Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

TPPO Marak, Butuh Sistem Terbaik

Kepolisian juga menangkap seorang pria berinisial FH (28) yang diduga mucikari di Kota Makassar.

Editor: Sudirman
Ist
Dr Suryani Syahrir Dosen dan Pemerhati Sosial 

Oleh: Dr Suryani Syahrir

Dosen dan Pemerhati Sosial

TRIBUN-TIMUR.COM - TIM Resmob Polda Sulawesi Selatan (Sulsel) membongkar kasus praktik Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Hotel Jl. Pasar Ikan, Kota Makassar, Sulsel, (3/11/2024). 

Kepolisian juga menangkap seorang pria berinisial FH (28) yang diduga mucikari di Kota Makassar.

FH diduga mempekerjakan seorang wanita asal Bali berinisial DW (23) untuk melayani pria hidung belang.(makassar.tribunnews.com, 4/11/2024).

Dilansir dari beritasatu.com (3/11/2024), Polda Sulsel mengungkap kasus perdagangan manusia yang melibatkan 77 mahasiswa di Kota Makassar, Jumat (22/11/2024).

Para korban diduga dijerat melalui program kerja musim liburan atau yang dikenal sebagai Ferienjob di Jerman. Kasus TPPO ini menjadikan praktik magang di dunia pendidikan sebagai modus.

Realitas ini menunjukkan kasus TPPO sudah bermetamorfosis dalam beberapa bentuk.

Kasus serupa juga banyak ditemui di wilayah lain yang tersebar di seluruh Indonesia.

Seperti dikutip dari news.detik.com (22/11/2024), Bareskrim Polri bersama seluruh jajarannya, sepanjang periode 22 Oktober sampai 22 November 2024 telah berhasil mengungkap jaringan TPPO sebanyak 397 kasus dengan tersangka 482 orang dan
berhasil menyelamatkan 904 orang.

Jika melihat fakta yang ada, kasus TPPO terindikasi terkait eksploitasi Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan eksploitasi seksual. Iming-iming pekerjaan menjadi madu yang ditawarkan oleh pelaku.

Hal ini sangat relate dengan kondisi rakyat yang sangat butuh pekerjaan di tengah PHK besar-besaran dan sulitnya memperoleh pekerjaan.

Oleh karenanya, jika ada tawaran pekerjaan, orang sangat mudah tergiur untuk mengambil peluang tersebut.

Kapitalisme Gagal Menjamin Kesejahteraan

Jika ditelisik kasus-kasus TPPO dan berbagai kasus lainnya di negeri ini, publik menduga kuat terjadi kesalahan sistemik.

Berbagai regulasi yang ada seakan tidak mampu mereduksi problem yang ada, bahkan makin marak dan cakupannya makin meluas.

Kondisi ini perlu dievaluasi bersama dan dianalisis akar masalahnya serta dirumuskan solusinya. Tentu saja butuh analisis yang cerdas dan cemerlang, agar langkah yang ditempuh tepat.

Sehubungan dengan hal tersebut, penulis menilai kasus TPPO di negeri ini makin marak disebabkan karena beberapa faktor.

Pertama, rendahnya serapan tenaga kerja. Tak dimungkiri, pasca pandemi Covid-19, perekonomian global terpuruk. Hal tersebut berimbas pula pada kondisi ekonomi Indonesia.

Industri banyak yang tumbang dan terpaksa merumahkan karyawannya. Banyaknya pengangguran akibat PHK besar-besaran tak dapat dielakkan. Artinya, serapan tenaga kerja makin tak menentu.

Kedua, daya beli masyarakat merosot. Kondisi ekonomi yang gonjang-ganjing membuat harga-harga melonjak.

Baik kebutuhan pokok maupun kebutuhan strategis lainnya. Terlebih wacana kenaikan pajak 12 persen.

Sempurnalah penderitaan rakyat di tengah sulitnya memenuhi kebutuhan hidup.

Tervalidasi dengan meningkatnya angka kemiskinan di beberapa wilayah di Indonesia. Hal ini membuat rakyat mudah menerima tawaran kerja dari pihak lain, tanpa pikir panjang.

Ketiga, solusi pragmatis. Beragam problem yang terjadi, termasuk kasus TPPO disikapi negara dengan membuat regulasi.

Namun, sejauh ini tidak terlihat perubahan yang signifikan. Bahkan, realitasnya terjadi kenaikan kasus seperti yang terdata di atas.

Artinya regulasi yang dijalankan tidak solutif. Tersebab, solusi yang ditawarkan bersifat pragmatis.

Sibuk menyolusi dampak di hilir, tetapi tidak melihat akar masalah di hulu. Akibatnya, bagai buah simalakama. 

Keempat, sanksi yang tidak tegas. Sistem yang diterapkan dalam suatu negara menjadi tolok ukur seperti apa sanksi yang akan diberlakukan.

Di mana Indonesia mengadopsi sistem demokrasi sebagai sistem pemerintahannya yang sarat dengan sistem
transaksional.

Jadilah idiom bahwa hukum bisa dibeli seolah benar adanya. Publik pun kerap kali kecewa dengan proses hukum yang terjadi.

Terlihat hukum hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Kondisi tersebut membuat pelaku kejahatan tidak mampu diberangus sampai tuntas. Bahkan sebagian kebal hukum.

Inilah konsekuensi penerapan sistem Kapitalisme yang berasaskan sekularisme. Sistem yang lahir dari rahim yang rusak, meniscayakan kerusakan.

Sebuah sistem yang menegasikan peran Sang Pencipta sehingga manusia tidak takut berbuat kejahatan.

Wajar jika beraneka kerusakan masih terus terjadi. Bahkan makin marak. Pertanyaannya, adakah sistem yang mampu mengayomi rakyat dalam semua aspek kehidupan?

Jawabannya, tentu saja ada dan sudah terbukti dalam rentang waktu 13 abad lamanya.

Sistem Mumpuni

Terkait pengurusan rakyat, sistem Islam punya aturan yang sangat detail. Dalam hal ini, negara diamanahi oleh syariat untuk melaksanakan seluruh urusan rakyat.

Baik kebutuhan pokok individu; mencakup kebutuhan pangan, sandang, dan papan/perumahan.

Maupun kebutuhan pokok publik, yakni pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Semuanya dijamin oleh negara secara murah, bahkan gratis.

Lalu, bagaimana mekanisme sistem Islam dalam menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok tersebut?

Di antara instrumen yang digunakan adalah menggunakan sistem ekonomi Islam berbasis syariah.

Tidak dikenal transaksi ribawi dan atau akad-akad yang rusak/batil. Semua transaksi, baik dalam negeri maupun luar negeri terikat dengan hukum syarak.

Selain itu, sistem ekonomi Islam menjadikan kepemilikan harta ke dalam 3 kategori, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.

Masing-masing kepemilikan tersebut dikelola sesuai peruntukannya.

Misal kepemilikan umum, wajib dikelola oleh negara dan dikembalikan untuk kepentingan seluruh rakyat, baik diberikan secara langsung maupun dalam bentuk fasilitas umum.

Tidak boleh dimiliki/dikuasai oleh seseorang (swasta), apalagi asing/aseng.

Dalilnya sabda Nabi Muhammad saw. yang menyatakan: “Kaum muslimin berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara yaitu: padang rumput, air dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Selanjutnya diqiyaskan dengan tiga barang tersebut adalah semua barang yang menjadi hajat hidup orang banyak.

Maka dari itu, yang menjadi milik umum tidak terbatas hanya tiga barang yang tersebut dalam hadis di atas -yakni padang rumput (termasuk hutan), air, dan api (termasuk energi seperti minyak, gas, listrik, batubara, dll)- melainkan juga semua barang tambang seperti emas, perak, nikel, tembaga, dll. yang memiliki deposit yang besar.

Terkait upaya meminimalkan pelaku kejahatan, Islam memberikan sanksi yang tegas.

Namun, sepanjang peradaban Islam diterapkan selama 1300 tahun lamanya, kriminalitas sangat minim.

Hal ini sangat logis karena seluruh kebutuhan rakyat terpenuhi, sehingga kesejahteraan melingkupi seluruh rakyat.

Yakinlah jika menerapkan seluruh aturan Sang Pencipta, maka ketakwaan individu tercipta dan kriminalitas akan musnah. Insyaallah! Wallahua’lam bis Showab.

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved