Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Ujian Nasional, Masih Relevankah?

Salah satu perubahan besar dilakukan oleh Menteri Pendidikan di era Jokowi yang menghapus Ujian Nasional (UN) pada tahun 2021.

Editor: Sudirman
Ist
Muhammad Syafitra S Pd, Guru SMA Islam Athirah Bukit Baruga 

Oleh : Muhammad Syafitra S Pd

Guru SMA Islam Athirah Bukit Baruga

TRIBUN-TIMUR.COM - Pendidikan di Indonesia terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, pergantian Menteri telah merubah berbagai kebijakan, kurikulum hingga metode penilaian.

Salah satu perubahan besar dilakukan oleh Menteri Pendidikan di era Jokowi yang menghapus Ujian Nasional (UN) pada tahun 2021, yang digantikan oleh Asesmen Nasional.

Pergantian Menteri di era Prabowo saat ini memunculkan wacana akan memberlakukan kembali ujian nasional. Wacana itu memunculkan pro dan kontra dikalangan masyarakat apakah hal itu masih relevan atau tidak terhadap kurikulum merdeka saat ini yang berlaku.

Ujian nasional pertama kali diberlakukan pada tahun 2003 sebagai pengganti dari evaluasi belajar tahap akhir nasional yang sudah terlebih dahulu diterapkan.

Ujian ini bertujuan untuk mengukur pencapaian belajar siswa secara nasional dan dianggap sebagai alat ukur standar kualitas Pendidikan di Indonesia.

Namun, sering berjalannya waktu ujian nasional dianggap hanya berfokus pada hasil, bukan pada proses.

Bagi yang mendukung Ujian Nasionl, dianggap memiliki nilai postif, yaitu dapat memberikan standar Pendidikan yang merata di seluruh Indonesia.

Selain itu,ujian nasional dapat berfungsi sebagai alat ukur objektif dalam menilai sejauh mana pemahaman siswa terhadap materi yang telah diajarkan di sekolah.

Namun,banyak pihak berpendapat bahwa ujian nasional hanya mengukur kemampuan siswa dalam menghafal dan menjawab soal-soal berbasis pengetahuan tertulis, tanpa memperhitungkan aspek penting lainnya seperti kreativitas, keterampilan sosial, atau kemampuan berpikir kritis. 

Dalam sistem yang sangat terpusat ini, para siswa lebih cenderung terjebak dalam pola belajar untuk ujian, ketimbang mengembangkan keterampilan yang lebih aplikatif dan relevan dengan kebutuhan dunia kerja atau kehidupan sehari-hari.

Dampak dari segi psikologi pun menjadi pertimbangan, tekanan untuk lulus pada ujian nasional menjadi beban berat siswa, terutama bagi siswa yang memiliki kemampuan akademik yang rendah atau memiliki keterbatasn untuk mengakses sumber daya pendidikan yang memadai.

Kurikulum merdeka yang menggunakan pendekatan teori konstruktivistik akan tidak sesuai jika ujian nasional itu akan diterapkan dengan metode yang sama pada masa itu.

Konstuktivistik, dapat diartikan sebagai teroi yang bersifat membangun. Dalam konteks pembelajaran , konstruktivistik bertujuan untuk membangun kemampuan dan pemahaman siswa selama proses pembelajaran.

Sifat membangun ini mencerminkan untuk merangsang keaktifan siswa dan memungkinkan mereka mengembangkan pemahaman secara mandiri.

Dalam buku teori teori pendidikan, pandangan Hill, menilai teori konstruktivistik tidak hanya memahami informasi, tapi bagaimana siswa dapat menciptakan, mengombinasikan dan menerapkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari hari.

Dengan kata lain, Upaya tersebut untuk menghasilkan sesuatu dari apa yang dipelajari.

Asumsi teroi konstruktivistik dapat digambarkan manusia dianggap sebagai siswa aktif yang secara berkelanjutan mengembangkan pengetahuan untuk mereka sendiri.

Dalam konteks ini, siswa diberikan kebebasan untuk mengembangkan pemahaman mereka peroleh melalui berbagai metode, Latihan, eksperimen dan diskusi dengan sesama siswa .

Dengan diberikan keleluasaan tersebut, diharapkan ilmu yang dimiliki dapat terus berkembang dan bertambah seiring waktu.

Teori ini memberikan keluasan kepada pengajar untuk tidak berpusat pada dirinya tapi dititikberatkan pada siswa untuk secara aktif mencari pengetahuan dari berbagai sumber.

Dalam konteks ini, seorang pendidik diharapkan untuk menjadi lebih proaktif dan menarik dalam penyampaian materi.

Pendekatan konstruktivistik yang digunakan oleh kurikulum merdeka berbanding terbalikdengan ujian nasional yang berfokus pada hasil pembelajaran.

Apabila ujian nasional ini  kembali diberlakukan dengan metode yang sama pada tahun tahun sebelumnya akan membuat keguncangan emosi pada siswa dan pengajar yang sudah terlanjur dengan kurikulum merdeka.

Kecuali, ujian nasional itu diterapkan meotde baru untuk mengevalusi siswa. Dikutip dari berbagai sumber, Singapura menjadi negara tetangga Indonesia masih menerapkan ujian nasional di setiap jenjang pendidikan.

Singapura menerapkan ujian nasional untuk mengukur pencapaian siswa, mulai dari sekolah dasar hingga masuk universitas. Siswa harus mengikuti Singapore Cambridge General Certificate of Education Advanced Level untuk menghitung nilai ujian masuk unversitas untuk masuk ke perguruan tinggi.

Sedangkan untuk siswa kelas 6 akan mengikuti ujian Primary School Leaving Examination.

Ujian ini menjadi syarat masuk ke sekolah menegah. Pada ujian itu, siswa akan di nilai kemampuan dasar di bidang matematika,Bahasa inggris, ilmu pengetahuan alam dan bahasa ibu.

Sementara itu, Finlandia dikenal sebagai sistem pendidikan terbaik di dunia. Sistem pendidikannya mengusung kurikulum yang fokus pada perkembangan anak sebagai pembelajar
seumur hidup.

Di Finlandia, pemerintah sangat serius membangun pendidikan selama beberapa dekade terakhir. Proses ini bukanlah hal instan. Sebab, transformasi sistem pendidikan Finlandia dimulai sekitar 40 tahun yang lalu.

Dikutip dari berbagai sumber, di negara itu tidak ada sistem rangking bahkan tidak memilki tes atau ujian yang diwajibkan kecuali satu ujian pada akhir tahun terakhir siswa di sekolah menengah atas.

Selain itu, tidak ada juga pemeringkatan. Hal ini yang membuat kualitas siswa di negara itu bisa berkembang secara maksimal. Sebab, tidak ada perbandingan atau persaiangan antar siswa,sekolah atau daerah.

Oleh karena itu, penerapan ujian nasional sah sah saja dilakuakn asalkan bukan dijadikan satu satunya alat penentu kelulusan siswa.

Jika ujian nasional dijadikan syarat kelulusan, siswa sering kali merasakan tekanan berlebih. Ini bisa mengganggu Kesehatan mental mereka dan membuat pembelajaran terasa seperti beban.

Selain itu, ujian nasional lebih tepat jika difokuskan sebagai evaluasi mutu pendidikan dan kompetensi siswa di setiap daerah.

Hasil ujian ini bisa djadikan data untuk menentukan kebijakan peningkatan kualitas pendidikan.(*)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved