Opini
Dwidasawarsa Jenderal M Jusuf Pergi: Dua Misteri Tetap Misteri
Ketika Mayjen TNI Zainal Basrie Palaguna (alm.) menjabat Panglima Kodam VII Wirabuana (kini Kodam XIV Hasanuddin) (1991-1993)
Oleh: M Dahlan Abubakar
Wartawan Senior
Pengantar: Dilahirkan di Kajuara Bone 23 Juni 1928, Jenderal TNI M Jusuf berpulang pada tanggal 7 September 2004 di Makassar.
Namanya seolah hidup kembali ketika Universitas Hasanuddin menggelar Seminar Nasional “Prinsip &Karakter Bugis-Makassar “4 Ethos 4 Jusuf” di Unhas Convention Hotel, Senin (2/9/2024).
Tulisan ini tidak bermaksud ‘melupakan’ tiga Jusuf yang lain (Syekh Yusuf, Baharuddin Jusuf Habibie, dan M Jusuf Kalla), tetapi lima hari setelah seminar yang sangat luar biasa itu, salah seorang dari keempat Jusuf itu, genap 20 tahun meninggalkan kita.
Ketika Mayjen TNI Zainal Basrie Palaguna (alm.) menjabat Panglima Kodam VII Wirabuana (kini Kodam XIV Hasanuddin) (1991-1993), pada suatu kesempatan saya dan mendiang M.Fahmy Myala, bersama beliau ke Bandara Hasanuddin Mandai (yang lama).
Kami berdua mengikuti Pangdam ke Ruang VIP Bandara dan menunggu kedatangan Jenderal M Jusuf yang baru beberapa hari berhenti menjabat Ketua Badan Pengawas Keuangan (Bepeka) periode II.
Jenderal Jusuf diangkat sebagai Ketua Bepeka periode I 29 Maret 1983 dan periode II 9 Agustus 1988 untuk lima tahun berikutnya (1993).
Pak Palaguna agaknya menyiapkan mobil khusus buat “Jenderal Para Prajurit” (sesuai judul buku yang ditulis Atmadji Sumarkidjo, 2006) itu.
“Saya ada oto sendiri. Itu saja yang saya pake dengan Ibu,” ujar Jenderal Jusuf saat berjalan meninggalkan Ruang VIP Bandara didampingi Palaguna dan tampaknya dapat membaca kalau Pak Pangdam menyediakan mobil bagi beliau.
Ini hanya sekelumit tentang kesederhanaan Jenderal M.Jusuf melengkapi yang dikisahkan Pak M.Jusuf Kalla (JK) di Unhas itu.
Setahun di Udara
Jenderal TNI M.Jusuf akan selalu dikenang orang dengan gebrakannya selama menjabat Menhankam/Pangab 1978-1983.
M Jusuf merupakan pejabat yang lebih senang bekerja di lapangan. Selama 5 tahun menjabat menteri, Jenderal Bugis ini secara akumulatif lebih setahun berada di udara.
Beliau melakukan perjalanan udara selama 1.568 jam, 404 hari, 168 kali terbang, menempuh jarak 583.307 km dengan pesawat Hercules C-130 nomor lambung 1341 (komando), tulis Atmadji Sumarkidjo (Kata Hasta Pustaka, 2006).
Pada masa Jusuf menjabat Menhankam identik dengan era prajurit menikmati kesejahteraannya. Penggalan kisah ini juga diungkapkan Pak JK dalam seminar internasional di Unhas itu.
“Nah, kadang-kadang saya juga belajar sama dia (Jenderal Jusuf). Maaf, militer yang masih tugas pada waktu itu, saya kira kesejahteraan tertinggi yang dialami prajurit adalah pada masa Jenderal Jusuf menjabat Panglima ABRI. Sampai bubur, celana dalam pun diatur pembagiannya. Lengkap,” kata JK.
“Bagaimana caranya, Bapak penuhi semua?,” JK bertanya suatu saat.
“Kan gampang. Kita kan tahu yang punya uang Menteri Keuangan,” kata Jenderal Jusuf seperti ditirukan JK.
Jadi, dia memboyong Menteri Keuangan dalam suatu kunjungan ke Timor Timur (Timtim) -- sebelum referendum.
“Lihat prajurit ini, sepatunya, dia minta sekian ratus juta dolar untuk memberi peluru, sepatu, dan sebagainya,” tunjuk Jusuf kepada Menteri Keuangan.
“Nanti,” jawab Menteri Keuangan.
“Ah. Tidak, saya tahu kau ada uangmu,” kata Jusuf yang kemudian apa yang diinginnya itu diadakan semua. Tetapi, kan negeri aman. Dan tidak pernah ada kasus apa pun,.seperti dia mendapat komisi.
“Pernah mendengar nggak?,” tanya JK kepada hadirin.
Pada malam yang kian laut awal tahun 1990-an sepulang dari “Pedoman Rakyat”, di dekat PLTU, seorang berseragam tentara (bukan gadungan) menyetop mobil saya.
Karena seorang diri, saya persilakan dia duduk di kursi depan sebelah kiri.
Setelah bertanya tentang lokasi tugasnya, saya pun ingat gebrakan Jenderal Jusuf terhadap kesejahteraan prajurit.
“Bagaimana kesejahteraan sekarang setelah Pak Jenderal Jusuf berhenti menjadi Menhankam?,” tanya saya.
“Ya, memang pada zaman beliau tidak ada duanya. Pada masa itulah boleh dikatakan zaman keemasan bagi para prajurit,” ujar Pak
Tentara itu dengan polos tanpa mengomentari keadaannya saat itu.
Lantaran jalan sepi, kendaraan juga meluncur cepat, tidak terasa prajurit ini sudah tiba di tujuannya, Antang.
Sekitar 500m dari rumah saya. Pertanyaan susulan yang ingin saya ajukan tidak kesampaian.
Dua misteri
Kepergian Jenderal Jusuf menitipkan dua misteri yang hingga kini tidak terjawab dan akan tetap menjadi pertanyaan tak terjawab.
Pertama, adalah makam Qahar Muadzakkar. Lantaran makamnya tidak ada, segelintir orang di Sulsel percaya bahwa Qahar Mudzakkar masih hidup.
Malah ada yang mengatakan, La Domeng, panggilan Qahar di kampungnya karena suka main domi, masih hidup dan tinggal di luar negeri.
Suatu hari pada tahun 2010 awal, saya mewawancarai Harun Rasyid Djibe (alm.), salah seorang wartawan senior yang termasuk salah seorang yang pernah meliput jalannya Operasi Kilat yang dipimpin M Jusuf.
Ketika Qahar Mudzakar tewas tertembak oleh Kopral Sadeli, pagi hari 3 Februari 1965 di tepi Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara, saat mayatnya disemayamkan di RS Pelamonia, Harun Rasyid Djibe termasuk salah seorang wartawan yang menyaksikan mayat tersebut.
Wartawan lainnya (yang saya tahu) adalah L.E.Manuhua dan B.Ph.M.Rompas (wartawan PR yang selalu ‘embeded’ -- menempel pada pasukan -- M.Jusuf selama Operasi Kilat), dan Dien Monoarfa (alm.) yang saya wawancarai, juga awal tahun 2010.
Mengetahui Harun Rasyid Djibe wartawan yang dekat dengan Jenderal Jusuf, dengan nada terdengar berkelakar (meskipun niatnya serius), saya bertanya perihal makam Qahar.
Harun Rasyid Djibe menjelaskan, ada dua helikopter yang mengudara ketika mayat Qahar diangkut pada hari itu. Namun tidak jelas helikopter mana yang berisi Qahar.
“Tetapi kami wartawan yang meliput kedatangan mayat Qahar tahu di mana dia dimakamkan. Hanya, kami sudah disumpah. Tidak boleh mengatakan kepada siapa pun,” tegas Harun Rasyid Djibe kepada saya dalam suatu wawancara di kediamannya Perumahan Fajar di Kelurahan Antang suatu sore yang membuat cerita lokasi makam Qahar tetap menjadi misteri hingga ini.
Cerita kedua, tentang Surat Perintah 11 Maret 1966. Ini pun dikisahkan Pak JK dalam seminar itu. Saya kutipkan cerita Pak JK.
“Sekali waktu, Jenderal Jusuf mengatakan kepada saya. Kau mau lihat itu Super Semar. Kau datang besok sore di rumah di Jakarta,” kata Jenderal Jusuf yang dikabulkan Pak JK keesokan hari.
“Ah…nanti kau cerita lagi, tidak usah kau lihat,” kata Jusuf yang tiba-tiba berubah pikiran seperti ditirukan JK.
Atmadji Sukarkidjo juga menulis kisah Pak JK ini di halaman 185 bukunya.
“Tidak banyak yang tahu bahwa Jusuf pernah memanggil pengusaha M.Jusuf Kalla (waktu buku ini terbit, menjabat Wakil Presiden RI) ke rumahnya untuk memperlihatkan fotokopi surat tersebut. Tetapi begitu Jusuf Kalla sudah duduk di ruang tamu dan berharap-harap cemas, M.Jusuf berubah pikiran dan berkata:”Ah….kalau aku perlihatkan sekarang, kau nanti cerita-cerita lagi”. (hlm 186).
Mei 1991, M.Jusuf yang masih menjabat Ketua Bepeka pernah menunjukkan sebuah fotokopi Surat Perintah 11 Maret 1966 kepada Atmadji Sumarkidjo dan diberikan untuk disimpan oleh pria yang kemudian menjadi penulis bukunya.
Fotokopinya sendiri tidak begitu jelas, terdiri atas dua halaman dan ada dua tanda tangan Presiden.
“Kau lihat, ini bunyi Surat Perintah yang asli,” katanya (Jusuf) singkat yang juga tidak menjelaskan dari mana dia memperoleh fotokopi, apakah dia menyimpannya. Hingga meninggal dunia, beliau sama sekali tidak mau membicarakan lagi soal fotokopi Super Semar, baik yang ia berikan maupun yang hendak diperlihatkannya kepada Pak JK. Tetapi kepada sejumlah kecil orang, M.Jusuf selalu mengatakan, surat perintah yang diberikan itu, sama dengan yang dilihatnya di Istana Bogor 11 Maret 1966. Dan, itu yang tetap menjadi misteri hingga kini, di mana naskah Super Semar yang asli itu tersimpan. (*).
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.