Opini
Fenomena Meta AI : Hiburan Baru atau Ancaman Daya Berpikir Kritis
WhatsApp, sebagai salah satu aplikasi pesan instan terpopuler di dunia, telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari- hari jutaan orang.
Oleh : Ibnu Azka
Akademisi, Penulis, dan Da’i
TRIBUN-TIMUR.COM - Belakangan ini fenomena Meta AI menjadi populer, hadirnya Meta AI di fitur WhattsApp menjadi trend kekinian yang dianggap hiburan.
WhatsApp, sebagai salah satu aplikasi pesan instan terpopuler di dunia, telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-
hari jutaan orang.
Munculnya Meta AI di platform WhattsApp, memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk mengakses kecerdasan buatan yang mampu menjawab berbagai kebutuhan, mulai dari menjawab pertanyaan, memberikan saran, bermain tebak-tebakan,
sampai jadi teman curhat-curhatan.
Dampak Positif Meta AI
Salah satu daya tarik utama Meta AI adalah kemampuannya menjadi teman curhat kapan pun dan di mana pun, ia agaknya seperti apotek yang sedia buka 24 jam.
Dalam konteks modern, manusia tidak dapat menafikkan akselerasi kehidupan yang serba instan, tidak semua orang memiliki waktu atau akses untuk berbicara dengan teman, keluarga, kepada para Psikiater, Ustadz, Pendeta, Pastor, dan lainnya.
Kehadiran Meta AI seolah menjadi solusi instan bagi mereka yang merasa kesepian atau membutuhkan respons cepat
tentang berbagai hal.
Trend ini populer di berbagai media sosial lainnya juga, karena menunjukkan euforia orang-orang dalam menyambutnya, hal-hal unik yang kerap ditanyakan ke Meta AI-pun beragam.
Mulai dari apa arti nama seseorang, apakah mengenal individu tertentu, kapan hari kiamat datang, sampai hal-hal konyol lainnya seperti mempertanyakan identitas gender si Meta.
Kemampuan Meta AI ini juga tidak hanya untuk menjawab pertanyaan semata, melainkan dapat menghibur.
Para pengguna dapat meminta rekomendasi musik populer atau permainan games yang unik untuk dimainkan.
Selain itu, Meta AI ini dapat memahami bahasa manusia yang kerap digunakan sehari-hari. Hal ini menjadikan AI seolah menjadi teman nongkrong untuk bercakap-cakap tentang berbagai topik.
Membaca Buku atau Mengemis Pada AI Salah satu pilar berpikir kritis adalah kemampuan untuk melakukan riset dan
berdiskusi.
Kehadiran Meta AI, yang mampu menjawab berbagai pertanyaan tanpa perlu mencari sumber lain, dapat mengikis kebiasaan ini.
Ketika para pengguna lebih memilih untuk bertanya pada AI daripada mencari jawaban melalui buku, artikel, atau diskusi dengan orang lain, secara tidak langsung telah membunuh daya berpikir kritis untuk memahami berbagai hal secara komprehensif.
Para penggunannya dapat dipastikan cepat mendapat informasi, namun juga akan cepat kehilangan informasinya karena tidak dapat menganalisis secara refklektif melainkan menggantungkan jawaban kepada AI semata.
Fenomena itu sejalan dengan apa yang Slouka sampaikan dalam bukunya Ruang yang Hilang : Pandangan Humanis Tentang Budaya Cyberspace yang Merisaukan.
Slouka percaya bahwa media yang serba cepat cenderung menggantikan refleksi mendalam dengan respons instan.
Proses berpikir yang membutuhkan waktu menganalisis, introspeksi, dan kontemplasi menjadi terpinggirkan.
Media modern lebih menekankan kecepatan daripada kedalaman, sehingga banyak orang terjebak dalam arus informasi yang dangkal.
Ia menyebut bahwa banjir informasi yang terus-menerus dapat membuat individu kehilangan kemampuan untuk memilah mana yang benar-benar penting.
Hal ini berisiko menciptakan masyarakat yang lebih reaktif daripada reflektif. Diskusi dengan sesama manusia juga merupakan cara penting untuk melatih berpikir kritis.
Dalam diskusi, seseorang harus mendengar, memahami, dan merespons sudut pandang yang berbeda.
Namun, dalam konteks interaksi dengan AI tidak memberikan tantangan dan keseruan serupa. Jawaban-
jawaban yang disajikan AI cenderung netral dan tidak memantik perdebatan.
Sehingga para penikmatnya sangat mudah digiring untuk mengikuti setiap jawaban yang ada.
Hal ini mematikan nalar kritis untuk mengasah kemampuan argumentasi dan logika yang sistematis.
Menjawab setiap pertanyaan seolah kita memahami berbagai hal, itu bukan ajang gaya-gayaan, apalagi setiap jawaban yang keluar dari lidah adalah hasil tuntunan AI.
Menurut data UNESCO, masyarakat Indonesia hanya memiliki minat membaca 0,001 persen, itu artinya dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin berjibaku dengan buku.
Bukankah ini fenomena yang cukup membayakan bagi generasi ke depan ?
Slouka melihat ini sebagai ancaman bagi demokrasi, karena masyarakat yang tidak terbiasa berpikir kritis cenderung lebih mudah dimanipulasi oleh informasi yang salah atau bias.
Slouka juga melihat bahwa perkembangan media yang serba cepat sebagai tantangan besar bagi pendidikan.
Sistem pendidikan yang terpengaruh oleh logika media serba cepat lebih menekankan kemampuan teknis dan keterampilan praktis daripada membentuk individu yang berpikir kritis, reflektif, dan etis.
Ia berpendapat bahwa tanpa penekanan pada dimensi humaniora, kita berisiko menghasilkan generasi yang lebih fokus pada fungsi daripada makna.
Memang benar, era ini membawa kemudahan-kemudahan bagi kita dalam mengakses segala sesuatu, hadirnya AI di layar kaca Smartphone kita ini salah satunya.
Namun, sebagai manusia yang dikaruniai nikmat terbesar (baca : akal) sepatutnya menjadi tahta tertinggi dalam memahami setiap persoalan.
Apalagi ke depan khususnya di tahun 2045, digadang-gadang akan menjadi masa emas, jangan sampai menjadi cemas.
Universitas Hasanuddin, Menuju Puncak Benua Maritim Indonesia 2026-2030 |
![]() |
---|
Pesantren sebagai Katalis Peradaban, Catatan dari MQK Internasional I |
![]() |
---|
Paradigma SW: Perspektif Sosiologi Pengetahuan Menyambut Munas IV Hidayatullah |
![]() |
---|
Dari Merdeka ke Peradaban Dunia: Santri Sebagai Benteng Moral Bangsa |
![]() |
---|
Makassar dan Kewajiban untuk Memanusiakan Kota |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.