Opini
Kampanye Hitam dan Kampanye Negatif
Salah satu gejala, bahkan bisa dibilang patologi politik, pada setiap musim kampanye adalah munculnya narasi buruk tentang seorang figur kandidat.
Jika kita telusuri berbagai sumber terbuka, tidak ditemukan informasi faktual yang mendukung tudingan-tudingan di atas.
Padahal, sebagai pejabat publik, tuduhan seperti itu pastilah akan menjadi bahan diskusi yang luas.
Masyarakat Cerdas
Bagaimana menyikapi “kampanye negatif” dan “kampanye hitam”? Ini tentu membutuhkan strategi sendiri.
Tim kampanye yang efektif akan melengkapi diri dengan unit yang khusus menangani wacana publik. Setiap narasi yang dibicarakan oleh publik perlu dimonitor dan disiapkan respons terukur.
Masyarakat Makassar merupakan kumpulan orang-orang cerdas dan kritis. Jumlah warga berpendidikan menengah ke atas relatif tinggi, diperkirakan mencapai 55 persen dari sekitar 1,5 juta penduduk.
Tingkat melek informasi juga relatif tinggi. Indeks tingkat gemar membaca warga Kota Makassar adalah 74,14, berada pada peringkat keempat nasional, hanya berada di bawah Kota Yogyakarta (78,07), Kabupaten Sleman (74,50), dan Kota Samarinda (74,44).
Artinya, masyarakat belum tentu menerima mentah-mentah narasi dan informasi begitu saja.
Setiap isu yang dilontarkan ke ruang publik, apalagi yang mengandung unsur sensasional, pasti akan diperbincangkan oleh warga.
Informasi palsu yang disebarluaskan dengan maksud menghancurkan reputasi dan kredibilitas seseorang tidak akan diterima begitu saja, jika tidak ada fakta-fakta pendukung, atau keterangan pihak lain yang mengkonfirmasi.
Jadi, sebaiknya tim kampanye tidak menggunakan narasi kampanye hitam atau kampanye negatif. Hal itu bisa jadi akan menguntungkan figur yang diserang tersebut.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.