Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Ruang Aman Perempuan: Institusi Pendidikan dalam Bayang-Bayang Ketidakpastian

Karena, tindakan tercela ini terjadi di tempat-tempat yang seharusnya menjadi ruang aman dan mendidik.

Editor: Sudirman
zoom-inlihat foto Ruang Aman Perempuan: Institusi Pendidikan dalam Bayang-Bayang Ketidakpastian
Ist
Syamsul Alam, Alumnus UIN Sunan Kalijaga

Oleh: Syamsul Alam

Alumnus UIN Sunan Kalijaga

TRIBUN-TIMUR.COM - Kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia kian menjadi momok yang mengkhawatirkan.

Karena, tindakan tercela ini terjadi di tempat-tempat yang seharusnya menjadi ruang aman dan mendidik.

Di pesantren, misalnya, kasus pelecehan seksual di salah satu pondok pesantren yang berada di Kabutapen Agam, Sumatera Barat (Kompas.com, 2024).

Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan yang seharusnya menjadi pusat pembinaan moral justru menjadi panggung bagi
perilaku predatoris.

Bayangkan, para santri yang datang dengan niat suci menimba ilmu malah menjadi korban kekejian dari pihak yang mereka percaya.

Situasi tersebut tidak jauh berbeda yang terjadi di lingkungan akademik. Universitas, yang seharusnya menjadi tempat menimba ilmu, kini turut tercemar oleh tindakan tak senonoh.

Seperti yang terjadi di Universitas Makassar yaitu Universitas Hasanuddin (Unhas) (Kompas.com, 2024) dan UIN Alauddin Makassar (Tribunnews.com, 2024).

Kejadian ini menjadi tamparan keras bagi institusi pendidikan tinggi, sekaligus peringatan bahwa perempuan bahkan tidak aman di ruang-ruang akademik.

Parahnya lagi, kekerasan seksual juga terjadi dalam lingkungan keluarga (Tribunnews.com, 2024). Tempat yang seharusnya menjadi benteng terakhir perlindungan bagi perempuan.

Bagaimana mungkin seorang figur yang seharusnya menjadi panutan dan pelindung justru menjadi pelaku?

Hingga saat ini, perempuan terus-menerus hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian dan ketidakamanan.

Lingkungan yang seharusnya melindungi malah menjadi tempat pengkhianatan. Ini bukan hanya persoalan kasus individual, tetapi masalah sistemik yang membutuhkan perhatian serius.

Lantas, dimana lagi perempuan harus merasa aman jika tempat belajar, tempat bekerja, bahkan rumah, tak lagi menjanjikan perlindungan?

Kita sedang menghadapi kenyataan pahit, yang dimana perempuan terus terjebak dalam lingkaran ketidakadilan yang berlapis.

Ketika tempat-tempat seperti pesantren, kampus, bahkan rumah yang seharusnya menjadi simbol perlindungan, kini berubah menjadi ladang bagi “predator”.

Relasi Kuasa

Kasus kekerasan seksual yang marak terjadi di berbagai lembaga menjadi cerminan buruk atas perlindungan kekuasaan.

Posisi yang lebih tinggi kerap kali digunakan untuk memaksa kehendak pada orang yang lebih lemah, menciptakan lingkungan yang toksik dan tidak aman.

Korban, yang seringkali merasa terintimidasi dan takut, kesulitan untuk bersuara.

Lingkungan yang tidak sehat secara sosial dan budaya, di mana kekuasaan menjadi segala-galanya, menjadi lahan subur bagi pelaku kekerasan seksual untuk beraksi.

Korban, yang berada dalam posisi yang lemah dan rentan, seringkali kesulitan untuk mencari dukungan dan keadilan.

Ketakutan akan stigma sosial dan ancaman dari pelaku membuat banyak korban memilih untuk diam (bungkam).

Kekerasan seksual bukanlah kecelakaan atau kesalahan. Pelaku secara sadar merencanakan dan melaksanakan tindakannya dengan memanfaatkan situasi dan kelemahan korban.

Kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan seperti perguruan tinggi, pesantren dan lembaga lainnya bukan tidak mungkin pelakuknya tidak memiliki pengetahuan.

Justru pelaku melakukan perbuatan tersebut melalui relasi kuasanya lewat pengetahuan.

Seperti yang di ungkapkan oleh Foucault bahwa “kekuasaan selalu teraktualisasi lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu mempunyai efek kuasa”.

Sehingga, dalam praktiknya wacana pengetahuan kerap kali dipergunakan untuk melanggengengkan kekuasaan.

Kekuasan adalah suatu jaringan kelembagaan yang mendominasi dan berhubungan dengan relasi-relasi yang lainnya seperti dalam keluarga, yang memainkan peran pengondisian dan dikondisikan (Foucault, 2002).

Meredefinisi Keamanan

Meredefinisi keamanan untuk perempuan bukan hanya menyoal perlindungan fisik, tetapi juga menghadirkan sistem yang mampu membongkar hierarki kekuasaan yang timpang di dalam institusi.

Konsep keamanan yang ada saat ini kerap kali gagal memberikan jaminan perlindungan, bagi perempuan yang berada di lingkungan dengan relasi kuasa yang tidak seimbang seperti pesantren, kampus, dan keluarga, yang seharusnya menjadi ruang aman, justru berubah menjadi arena pengkhianatan. Karena, kekuasaan kerap kali dijadikan sebagai alat untuk
menindas.

Keamanan sejati bagi perempuan harus dimulai dari upaya menghilangkan “budaya diam” karena budaya tersebutlah yang justru melanggengkan kekerasan seksual.

Artinya korban harus speak up tanpa harus takut disalahkan atau dihakimi.

Selama ini, kita sering menyaksikan perempuan lebih banyak memilih untuk diam dan membiarkan para pelaku berkeliaran sambil mencari mangsa lain.

Jika hal tersebut terus dibiarkan, maka budaya pelecahan terhadap perempuan hanya menyembunyikan kejahatan.

Selain itu, meredefinisi keamanan berarti menciptakan kebijakan afirmasi yang menargetkan akar masalah.

Institusi pendidikan, seperti pesantren dan universitas, harus menerapkan sistem pengawasan dan transparansi yang ketat untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan bukan malah menyembunyikan kasus-kasus tersebut demi menjaga institusi.

Misalnya, melakukan pelatihan wajib untuk pengelola institusi tentang kekerasan seksual dan relasi kuasa dan menyediakan mekanisme pelaporan yang independen dan mudah diakses untuk perempuan.

Keamanan perempuan bukanlah sebuah konsep utopis yang mustahil diwujudkan.

Ini adalah kebutuhan mendesak yang harus diperjuangkan. Tulisan ini bukan hanya sebuah ajakan untuk menyadari, tetapi juga seruan untuk bertindak.

Karena keamanan perempuan adalah tanggung jawab kita bersama, dan bagi saya diam bukanlah pilihan.

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved