oleh budaya komunikasi instan.
Padahal, tradisi reflektif ini telah menjadi fondasi kerukunan sosial masyarakat Sulawesi Selatan selama berabad-abad.
Nilai refleksi dalam Ramadhan mengingatkan kita untuk "berpuasa" dari konsumsi informasi yang berlebihan dan menciptakan ruang untuk merenungkan makna di balik informasi yang kita terima.
Ini juga mendorong kita untuk mengevaluasi dampak dari komunikasi yang kita lakukan dan memperbaiki pola komunikasi yang destruktif.
5. Kesederhanaan dan Substansi (Simplicity and Substance)
Ramadhan mengajarkan kesederhanaan dalam banyak aspek kehidupan. Nilai ini kontras dengan karakteristik komunikasi digital yang cenderung berlebihan, sensasional, dan seringkali mengutamakan bentuk daripada substansi.
Fenomena clickbait, judul bombastis, dan konten viral yang miskin substansi telah menjadi norma dalam ekosistem informasi digital.
Di Makassar, transformasi media lokal yang semakin mengejar klik dan engagement seringkali mengorbankan kedalaman jurnalistik dan akurasi. Judul-judul provokatif dan sensasional menjadi strategi umum untuk menarik perhatian, meskipun seringkali menyesatkan dan tidak mencerminkan substansi berita yang sebenarnya.
Nilai kesederhanaan dalam Ramadhan mengingatkan kita untuk fokus pada substansi daripada sensasi, pada kebenaran daripada viralitas, dan pada kualitas daripada kuantitas dalam berkomunikasi.
Ini juga mendorong kita untuk lebih selektif dalam mengonsumsi dan membagikan informasi, dengan mengutamakan kebermanfaatan dan relevansi daripada sekadar kebaruan atau sensasionalisme.
Transformasi Komunikasi Sosial Di Era Digital: Perspektif Ramadhan
Dengan berbagai tantangan komunikasi sosial yang telah diuraikan, serta nilai-nilai Ramadhan yang relevan dengan praktik komunikasi, kini saatnya mendiskusikan bagaimana kita dapat mentransformasi pola komunikasi sosial di era digital berdasarkan perspektif Ramadhan.
Berikut adalah beberapa pendekatan yang saya usulkan:
1. Membangun Infrastruktur Etika Komunikasi Digital
Nilai-nilai Ramadhan seperti pengendalian diri, kejujuran, dan empati dapat menjadi fondasi untuk membangun infrastruktur etika komunikasi digital yang lebih kokoh.
Kita perlu menerjemahkan nilai-nilai tersebut menjadi norma-norma konkret yang menuntun interaksi digital kita sehari-hari.
Di tingkat institusional, universitas, NGO, dan komunitas-komunitas di Makassar dapat berperan dalam merumuskan dan menyosialisasikan etika komunikasi digital yang berbasis pada nilai-nilai lokal dan spiritual.
Misalnya, konsep sipakatau (saling memanusiakan), sipakalebbi (saling menghormati), dan sipakainge (saling mengingatkan) dalam budaya Bugis-Makassar sangat sejalan dengan nilai-nilai Ramadhan dan dapat menjadi basis etika komunikasi digital yang kontekstual.
Di tingkat individual, kita perlu mengembangkan apa yang saya sebut sebagai "puasa digital" praktik pengendalian diri dalam mengonsumsi dan memproduksi konten digital.
Ini termasuk membatasi waktu di media sosial, berpikir beberapa kali sebelum membagikan informasi, dan secara sadar menghindari konten yang memicu emosi negatif atau menyebarkan perpecahan.
2. Revitalisasi Literasi Kritis dan Verifikasi
Ramadhan mengajarkan kita untuk tidak menelan mentah-mentah stimulus yang masuk – baik yang bersifat fisik maupun informasional. Nilai refleksi dan introspeksi dalam Ramadhan dapat menjadi basis untuk mengembangkan literasi kritis yang lebih kuat di tengah banjir informasi.
Di Makassar, lembaga pendidikan formal dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi perlu mengintegrasikan literasi digital dan pemikiran kritis dalam kurikulum pembelajaran.
Tidak cukup hanya mengajarkan cara mengakses informasi, tapi juga cara mengevaluasi kredibilitas sumber, mengidentifikasi bias, dan melakukan verifikasi.
Media lokal juga dapat berperan dalam mempromosikan budaya verifikasi dengan menyediakan rubrik khusus untuk mengklarifikasi hoaks dan disinformasi yang beredar di masyarakat. Kolaborasi antara media, akademisi, dan pegiat literasi digital diperlukan untuk menciptakan ekosistem informasi yang lebih sehat.
Secara individual, kita perlu mengembangkan kebiasaan "tabayyun" digital memverifikasi informasi sebelum mempercayai atau membagikannya. Kebiasaan ini sejalan dengan anjuran dalam Al-Quran untuk melakukan verifikasi terhadap berita yang datang dari orang fasik (QS. Al-Hujurat: 6). Di era digital, prinsip ini menjadi semakin relevan ketika sumber informasi semakin beragam dan sulit diidentifikasi kredibilitasnya.
3. Rekonstruksi Ruang Publik Digital yang Inklusif
Nilai empati dan kasih sayang dalam Ramadhan dapat menjadi basis untuk merekonstruksi ruang publik digital yang lebih inklusif dan konstruktif.
Segregasi informasi dan polarisasi sosial-politik yang terjadi di platform digital perlu ditangani dengan pendekatan yang mengedepankan dialog dan pemahaman bersama.
Di Makassar, tradisi tudang sipulung (duduk bersama untuk bermusyawarah) dapat diadaptasi dalam konteks digital untuk menciptakan forum-forum deliberatif yang mempertemukan berbagai perspektif.
Platform-platform diskusi online yang dimoderasi dengan baik dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip dialog yang sehat perlu diperbanyak untuk mengimbangi ruang-ruang digital yang terpolarisasi.
Media-media lokal di Makassar juga perlu mengadopsi pendekatan jurnalisme perdamaian (peace journalism) yang tidak hanya meliput konflik dan perbedaan, tetapi juga menggali nilai-nilai bersama dan upaya-upaya rekonsiliasi. Ini akan membantu menciptakan narasi publik yang lebih menyatukan daripada memecah belah.
Secara individual, kita perlu mengembangkan apa yang saya sebut sebagai "empati digital" kemampuan untuk melihat kemanusiaan di balik perbedaan pendapat di ruang digital. Ini termasuk kesediaan untuk mendengarkan perspektif yang berbeda dengan pikiran terbuka, dan kemampuan untuk berkomunikasi dengan hormat meskipun tidak setuju.
4. Kultivasi Otentisitas dan Integritas dalam Komunikasi
Nilai kejujuran dan integritas dalam Ramadhan dapat menjadi basis untuk mengembangkan komunikasi yang lebih otentik dan berintegritas di era digital.
Fenomena performativitas digital, di mana orang menampilkan versi diri yang telah direkayasa untuk memenuhi ekspektasi sosial atau mengumpulkan validasi, perlu diimbangi dengan dorongan untuk lebih otentik dan jujur.
Di Makassar, lembaga-lembaga keagamaan, pendidikan, dan komunitas dapat berperan dalam mempromosikan nilai-nilai otentisitas dan integritas dalam berkomunikasi.
Pengajian Ramadhan, seminar, dan workshop dapat menjadi medium untuk mendiskusikan tantangan otentisitas di era digital dan bagaimana nilai-nilai spiritual dapat menjadi panduan.
Media lokal juga perlu menunjukkan integritas jurnalistik dengan tidak terjebak dalam jurnalisme clickbait yang mengorbankan akurasi dan konteks demi mendapatkan klik. Standar verifikasi yang ketat dan transparansi dalam proses editorial akan membantu membangun kepercayaan publik terhadap media.
Secara individual, kita perlu mengembangkan apa yang saya sebut sebagai "integritas digital" kesesuaian antara identitas online dan offline, serta konsistensi antara nilai-nilai yang diyakini dengan perilaku komunikasi di ruang digital.
Ini termasuk keberanian untuk mengakui kesalahan dan bersikap transparan tentang bias dan keterbatasan pengetahuan.
5. Pengembangan Kebijaksanaan Kolektif dalam Ekosistem Informasi
Nilai refleksi dan kesederhanaan dalam Ramadhan dapat menjadi basis untuk mengembangkan kebijaksanaan kolektif (collective wisdom) dalam menyikapi ekosistem informasi yang kompleks.
Kebijaksanaan ini mencakup kemampuan untuk membedakan informasi yang esensial dari yang trivial, yang substansial dari yang superfisial, dan yang konstruktif dari yang destruktif.
Di Makassar, forum-forum diskusi interdisipliner yang melibatkan akademisi, tokoh agama, pegiat media, dan masyarakat umum perlu diperbanyak untuk membangun pemahaman bersama tentang tantangan informasi kontemporer.
Kolaborasi lintas sektor ini akan membantu mengembangkan pendekatan yang lebih komprehensif dalam mengatasi masalah disinformasi dan polarisasi.
Lembaga-lembaga pendidikan juga perlu mengadopsi pendekatan pembelajaran yang lebih menekankan pada pengembangan kebijaksanaan (wisdom-oriented learning) daripada sekadar akumulasi pengetahuan (knowledge-oriented learning).
Ini termasuk kemampuan untuk menyintesis informasi dari berbagai sumber, mengidentifikasi pola yang lebih besar, dan menerapkan nilai-nilai etis dalam mengolah informasi.
Secara individual, kita perlu mengembangkan apa yang saya sebut sebagai "diet informasi" praktik mengonsumsi informasi secara selektif dan reflektif, dengan lebih mengutamakan kualitas daripada kuantitas. Ini sejalan dengan semangat puasa dalam Ramadhan yang mengajarkan pengendalian terhadap asupan – baik yang bersifat fisik maupun mental.
Menuju Komunikasi Profetik Di Era Digital: Inspirasi Ramadhan
Sebagai kesimpulan dari refleksi panjang ini, saya ingin mengajukan konsep "Komunikasi Profetik" sebagai paradigma yang terinspirasi dari nilai-nilai Ramadhan dan relevan dengan tantangan komunikasi di era digital.
Komunikasi profetik mengacu pada model komunikasi yang terinspirasi oleh cara Nabi Muhammad SAW berkomunikasi, yang dikenal dengan karakteristik qaulan sadida (perkataan yang benar), qaulan baligha (perkataan yang efektif), qaulan ma'rufa (perkataan yang baik), qaulan karima (perkataan yang mulia), qaulan layyina (perkataan yang lembut), dan qaulan maysura (perkataan yang mudah dipahami).
Komunikasi profetik memiliki beberapa karakteristik yang sangat relevan dengan tantangan komunikasi digital:
1. Berorientasi pada kebenaran dan kebaikan: Komunikasi profetik mengutamakan kebenaran faktual dan kebaikan moral. Ini kontras dengan banyak praktik komunikasi digital yang lebih mementingkan viralitas, popularitas, atau keuntungan komersial.
2. Mempertimbangkan kondisi audiens: Komunikasi profetik sensitif terhadap keadaan kognitif, emosional, dan sosial audiens. Ini termasuk kemampuan untuk menyesuaikan gaya, bahasa, dan pendekatan komunikasi agar pesan dapat diterima dengan baik.
3. Menjunjung tinggi martabat manusia: Komunikasi profetik menghormati kemanusiaan dari semua pihak yang terlibat dalam komunikasi. Ini termasuk menghindari ujaran kebencian, stereotip, dan segala bentuk komunikasi yang merendahkan atau mendiskriminasi.
4. Mengedepankan dialog bukan monolog: Komunikasi profetik menciptakan ruang untuk dialog yang sehat, di mana semua pihak memiliki kesempatan untuk mengekspresikan perspektifnya dan didengarkan dengan hormat.
5. Membangun bukan merusak: Komunikasi profetik bertujuan untuk membangun kohesi sosial, saling pengertian, dan kerjasama, bukan memperdalam perpecahan atau konflik.
Di Makassar, paradigma komunikasi profetik dapat menjadi kerangka untuk mengevaluasi dan mereformasi berbagai praktik komunikasi mulai dari jurnalisme, komunikasi politik, hingga interaksi sehari-hari di media sosial.
Lembaga-lembaga keagamaan, pendidikan, dan media dapat berkolaborasi untuk memperkenalkan dan mempromosikan nilai-nilai komunikasi profetik dalam berbagai konteks.
Ramadhan, dengan nilai-nilai spiritualnya yang kaya, memberikan kita kesempatan untuk merefleksikan dan mentransformasi pola komunikasi kita.
Di tengah tantangan polarisasi, disinformasi, dan dehumanisasi yang semakin akut di era digital, nilai-nilai Ramadhan seperti pengendalian diri, kejujuran, empati, refleksi, dan kesederhanaan dapat menjadi kompas moral yang menuntun praktik komunikasi kita ke arah yang lebih etis, konstruktif, dan memanusiakan.
Maka, marilah kita jadikan momentum Ramadhan ini tidak hanya sebagai ritual tahunan, tetapi juga sebagai titik balik dalam mentransformasi pola komunikasi sosial kita.
Semoga dengan demikian, kita dapat berkontribusi dalam membangun ekosistem informasi yang lebih sehat dan masyarakat yang lebih harmonis di Kota Makassar.
Langkah Nyata Menuju Transformasi
Sebagai penutup, saya ingin mengajak seluruh elemen masyarakat Makassar untuk mengambil langkah nyata dalam mentransformasi komunikasi sosial kita berdasarkan inspirasi Ramadhan:
1. Bagi individu, mari mengembangkan "puasa digital" praktik pengendalian diri dalam mengonsumsi dan memproduksi konten digital. Batasi waktu di media sosial, verifikasi informasi sebelum membagikannya, dan prioritaskan interaksi yang konstruktif.
2. Bagi keluarga, mari menjadikan Ramadhan sebagai momentum untuk memperkuat komunikasi intergenerasional. Jadikan momen berbuka dan sahur sebagai waktu untuk dialog yang bermakna, berbagi perspektif, dan menanamkan nilai-nilai komunikasi yang sehat kepada generasi muda.
3. Bagi lembaga pendidikan, mari mengintegrasikan literasi digital dan etika komunikasi dalam kurikulum pembelajaran. Kembangkan program-program yang mendorong pemikiran kritis, empati, dan dialog lintas perspektif.
4. Bagi media, mari mengedepankan jurnalisme yang akurat, berimbang, dan konstruktif. Hindari sensasionalisme dan clickbait yang mengorbankan kualitas informasi, dan berperan aktif dalam mengklarifikasi hoaks dan disinformasi.
5. Bagi tokoh agama dan tokoh masyarakat, mari menjadi teladan dalam praktik komunikasi yang etis dan konstruktif, baik online maupun offline. Gunakan pengaruh sosial untuk mendorong dialog, pemahaman bersama, dan kohesi sosial.
6. Bagi pemerintah daerah, mari mengembangkan kebijakan dan program yang mendukung ekosistem informasi yang sehat, termasuk peningkatan akses terhadap informasi berkualitas, pengembangan kapasitas literasi digital masyarakat, dan penciptaan ruang publik digital yang aman dan inklusif.
Semoga refleksi ini dapat menjadi kontribusi kecil dalam upaya bersama untuk membangun komunikasi sosial yang lebih sehat dan masyarakat yang lebih harmonis di Kota Makassar. Ramadhan Kareem!

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.