Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Revitalisasi Jongaya dan Makam Diponegoro

Satu proposal tentang revitalisasi Kota Lama Jongaya, dan proposal revitalisasi Makam Pangeran Diponegoro.

Editor: Sudirman
Ist
Halim HD Networer-Organizer Kebudayaan 

Oleh: Halim HD

Networker-Organizer Kebudayaan

TRIBUN-TIMUR.COM - Tahun baru 2025 nampaknya akan diiringi oleh gairah baru.

Hari ini hari pertama tahun 2025 ketika saya mendapatkan kiriman dua proposal yang membuat saya bergairah untuk ikut membacanya. 

Satu proposal tentang revitalisasi Kota Lama Jongaya, dan proposal revitalisasi Makam Pangeran Diponegoro.

Membaca proposal yang disusun secara menarik dengan data sejarah dan disertai disain umum, kedua proposal itu terasa ingin menciptakan Kembali suatu tata ruang kota Makassar yang memiliki visi sejarah, kultural, pendidikan dan arah dari usaha untuk memelihara warisan budaya yang dimiliki oleh warga-masyarakat Makassar, yang selama ini indap oleh derap pembangunan gedung-gedung baru. 

Makassar salah satu kota pesisir yang sepanjang ratusan tahun memegang peranan bukan hanya dalam perspektif keberadaan geografis yang strategis.

Tapi juga dengan posisi geografis strategi situ memainkan peranan politik, ekonomi, kultural. Warisan ini tentu saja ada dalam ingatan, memori sosial yang hingga kini masih diidap oleh warga-masyarakat Makassar.

Tapi, memori sejarah sosial punya permasalahan berkaitan dengan perubahan tata ruang perkotaan (urban) yang menderap dan melindas berbagai ruang publik yang pernah menjadi icon bagi warga-masyarakat pada masa lampau.

Dalam konteks itulah kedua proposal berkaitan dengan revitalisasi Jongaya dan Kompleks Makam Pangeran Diponegoro menjadi kian menarik untuk kita soroti, sebagai bagian dari revitalisasi memori sosial khususnya bagi kaum Generasi Millenial dan Generasi Z. 

Fokus untuk revitalisasi memori sosial bagi Generasi Milenial dan Generasi Z menjadi sangat relevan berkaitan dengan derasnya arus informasi yang melanda dan merasuk kedalam kedua generasi, yang bisa menciptakan keterputusan memori sejarah sosial bagi kaum muda itu.  

Dalam konteks itulah terasa kedua proposal revitalisasi yang jika terlaksana akan memakan waktu bertahun-tahun, suatu proses panjang karena berkaitan dengan berbagai rincian ruang yang kuat kaitannya dengan sejarah dan pendidikan dan pembangkitankembali visualisasi yang ideal dalam konteks warisan budaya dan sejarah. 

Kita tentu akan menyambut kedua proposal itu sebagai produk dari kapasitas intelektual yang sesungguhnya, yang ingin menggali dan menghidupkan suatu khasanah tradisi dengan kompleksitas konten yang mengiringinya.

Berkaitan dengan hal itu pula, maka proyek itu mesti didukung oleh kaum pakar dan teknisi yang kompeten, bukan hanya kompeten secara teknikal tapi juga kompetensi dalam kandungan pemikiran yang mendasari kedua proposal tersebut.

Hal kompetisi ini sangat perlu kita tekankan menjadi prinsip dalam organisasi kerja dari proyek yang bersifat visioner.

Sebab, kita tahu banyak proyek sejarah yang pernah terjadi namun kita melihat pula begitu banyak hal-hal teknis secara visual yang tak didukung oleh kompetensi pemikiran membuat proyek itu menjadi artifisial. 

Satu hal lainnya, semoga kedua proposal yang akan menjadi pegangan itu selalu diiringi oleh kontrol dan pemikiran kritis dalam mewujudkan proyek juga di dalam pengelolaannya: suatu tata kelola proyek yang memiliki keterbukaan manajerial.

NASIB GEDUNG SOCIETEIT DE HARMONIE

Ungkapan bahwa masyarakat kita lebih mudah merusak dibandingkan memelihara mendapatkan bukti yang paling konkrit. 

Suatu gedung kesenian yang pernah menjadi icon pada zaman kolonial dan menjadi icon bagi kaum seniman sejak tahun 1960 hingga tahun 1990-an dalam seni pertunjukan dan melalui ruang kesenian yang dijadikan ruang publik kebudayaan itu memunculkan sajian karya yang menambah kekayaan khazanah pemikiran.

Suatu pemikiran dalam konteks perspektif seni pertunjukan sangat membutuhkan ruang(an).

Tentu saja konsep ruang(an) bisa beragam. Tapi salah satu fenomena dunia moderen yang menuntut adanya locus bagi dunia seni pertunjukan, maka suatu gedung kesenian menjadi ukurankehadiran karya seni pertunjukan, demikian juga dengan seni rupa. 

Di Jakarta, sezaman dengan gedung kesenian di Makassar bisa terus hadir secara fisikal dengan pemeliharaan yang baik, dan didukung oleh pengelolaan yang jempol, melahirkan sajian karya-kaarya seni pertunjukan yang bersifat nasional dan internasional.

Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) menjadi icon bagi kota Jakarta, walaupun Taman Ismail Marzuki (TIM) yang menyusul pada zaman berikutnya, GKJ tetap mencitrakan suatu makna kehadiran gedung kesenian sebagai warisan sejarah dan budaya.

Itulah makanya Pemda Jakarta selalu menjaga bukan hanya secara fisikal, tapi juga seluruh kandungan teknisnya tetap dipertahankan.

Kehadiran GKJ menjadi bukan hanya sosok fisikal, tapi juga kehadiran suatu sejaraha yang berubah namun perubahannya memiliki makna yang lebih signifikan: bahwa bangsa Indonesia melalui warga-masyarakat Jakarta via pengelola Dinas Kebudayaan Jakarta menghadirkan secara kontinyu makna sejarah itu.

Makna sejarah itu kian memiliki kandungan nilai dengan isian program yang sangat aktual dengan kehidupan zaman: kehadiran berbagai jenis kesenian modern dan tradisi mengisi ruang GKJ. 

Berbeda dengan Pemda Jakarta yang sangat sadar memiliki rasa hormat kepada sejarah dan mengisi warisan sejarah itudengan program yang mencitrakan kota memiliki marwah dan martabat dalam proses menjadikan kota sebagai ruang peradaban, Makassar tampaknya jauh dari kecerdasan memahami peninggalan sejarah.

Jadi ungkapan bahwa masyarakat kita lebih mudah merusak daripada memelihara, sesungguhnya menunjuk kepada kasus Gedung Kesenian Societeit de Harmonie, yang pernah berjaya selama beberapa dekade dengan isian acara serta lingkungan tata ruang yang ideal bagi kesenian, kini nampak makin kumuh.

Ruang pertunjukan yang tak lagi memadai betapapun berulang kali direnovasi.

Renovasi yang tak berpijak kepada kebutuhan seni pertunjukan dan tak didasarkan kepada perlunya renovasi didukung oleh suatu kompetensi. Maka yang terjadi, ruang pertunjukan menjadi tak berfungsi.(*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Financial Wellness

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved