Opini
Kampanye Hitam dan Kampanye Negatif
Salah satu gejala, bahkan bisa dibilang patologi politik, pada setiap musim kampanye adalah munculnya narasi buruk tentang seorang figur kandidat.
Oleh: Ishaq Rahman
Dosen Ilmu Hubungan Internasional, Peneliti pada Center for Peace, Conflict, and Democracy (CPCD) Universitas Hasanuddin
TRIBUN-TIMUR.COM - PILKADA serentak memasuki masa kampanye. Para pasangan calon (paslon) Walikota dan Wakil Walikota Makassar mulai beradu strategi menarik hati masyarakat.
Harapannya, pada pencoblosan tanggal 27 November 2024 nanti, sang kandidat memperoleh suara signifikan dari pemilih yang disalurkan pada 1.877 tempat pemungutan suara di 153 kelurahan di Kota Makassar.
Salah satu gejala, bahkan bisa dibilang patologi politik, pada setiap musim kampanye adalah munculnya narasi buruk tentang seorang figur kandidat.
Ada pihak-pihak yang sengaja mengangkat keburukan figur lawan, baik sifat personalnya, rekam jejaknya, relasinya, gagasannya, dan lain-lain.
Penyebarluasan narasi buruk dimaksudkan untuk mempengaruhi publik agar tidak menjatuhkan pilihan kepada figur tersebut.
Bahkan, tidak jarang dengan tujuan untuk membencinya.
Gejala ini kita kenal sebagai praktik “kampanye hitam” (black campaign), atau “kampanye negatif” (negative campaign).
Kedua istilah sering dipertukarkan, padahal ada perbedaan mendasar.
Hal yang menarik dari fenomena kampanye hitam dan kampanye negatif adalah proses membangun narasinya itu mirip-mirip proses bergosip.
Masyarakat Indonesia umumnya senang mengonsumsi berita-berita gosip.
Sehingga, sebaran berita dengan narasi negatif seperti itu pasti mempunyai pengaruh.
Hitam versus Negatif
Kampanye hitam dan kampanye negatif dapat diidentifikasi perbedaannya dari tiga aspek, yaitu: sumber, tujuan, dan validitas.
Sumber kampanye hitam itu tidak jelas. Pelakunya menggunakan identitas anonim atau palsu.
Tujuannya untuk menghancurkan reputasi seseorang. Sementara dari sisi validitas, informasi yang disebarkan tidak dapat dipastikan kebenarannya.
Kampanye hitam adalah tindak pidana, dapat (dan seharusnya) diproses hukum. Bisa dengan delik pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan, atau menyebarkan berita bohong.
Sementara sumber informasi kampanye negatif itu jelas. Biasanya dilontarkan oleh lawan politik atau pihak yang menolak kehadiran figur tertentu.
Tujuannya adalah mendiskreditkan seseorang dengan melihat kelemahan gagasannya, atau kekurangan dirinya.
Jadi, informasi yang disampaikan pada praktik kampanye negatif itu adalah hal-hal konkret dan valid, sesuatu yang benar secara faktual. Kampanye negatif lebih merupakan metode menginterpretasi fenomena.
Kita bisa membandingkan dua contoh narasi berikut, dimana hal ini benar-benar terjadi pada Pilwali Makassar 2024.
Pertama, ada fakta bahwa salah seorang calon Walikota Makassar, yaitu Munafri Arifuddin (Appi), adalah figur yang dua kali kalah dalam Pilwali Makassar.
Ia bahkan dikalahkan oleh kotak kosong pada 2018. Ketika ada kompetitor dalam Pilwali 2024 mengeksploitasi kekalahan tersebut sebagai narasi kampanye, maka hal itu merupakan “kampanye negatif”.
Orang tidak perlu menutup identitas jika akan berbicara tentang kekalahan Appi sebelumnya.
Tentu saja ini bukan narasi yang bijak, bahkan kontraproduktif. Hal-hal yang sudah diketahui umum, biasanya kurang sensasional.
Contoh kedua, beberapa hari terakhir ini beberapa konten di media sosial mengkritik sosok calon Walikota Andi Seto Asapa.
Ia dituding sebagai figur yang gagal ketika menjadi Bupati Sinjai. Ia disebut sebagai sosok tidak disiplin, sering bangun jam 11 pagi.
Ia juga dituding lebih banyak menghabiskan waktu jalan-jalan ke luar Sinjai, bahkan luar negeri, dibandingkan mengurus daerahnya. Konten-konten ini disebarkan oleh akun anonim atau akun tanpa identitas yang jelas.
Narasi kedua ini dapat dikatakan merupakan bentuk “kampanye hitam”.
Jika kita telusuri berbagai sumber terbuka, tidak ditemukan informasi faktual yang mendukung tudingan-tudingan di atas.
Padahal, sebagai pejabat publik, tuduhan seperti itu pastilah akan menjadi bahan diskusi yang luas.
Masyarakat Cerdas
Bagaimana menyikapi “kampanye negatif” dan “kampanye hitam”? Ini tentu membutuhkan strategi sendiri.
Tim kampanye yang efektif akan melengkapi diri dengan unit yang khusus menangani wacana publik. Setiap narasi yang dibicarakan oleh publik perlu dimonitor dan disiapkan respons terukur.
Masyarakat Makassar merupakan kumpulan orang-orang cerdas dan kritis. Jumlah warga berpendidikan menengah ke atas relatif tinggi, diperkirakan mencapai 55 persen dari sekitar 1,5 juta penduduk.
Tingkat melek informasi juga relatif tinggi. Indeks tingkat gemar membaca warga Kota Makassar adalah 74,14, berada pada peringkat keempat nasional, hanya berada di bawah Kota Yogyakarta (78,07), Kabupaten Sleman (74,50), dan Kota Samarinda (74,44).
Artinya, masyarakat belum tentu menerima mentah-mentah narasi dan informasi begitu saja.
Setiap isu yang dilontarkan ke ruang publik, apalagi yang mengandung unsur sensasional, pasti akan diperbincangkan oleh warga.
Informasi palsu yang disebarluaskan dengan maksud menghancurkan reputasi dan kredibilitas seseorang tidak akan diterima begitu saja, jika tidak ada fakta-fakta pendukung, atau keterangan pihak lain yang mengkonfirmasi.
Jadi, sebaiknya tim kampanye tidak menggunakan narasi kampanye hitam atau kampanye negatif. Hal itu bisa jadi akan menguntungkan figur yang diserang tersebut.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.