Ngopi Akademik
Anggaran Negara
Dari sudut pandang sosiologi, pemotongan anggaran ini berpotensi meningkatkan dinamika sosial di masyarakat terutama dalam aspek ketimpangan sosial.
Oleh:
Rahmat Muhammad
Ketua Program Studi Doktor Sosiologi Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM - Tegas dan jelas Presiden dalam beberapa kesempatan meminta supaya efisiensi penggunaan baik APBN maupun APBD, semua demi kepentingan rakyat sehingga menjadi catatan penting dilakukan pemotongan anggaran sebesar Rp 306,7 triliun dalam APBN 2025.
Pemotongan ini mencakup hampir semua di kementerian sehingga revisi anggaran tidak terelakkan.
Bagi institusi yang cepat mengantisipasi tentu tidak sepanik dengan yang sering gunakan anggaran secara berlebihan terutama untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu.
Secara makro, kebijakan ini bertujuan untuk mengalihkan dana ke program prioritas seperti pemberian makan bergizi gratis bagi anak sekolah dan ibu hamil serta pembangunan fisik sekolahan.
Namun, dari sudut pandang sosiologi, pemotongan anggaran ini berpotensi meningkatkan dinamika sosial di masyarakat, terutama dalam aspek ketimpangan sosial, mobilitas kelas, dan akses terhadap sumber daya publik.
Salah satu kekhawatiran utama dari kebijakan ini adalah meningkatnya ketimpangan sosial.
Pemotongan besar pada kementerian yang berkaitan dengan infrastruktur dan pendidikan dapat memperdalam kesenjangan sosial dan ekonomi antar wilayah.
Infrastruktur, seperti jalan, jembatan, dan fasilitas umum, adalah prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi daerah.
Jika proyek-proyek infrastruktur terhambat, maka daerah yang kurang berkembang akan semakin tertinggal dibandingkan pusat-pusat ekonomi utama seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung.
Dengan anggaran infrastruktur yang dipangkas hingga 80 persen, daerah-daerah di luar Jawa akan lebih sulit mengakses peluang ekonomi yang setara dengan wilayah perkotaan.
Hal ini bisa memperburuk migrasi desa-kota, meningkatkan urbanisasi yang tidak terkendali, dan menciptakan permasalahan sosial baru seperti pengangguran, kemiskinan perkotaan, dan tekanan pada infrastruktur kota besar.
Selain itu, pemotongan anggaran pendidikan sebesar 39 persen juga menimbulkan pertanyaan serius tentang masa depan mobilitas sosial di Indonesia.
Pendidikan merupakan salah satu alat utama bagi individu untuk meningkatkan status sosial dan ekonomi mereka.
Dalam perspektif teori fungsionalisme struktural, institusi pendidikan memiliki peran vital dalam mempertahankan keteraturan sosial dengan memberikan kesempatan yang setara kepada semua individu.
Namun, ketika akses terhadap pendidikan terganggu, ketimpangan sosial akan semakin mengakar.
Salah satu efek langsung dari pemotongan anggaran pendidikan adalah berkurangnya dana untuk beasiswa, riset, dan pembangunan infrastruktur pendidikan di daerah.
Ini berarti bahwa anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah akan semakin sulit mengakses pendidikan berkualitas.
Jika pendidikan tinggi menjadi semakin mahal dan eksklusif, kelas menengah yang selama ini berkembang pesat di Indonesia bisa mengalami stagnasi.
Akibatnya, struktur sosial akan semakin kaku, di mana kelas atas semakin mempertahankan posisinya sementara kelas bawah semakin sulit naik ke tingkat sosial-ekonomi yang lebih baik.
Pemerintah berargumen bahwa dana yang dipangkas akan dialihkan ke hal yang jauh lebih bermanfaat, tentunya memiliki dampak positif bagi kesehatan masyarakat.
Investasi dalam gizi memang merupakan langkah yang baik untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di masa depan.
Namun, program ini harus berjalan seiring dengan investasi di sektor pendidikan dan infrastruktur, agar anak-anak yang menerima gizi yang lebih baik juga mendapatkan akses pendidikan yang memadai dan peluang ekonomi yang lebih luas di masa depan.
Dalam praktiknya, kebijakan fiskal selalu memiliki dampak sosial yang luas.
Dalam teori konflik yang dikemukakan oleh Karl Marx, kebijakan seperti ini sering kali menguntungkan kelompok tertentu sementara merugikan kelompok lain.
Jika tidak ada kebijakan yang mengimbanginya, pemotongan anggaran ini bisa memperburuk ketimpangan kelas, di mana kelompok elite ekonomi tetap memiliki akses terhadap pendidikan dan infrastruktur berkualitas, sementara kelompok masyarakat bawah semakin termarginalkan.
Pemotongan anggaran yang besar ini perlu dikaji ulang dengan mempertimbangkan dampak sosial jangka panjang.
Pemerintah perlu memastikan bahwa efisiensi anggaran tidak justru mengorbankan sektor-sektor yang esensial bagi keadilan sosial dan mobilitas ekonomi masyarakat.
Jika infrastruktur dan pendidikan dikorbankan, maka kesenjangan sosial bisa semakin melebar, menghambat pembangunan berkelanjutan, dan memicu ketidakstabilan sosial dalam jangka panjang.
Sebagai solusi, pemerintah harus mencari jalan tengah dengan menyeimbangkan efisiensi anggaran tanpa mengorbankan sektor-sektor yang berperan vital dalam pembangunan sosial-ekonomi masyarakat.
Selain itu, transparansi dalam alokasi anggaran dan partisipasi publik dalam perumusannya menjadi sangat penting agar kebijakan ini tidak hanya dilihat sebagai keputusan teknokratis, tetapi juga sebagai upaya yang adil dan inklusif bagi seluruh rakyat Indonesia.
Besar harapan kiranya perintah Presiden akan efisiensi anggaran betul konsisten dengan kebijakan pemerintah dalam beraktivitas, bukan justru sebaliknya dengan melakukan pemborosan yang inefisien, semoga.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.