Habiskan Anggaran Rp4,5 Miliar, Nyaris 10 Tahun RS Mitra Pratama Belajen Enrekang Tak Beroperasi
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Enrekang, Nurjannah Mandeha mengungkapkan RS Mitra Pratama Belajen belum mengantongi surat izin operasional
Penulis: Muhammad Nur Alqadri Sirajuddin | Editor: Alfian
TRIBUN-TIMUR.COM, ENREKANG - Rumah Sakit (RS) Mitra Pratama Belajen di Kecamatan Alla, Kabupaten Enrekang, Sulsel. terbengkalai sejak dibangun 2015 lalu.
Pembangunan RS itu tersendat, karena mengalami kasus korupsi 2018 yang menyeret tiga terpidana.
Ketiga terpidana itu yakni mantan Kadis Kesehatan Enrekang Marwan, Sandy Dwi Nugraha, dan Andi M Kilat Karaka.
Alih-alih RS akan segera difungsikan setelah kasus korupsinya terungkap.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Enrekang, Nurjannah Mandeha mengungkapkan RS Mitra Pratama Belajen belum mengantongi surat izin operasional.
"Surat keterangan Izin operasional akan diberikan oleh kementerian kesehatan setelah dilakukan visitasi (Kunjungan)," tutur Nurjanah yang ditemui langsung dikantor Dinkes Enrekang Rabu (18/12/2024) siang.
Nurjanah menjanjikan RS Mitra Pratama Belajen akan beroperasi di tahun 2025 mendatang.
"Insyaallah nanti akan segera dimanfaatkan," singkatnya.
Diberitakan sebelumnya Selasa (17/12), kondisi RS Mitra Pratama Belajen kini terbengkalai yang menyisahkan banyak ruang kosong dipenuhi kotoran burung.
Baca juga: Video: Uang Korupsi Proyek RS Mitra Pratama Belajen Dikembalikan
Baca juga: Tersangka Tipikor Proyek RS Mitra Pratama Belajen Enrekang Kembalikan Uang Negara Rp 927 Juta

Olehnya itu warga sekitar, Rasman (55) berharap agar RS Mitra Pratama Belajen tersebut dapat segera beroperasi.
"Siapapun bupatinya mudah-mudahan pembangunan RS ini bisa dilanjutkan," harap Rasman saat ditemui dirumahnya.
Terlilit Kasus Korupsi
Kejaksaan Negeri (Kejari) Enrekang mengembalikan uang senilai 927 juta kepada kas negara, Jumat (3/2/2023).
Pengembalian uang negara tersebut merupakan kasus tindak pidana korupsi (tipikor) pembangunan Rumah Sakit Pratama Mitra Belajen tahun 2015 yang menyeret tiga tersangka.
Pengembalian dilakukan pihak keluarga terpidana tipikor atas nama Sandy Dwi Nugraha di aula kantor Kejari Enrekang, Kamis (2/2/2023) kemarin.
Uang tersebut diterima Kajari Enrekang Slamet Haryanto disaksikan Kasi Intel Andi Zainal, Kasi Pidsus S Anwar hingga penyidik kejari.
Kemudian dititipkan di Bank BRI Cabang Enrekang untuk disetorkan kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
"Pengembalian uang negara itu diwakilkan oleh pihak keluarganya. Tadi telah dilakukan di kantor Kejari Enrekang dan uang milik negara tersebut langsung disetor dan menjadi PNBP," tutur S Anwar.
Diketahui, kasus tindak pidana korupsi (tipikor) ini mulai terungkap sejak tahun 2018 lalu.
Dimana proyek pembangunan RS itu menggunakan pagu anggaran senilai Rp 4.738.000.000 yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) 2015.
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) RI, Sandy Dwi Nugraha dijatuhi hukum pokok selama 6 tahun ditambah 6 bulan.
Adapun denda senilai Rp 200 juta apabila tidak membayar subsidiair enam bulan dan uang pengganti sebesar Rp 927.878.256.65.
Sedikitnya ada tiga tersangka yang ditetapkan, diantaranya mantan Kadis Kesehatan Enrekang Marwan, Sandy Dwi Nugraha, dan Andi M Kilat Karaka.
Marwan adalah selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Kemudian, Andi M Kilat Karaka selaku direktur dan Sandy Dwi Nugraha selaku Kuasa Direksi PT Haka Utama.
Anwar mengatakan, tersangka Sandy Dwi Nugraha masih menjalani masa tahanan di Lapas Makassar.
"Sementara terhadap terpidana Sandy, sekarang masih menjalani di Lapas Makassar. Sudah menjalani pokok tahanan selama 6 tahun 6 bulan dan saat ini ada itikat upaya pembayaran UP (uang persediaan), yang artinya dia tidak menjalani nanti subsidiair," tandasnya.
Duduk Perkara Tipikor Proyek RS Mitra Pratama Belajen
Proyek ini dimenangkan oleh PT Haka Utama sesuai Kontrak Nomor: 15/ KONTRAK/PENG.RSPratama/ DKE/XI/ 2015 tanggal 09 November 2015, dengan nilai kontrak sebesar Rp 4.566.800.000.
Pekerjaan pembangunan RS itu yang dituangkan dalam Akte Notaris Fatmi Nuryanti, SH dengan Nomor: 08 tanggal 09 November 2015, terdapat pemberian fee sekitar Rp 80 juta dari Direksi PT Haka Utama.
Fee itu diberikan kepada pelaksana proyek sebagai tanda terima kasih pinjam pakai perusahaan.
Namun dalam pekerjaannya Direksi PT Haka Utama melakukan penggantian personil inti serta peralatan yang ditawarkan sebelumnya.
Hal itu tanpa sepengetahuan dan persetujuan PPK, PPTK maupun konsultan pengawas.
Sehingga pengerjaan proyek tersebut diduga mengalami keterlambatan.
Akibatnya, terjadi penambahan waktu pekerjaan selama 56 hari kalender dan mendapat denda keterlabatan sebesar Rp 255.740.800.
Sementara dalam pelaksanaan pekerjaan ditemukan beberapa alat yang tidak digunakan sesuai analisa penggunaan alat, kendati alat tersebut tetap dibayarkan. Seperti, Whell Loader, Dump Truck dan Stamper.
Berdasarkan hasil perhitungan kerugian negara yang dilakukan Ahli BPKP Perwakilan Provinsi Sulsel diperoleh hasil Perhitungan Kerugian Negara sebesar Rp1.077.878.252, 65. (*)
Prabowo Malu Usai Noel Kader Gerindra Ditangkap KPK Kasus Korupsi |
![]() |
---|
Integritas Kepemimpinan: Benteng Terakhir Lawan Korupsi |
![]() |
---|
Diduga Terima Suap Rp720 Juta, Bupati Pati Sudewo Bakal Diperiksa KPK Soal Dugaan Korupsi DJKA |
![]() |
---|
Yaqut di Ujung Tanduk! Temuan KPK, 8 Ribu Jemaah Nunggu 14 Tahun Tidak Berangkat Haji Gegara Korupsi |
![]() |
---|
Korupsi, Patah Tumbuh Hilang Berganti |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.