Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Quo Vadis Bahasa Daerah di Era Digital dan Generasi Z: Nasib Bahasa Daerah dalam Arus Modernisasi

Topik mengenai "Quo Vadis Bahasa di Era Digital dan Generasi Z: Nasib Bahasa Daerah dalam Arus Modernisasi" menjadi semakin relevan untuk dibahas.

Editor: Edi Sumardi
DOK PRIBADI
Wakil Rektor Bidang Adminstrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan IAIN Palopo, Dr Masruddin SS MHum 

Dr Masruddin SS MHum

Wakil Rektor Bidang Adminstrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan IAIN Palopo

TRIBUN-TIMUR.COM - Seiring dengan peringatan Bulan Bahasa yang resmi dibuka pada 1 Oktober 2024, topik mengenai "Quo Vadis Bahasa di Era Digital dan Generasi Z: Nasib Bahasa Daerah dalam Arus Modernisasi" menjadi semakin relevan untuk dibahas.

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan dominasi bahasa global seperti bahasa Inggris di dunia maya, terdapat kekhawatiran yang nyata terkait eksistensi bahasa daerah.

Generasi Z, yang lahir dan tumbuh di era digital, lebih sering menggunakan bahasa internasional dan bahasa gaul dalam interaksi sehari-hari, khususnya di media sosial.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang masa depan bahasa daerah yang tampak semakin terpinggirkan di tengah arus modernisasi.

Bahasa, lebih dari sekadar alat komunikasi, merupakan bagian integral dari identitas budaya suatu bangsa.

Bahasa menjadi medium untuk meneruskan nilai-nilai, pengetahuan, dan warisan budaya dari generasi ke generasi. 

Namun, di tengah derasnya arus globalisasi yang semakin kuat, bahasa-bahasa, khususnya bahasa daerah, menghadapi tantangan besar untuk tetap eksis.

Kemajuan teknologi, yang semakin mempermudah akses informasi dan komunikasi, secara bersamaan juga menciptakan tekanan besar terhadap penggunaan bahasa lokal yang mulai tergeser oleh bahasa global.

Bahasa di Era Digital: Transformasi atau Degradasi?

Era digital membawa dampak yang signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk penggunaan bahasa.

Dengan akses yang begitu mudah terhadap teknologi, media sosial, dan aplikasi komunikasi, pola penggunaan bahasa mengalami perubahan yang sangat cepat dan dinamis.

Generasi Z, yang tumbuh bersama teknologi ini, sering kali menggunakan platform digital seperti Instagram, Twitter, TikTok, dan YouTube sebagai sarana utama untuk berkomunikasi. 

Namun, implikasi dari penggunaan media sosial dan bahasa digital ini terhadap keberlangsungan bahasa, terutama bahasa formal dan bahasa daerah, perlu menjadi perhatian.

Di satu sisi, digitalisasi menawarkan peluang besar untuk pelestarian bahasa.

Aplikasi terjemahan daring, kamus digital, hingga media sosial dapat menjadi jembatan untuk memperkenalkan bahasa daerah kepada khalayak yang lebih luas.

Bahasa-bahasa yang sebelumnya terbatas pada komunitas tertentu kini bisa diakses oleh siapa saja melalui internet.

Hal ini membawa potensi besar untuk mendokumentasikan dan memperluas cakupan bahasa daerah, yang pada akhirnya dapat mendukung upaya pelestarian budaya lokal di era global.

Namun, di sisi lain, era digital juga menghadirkan tantangan serius. Bahasa yang digunakan dalam media sosial cenderung bersifat instan, praktis, dan sering kali menyimpang dari kaidah tata bahasa yang benar.

Maraknya penggunaan singkatan, akronim, dan campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, atau yang lebih dikenal sebagai "bahasa gaul" dan "bahasa alay," dapat mereduksi keindahan dan kedalaman bahasa itu sendiri. 

Jika fenomena ini tidak diimbangi dengan penguatan penggunaan bahasa formal dan bahasa daerah, bukan tidak mungkin ke depan kita akan menghadapi penurunan kualitas berbahasa yang signifikan.

Selain itu, bahasa di media sosial sering kali mengabaikan struktur gramatikal yang benar.

Kecenderungan untuk menggunakan kata-kata yang singkat dan sederhana demi efektivitas komunikasi mengurangi kedalaman berbahasa.

Padahal, dalam bahasa, struktur dan tata bahasa yang benar merupakan pondasi penting dalam menjaga kekayaan linguistik dan makna yang terkandung di dalamnya.

Jika kebiasaan ini terus berlanjut, terutama di kalangan generasi muda yang belum sepenuhnya memahami kaidah bahasa, akan ada risiko yang nyata terhadap kelangsungan bahasa formal dan bahasa daerah di masa depan.

Generasi Z dan Tantangan Pelestarian Bahasa Daerah

Generasi Z, yang hidup di tengah arus globalisasi dan perkembangan teknologi yang pesat, menghadapi tantangan besar dalam menjaga kelangsungan bahasa daerah.

Sebagai generasi yang tumbuh dengan keterhubungan yang instan melalui teknologi, mereka cenderung lebih dinamis, serba cepat, dan bergantung pada teknologi dalam berkomunikasi.

Kondisi ini menimbulkan dilema yang signifikan bagi bahasa daerah, yang semakin jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

UNESCO mencatat bahwa dari sekitar 7.000 bahasa yang ada di dunia, hampir separuhnya berisiko punah, dan mayoritas dari bahasa tersebut adalah bahasa daerah.

Di Indonesia, yang dikenal dengan kekayaan bahasa dan budayanya, banyak bahasa daerah mulai mengalami penurunan jumlah penuturnya.

Salah satu penyebab utama adalah kurangnya regenerasi, di mana orang tua tidak lagi mengajarkan bahasa daerah kepada anak-anak mereka.

Dalam keluarga-keluarga urban, bahasa daerah bahkan sering kali dianggap tidak relevan di tengah tuntutan untuk menguasai bahasa asing yang lebih berdaya guna dalam karier dan pendidikan.

Namun, tantangan ini bukan berarti tanpa solusi.

Di balik ancaman yang dihadapi bahasa daerah, teknologi juga dapat menjadi alat yang kuat untuk melestarikan dan menghidupkan kembali bahasa lokal.

Berbagai inovasi digital dapat dimanfaatkan untuk memperkenalkan dan mengajarkan bahasa daerah kepada generasi muda. 

Aplikasi pembelajaran bahasa, kanal YouTube yang berisi konten-konten edukatif berbahasa daerah, serta media sosial yang digunakan untuk mempromosikan budaya lokal merupakan langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk menjaga keberlangsungan bahasa daerah di era modern.

Bahasa Daerah sebagai Pilar Identitas di Tengah Arus Globalisasi

Di tengah dominasi bahasa global, seperti bahasa Inggris yang kini menjadi lingua franca dunia, bahasa daerah menghadapi tantangan besar untuk tetap relevan.

Dalam dunia bisnis, pendidikan, hingga diplomasi, penguasaan bahasa Inggris memang semakin mendesak.

Namun, penting untuk diingat bahwa bahasa daerah bukan hanya alat komunikasi, melainkan juga pembawa identitas budaya.

Bahasa menyimpan kearifan lokal, nilai-nilai tradisional, serta sejarah panjang suatu komunitas.

 Kehilangan bahasa daerah berarti kehilangan sebagian dari warisan budaya tersebut.

Dalam konteks ini, upaya untuk melestarikan bahasa daerah tidak dapat dibiarkan hanya pada komunitas lokal.

Pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat luas perlu berkolaborasi untuk memastikan bahwa bahasa daerah tetap hidup dan berkembang. 

Pengajaran bahasa daerah di sekolah, penyelenggaraan acara kebudayaan yang menggunakan bahasa lokal, serta promosi bahasa melalui media digital merupakan langkah-langkah penting yang dapat diambil.

Masa Depan Bahasa di Tangan Generasi Z

Pertanyaan “Quo vadis bahasa?” mengarahkan kita pada keraguan tentang masa depan bahasa di era digital dan globalisasi.

Namun, dengan langkah-langkah strategis yang tepat, bahasa formal, bahasa daerah, dan kekayaan linguistik kita masih memiliki peluang besar untuk tetap hidup dan berkembang.

Generasi Z, meskipun dihadapkan pada tantangan besar dari kemajuan teknologi, juga memiliki kesempatan besar untuk menjadi generasi yang melestarikan dan memperkuat bahasa daerah.

Melalui kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, komunitas lokal, dan teknologi digital, generasi ini dapat memastikan bahwa bahasa tetap menjadi pilar identitas budaya dan sarana komunikasi yang kaya makna di era modern ini.(*)

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved