Opini
Sense of Crisis untuk Pemerintahan Baru
Ditengah situasi ekonomi yang penuh tantangan, pemerintahan baru dihadapkan pada krisis deflasi yang berlanjut selama lima bulan terakhir.
Oleh: Romy Nugraha
Dosen Universitas Ichsan Sidenreng Rappang
Ditengah situasi ekonomi yang penuh tantangan, pemerintahan baru dihadapkan pada krisis deflasi yang berlanjut selama lima bulan terakhir.
Menurut data BPS mengungkapkan bahwa Indonesia mengalami deflasi dimulai di bulan mei dengan angka minus 0,03 persen, Juni 0,08 persen, Juli 0,28 persen, Agustus 0,03 persen dan September 0,12 persen.
Harga barang yang terus menurun ternyata tidak menandakan pemulihan, melainkan memperlihatkan lemahnya daya beli
masyarakat.
Dengan inflasi rendah, konsumen cenderung menunda pengeluaran dengan harapan harga akan turun terus.
Dampaknya, aktivitas ekonomi akan melambat. Sektor ritel yang selama ini menjadi tumpuan konsumsi rumah tangga mulai merasakan penurunan pendapatan yang signifikan.
Menurut data Purchasing Managers Indeks (PMI) manufaktur terus mengalami penurunan di mulai maret 54,2 poin sampai September 49,2 poin, dapat diketahui bahwa sektor ritel merupakan salah satu pendongkrak barang industri manufaktur.
Data Bank Indonesia menunjukkan perkiraan penurunan indeks penjualan riil (IRP) secara nyata di beberapa kelompok seperti barang budaya dan rekreasi, sandang dan barang lain terutama kelompok makanan, minuman dan tembakau.
Belum lagi kondisi saat ini mengindikasikan bahwa kelas menengah mulai tergerus dan mengalami penurunan status ekonomi.
Apakah pemerintahan baru memiliki sense of Crisis yang cukup untuk mengatasi kondisi ini?
Sense of Crisis yaitu kesadaran bahwa kondisi genting sedang berlangsung dan memerlukan respons cepat serta tepat, sangat penting dalam situasi seperti ini.
Tanpa adanya sense of Crisis, pemerintah cenderung meremehkan sinyal sinyal ekonomi yang mengkhawatirkan, bergerak lambat dan mengeluarkan kebijakan yang tidak memadai.
Dalam konteks deflasi yang berkepanjangan, sense of Crisis harus dipandang sebagai dorongan untuk merespons penurunan daya beli, kemerosotan konsumsi dan ancaman terhadap kesejahteraan masyarakat dengan langkah langkah yang serius.
Data BPS menunjukkan yang memberi sumbangan terbesar dalam penurunan harga tersebut kelompok harga makanan minuman dan tembakau, tetapi penyebab deflasi bukan semata mata karena kelompok makanan minuman dan tembakau namun daya beli
masyarakat merupakan faktor juga yang menahan laju inflasi.
Data survei penjualan eceran agustus 2024 Bank Indonesia tinggi ditopang kelompok makanan, minuman & tembakau
(300,8) namun BI tetap memperkirakan kelompok ini akan turun di bulan September.
Kondisi ini tidak boleh di anggap remeh karena jika tren ini berlanjut bisa memperburuk situasi ekonomi dan memperpanjang periode deflasi.
Contoh nyata tidak adanya kenaikan cukai terhadap rokok, akibatnya inflasi yang di sumbangkan agak landai malah cenderung menjadi deflasi, karena ini akibat masyarakat mulai beralih dari rokok bercukai tinggi ke rokok murah atau bahkan tanpa cukai.
Ini bukan sekadar masalah preferensi, tetapi lebih merupakan cerminan dari menurunnya daya beli dan upaya masyarakat untuk mencari cara menghemat pengeluaran.
Pergeseran ini menunjukkan bahwa tekanan ekonomi telah mendorong masyarakat kelas menengah dalam kebiasaan konsumsinya.
Pemerintah perlu menyadari bahwa perubahan pola konsumsi ini adalah tanda krisis yang lebih dalam, bukan hanya sekadar penyesuaian pasar.
Kondisi ini mengindikasikan adanya penurunan status ekonomi di kalangan kelas menengah, yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
Ketika kelas menengah mulai merasakan tekanan finansial yang hebat dan menurunkan standar konsumsi mereka, dampaknya
bisa meluas ke seluruh lapisan masyarakat.
Penurunan konsumsi kelas menengah tidak hanya berdampak pada bisnis ritel, tetapi juga pada sektor lain seperti properti, otomotif, dan jasa.
Hal ini akan menciptakan efek domino yang memperparah deflasi dan mengancam kelangsungan lapangan kerja di berbagai sektor.
Pemerintahan yang baru ini dibawah kepemimpinan Prabowo Subianto yang akan dilantik 20 Oktober 2024 sebagai presiden republik Indonesia harus segera mengambil tindakan dimulai dengan Sense of Crisis bahwa keadaan satu dua tahun terakhir tidak baik baik saja.
Pertumbuhan ekonomi 5 persen tapi kurang di tunjang oleh sektor sektor menyerap tenaga kerja banyak dan berdampak luas, ditambah 9.48 Juta kelas menengah turun kasta, dan keadaan ekonomi terakhir terjebak dalam deflasi beruntun.
Sense of Crisis harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang cepat, tepat, dan menyeluruh.
Pemerintah harus segera melonggarkan kebijakan moneter untuk mendorong likuiditas dan menstimulasi konsumsi.
Selain itu, stimulus fiskal yang tertarget perlu diberikan, khususnya kepada sektor-sektor yang paling terdampak seperti ritel, industri padat karya, dan UMKM.
Pengurangan pajak dan peningkatan bantuan sosial bisa menjadi langkah awal untuk menghidupkan kembali daya beli masyarakat.
Program subsidi kepada masyarakat berpenghasilan rendah, bantuan langsung tunai, serta insentif untuk pengusaha kecil-menengah harus diprioritaskan guna menjaga stabilitas ekonomi.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.