Opini Aswar Hasan
Koruptor Dimaafkan, Rakyat Dipajaki
Koruptor dimaafkan, sementara rakyat kecil semakin tertekan dengan kenaikan PPN 12 persen. Pemerintah tetap bertahan meski ada protes besar.
“Jika PPN 12 persen tidak dibatalkan, kami akan turun serentak di seluruh Indonesia” (Tempo.co, 28/12-2024).
Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun menilai bahwa kenaikan PPN 12 persen akan menurunkan daya beli dan kemakmuran dunia usaha serta masyarakat.
Aturan ini dianggap tidak sesuai dengan amanat konstitusi.
Wakil Ketua MUI, Anwar Abbas, meminta pemerintah menunda penerapan PPN 12 persen, karena kenaikan ini akan sangat membebani dunia usaha dan masyarakat.
Anwar Abbas menambahkan, penundaan pelaksanaan kenaikan PPN 12 persen sebaiknya dilakukan sampai situasi dunia usaha dan ekonomi masyarakat memungkinkan.
Hal ini mengingat kenaikan PPN ini sangat berhubungan dengan kehidupan rakyat banyak.
Petisi online pun muncul sebagai bentuk penolakan terhadap kenaikan PPN 12 persen.
Hingga Kamis (26/12/2024), sebanyak 194.417 orang telah menandatangani petisi ini yang ditujukan kepada Presiden Prabowo. Sebelumnya, tayang di Bisnis.com dengan judul: "Naik Terus! Petisi Tolak PPN 12 Persen Diteken Hampir 200.000 Warganet."
Lantas, apa yang membuat pemerintah seolah menutup telinga terhadap protes penolakan kenaikan PPN 12 persen? Boleh jadi karena pemerintah saat ini membutuhkan dana untuk membiayai dirinya dan aktivitasnya, apalagi utang yang menumpuk (selama rezim Jokowi) akan jatuh tempo.
Padahal, Direktur Kebijakan Publik Celios Media, Wahyudi Askar, mengatakan bahwa peluang untuk menunda atau membatalkan kenaikan PPN sebenarnya masih terbuka. Dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), Pasal 7 Ayat (3) Bab IV menyebutkan tarif PPN dapat diubah dalam rentang 5 persen hingga 15 persen.
Bahkan, ada jalan pintas untuk membatalkan kenaikan PPN ini, yakni dengan Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mengubah kebijakan ini.
Namun sayangnya, pemerintah tak menempuh jalur tersebut.
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyatakan bahwa alasan pemerintah tetap menaikkan PPN ke 12 persen bukan hanya untuk menjalankan UU HPP seperti yang selama ini disampaikan oleh Airlangga dan kawan-kawan. Sebab, UU tersebut memberi kesempatan untuk membatalkan kebijakan ini.
Menurut Nailul Huda, alasan utama kenaikan PPN tetap dilaksanakan adalah karena pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai program andalan Prabowo-Gibran.
“Mereka butuh uang banyak, yang mereka ambil dari masyarakat dalam bentuk pajak. PPN merupakan instrumen termudah dan paling efektif bagi pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara,” katanya (CNN Indonesia, 24/12/2024).
Negara memang membutuhkan dana likuiditas, namun di saat yang bersamaan, koruptor dimaafkan dengan syarat mengembalikan hasil korupsi, sementara rakyat kecil justru dipajaki demi pembangunan yang entah untuk siapa. Wallahu a'lam bisawwabe. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.