Opini
Jokowi Berakhir Happy Ending
Jokowi adalah Kepala Negara RI kedua selain SBY, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, meninggalkan Istana Negara cara “happy ending”.
Jokowi sediakala dikira lugu, kelak faktanya jauh sebaliknya terjadi, semata kedok, modus pencitraan.
Tetapi apapun tu, dibalik cerca dan cacian atas kinerjanya yang dituding amburadul, namun jelang akhir masa jabatannya yang “happy ending”, survey menemukan 80 persen rakyat Indonesia puas dengan kinerja Jokowi.
Bahkan paling spektakuler yang tak pernah terjadi pada enam presiden sebelumnya, ekor jas “coattail effect” Jokowi berhasil menghantar Prabowo Subianto serta putranya, jadi penerus.
Amandemen Konstitusi
Jokowi serta SBY, sama-sama dua periode memangku jabatan Presiden RI.
Juga sama-sama terpilih, tidak sama seperti lima presiden sebelumnya dari sokongan voting suara mayoritas Anggota MPR-RI. Keduanya terpilih lewat Pilpres Langsung, suara mayoritas rakyat Indonesia sebagai konsokuensi atas amandemen ke-4 UUD 1945.
Amandemen konstitusi dalam Sidang Umum MPR 2002, menggeser system ketatanegaraan secara radikal. Lembaga legislative yang menganut “mono-cameral”, digeser dua pintu “bi-cameral”.
Sementara kelembagaan eksekutif, jika sebelumnya “Semi Presidensial”, digeser menjadi “Presidensial Murni“.
Tujuan idialnya, mengimplementasikan Trias Politica secara konsisten, demi “check and balances”. Saling kontrol antar sesama lembaga tinggi negara.
Sisi lain, MPR sebagai lembaga tertinggi yang “super body”, kedudukannya digeser hanya jadi lembaga tinggi.
Maka MPR tak dapat lagi memintai pertanggungjawaban serta melengserkan presiden dalam kedudukan sebagai mandataris MPR. Seperti sejarah mencatat, tiga presiden sebelumnya; Soekarno, Soeharto dan Gus Dur, dilengserkan lewat Sidang Umum MPR.
Sebaliknya, itulah dalih kenapa Jokowi dan SBY menunai jabatan hingga akhir masa jabatan, serta berakhir “happy ending”, karena kedudukan presiden bukan lagi mandataris di bawah MPR, tapi setara sesama lembaga tinggi.
Presiden pula tak lagi dipilih dan bertanggungjawab lewat Sidang Umum MPR, tapi pada rakyat yang memilihnya. Tanpa kecuali memberhentikan dengan segala syarat-syaratnya yang serba rumit dan berliku.
Maka, sejauh amandemen ke-4 UUD 1945 tak dirubah, bisa dipastikan jika tak hanya Jokowi dan SBY, tapi juga Prabowo yang sekian hari lalu mengucap sumpah dan janji, serta presiden selanjutnya, pula kelak akan berakhir “happy ending”.
Meski kinerjanya tidak becus, seperti ditudingkan pada Jokowi.
Terhadap persoalan ini, banyak pihak -- tak kecuali saat itu Ketua DPD-RI La Nyalla Mattalitti, disokong Ketua MPR-RI Bambang Soesatyo -- meminta UUD 1945, diamandemen sekali lagi.
Sekurangnya, kembali ke UUD 1945 secara murni. Dalihnya, Presidensial Murni menjadikan kedudukan presiden “full power” tanpa ada kekuatan penyeimbang yang efektif mengontrol.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.