Opini Aswar Hasan
Koruptor Dimaafkan, Rakyat Dipajaki
Koruptor dimaafkan, sementara rakyat kecil semakin tertekan dengan kenaikan PPN 12 persen. Pemerintah tetap bertahan meski ada protes besar.
Oleh: Aswar Hasan
Dosen Fisip Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM - Pajak dinaikkan, koruptor dimaafkan.
Begitulah bunyi salah satu pamflet yang dibawa oleh pendemo yang menentang kenaikan pajak.
Demo tersebut digelar oleh Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) yang melakukan aksi menolak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.
Mahasiswa menilai kebijakan ini akan menjadi ancaman bagi rakyat kecil di tengah tingginya harga kebutuhan hidup.
Koordinator Pusat BEM SI Kerakyatan, Satria Naufal, menyebutkan bahwa kenaikan PPN tidak sebanding dengan peningkatan pendapatan masyarakat dan lapangan kerja.
“Ini akan menurunkan daya beli masyarakat,” ujarnya pada Kamis, 19 Desember 2024.
Ia juga menekankan dampak buruk kebijakan ini terhadap ekonomi rakyat, terutama kelas menengah ke bawah, di tengah maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan kenaikan harga barang kebutuhan pokok.
Oleh karena itu, BEM SI mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan ini dan membatalkannya.
Aksi serupa tidak hanya dilakukan di Jakarta, tetapi juga oleh elemen mahasiswa lain seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Petisi yang beredar menyoroti dampak negatif dari kebijakan ini, termasuk meningkatnya harga kebutuhan pokok, penurunan daya beli, dan kesulitan masyarakat dalam menghadapi tekanan ekonomi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sejak Mei 2024 daya beli masyarakat terus menurun, sementara angka pengangguran masih tinggi, yakni 4,91 juta orang.
Pemerintah sebelumnya menetapkan kenaikan PPN 12 persen mulai 1 Januari 2025 berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa kebijakan ini sesuai dengan jadwal yang ditetapkan dalam UU HPP.
Namun, mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya menegaskan bahwa kebijakan ini justru akan memperburuk kondisi ekonomi rakyat. Mereka meminta Presiden Prabowo Subianto untuk segera membatalkan kenaikan PPN demi menjaga kesejahteraan masyarakat.
“Jika PPN 12 persen tidak dibatalkan, kami akan turun serentak di seluruh Indonesia” (Tempo.co, 28/12-2024).
Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun menilai bahwa kenaikan PPN 12 persen akan menurunkan daya beli dan kemakmuran dunia usaha serta masyarakat.
Aturan ini dianggap tidak sesuai dengan amanat konstitusi.
Wakil Ketua MUI, Anwar Abbas, meminta pemerintah menunda penerapan PPN 12 persen, karena kenaikan ini akan sangat membebani dunia usaha dan masyarakat.
Anwar Abbas menambahkan, penundaan pelaksanaan kenaikan PPN 12 persen sebaiknya dilakukan sampai situasi dunia usaha dan ekonomi masyarakat memungkinkan.
Hal ini mengingat kenaikan PPN ini sangat berhubungan dengan kehidupan rakyat banyak.
Petisi online pun muncul sebagai bentuk penolakan terhadap kenaikan PPN 12 persen.
Hingga Kamis (26/12/2024), sebanyak 194.417 orang telah menandatangani petisi ini yang ditujukan kepada Presiden Prabowo. Sebelumnya, tayang di Bisnis.com dengan judul: "Naik Terus! Petisi Tolak PPN 12 Persen Diteken Hampir 200.000 Warganet."
Lantas, apa yang membuat pemerintah seolah menutup telinga terhadap protes penolakan kenaikan PPN 12 persen? Boleh jadi karena pemerintah saat ini membutuhkan dana untuk membiayai dirinya dan aktivitasnya, apalagi utang yang menumpuk (selama rezim Jokowi) akan jatuh tempo.
Padahal, Direktur Kebijakan Publik Celios Media, Wahyudi Askar, mengatakan bahwa peluang untuk menunda atau membatalkan kenaikan PPN sebenarnya masih terbuka. Dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), Pasal 7 Ayat (3) Bab IV menyebutkan tarif PPN dapat diubah dalam rentang 5 persen hingga 15 persen.
Bahkan, ada jalan pintas untuk membatalkan kenaikan PPN ini, yakni dengan Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mengubah kebijakan ini.
Namun sayangnya, pemerintah tak menempuh jalur tersebut.
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyatakan bahwa alasan pemerintah tetap menaikkan PPN ke 12 persen bukan hanya untuk menjalankan UU HPP seperti yang selama ini disampaikan oleh Airlangga dan kawan-kawan. Sebab, UU tersebut memberi kesempatan untuk membatalkan kebijakan ini.
Menurut Nailul Huda, alasan utama kenaikan PPN tetap dilaksanakan adalah karena pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai program andalan Prabowo-Gibran.
“Mereka butuh uang banyak, yang mereka ambil dari masyarakat dalam bentuk pajak. PPN merupakan instrumen termudah dan paling efektif bagi pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara,” katanya (CNN Indonesia, 24/12/2024).
Negara memang membutuhkan dana likuiditas, namun di saat yang bersamaan, koruptor dimaafkan dengan syarat mengembalikan hasil korupsi, sementara rakyat kecil justru dipajaki demi pembangunan yang entah untuk siapa. Wallahu a'lam bisawwabe. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.