Opini
Pilkada dan Redemokratisasi Lokal
Kontestasi politik lokal menjadi taruhan bagi pertumbuhan demokrasi---sejalan dengan agenda Reformasi 98 dari sentralisasi politik menuju desentralisa
Iskandar
Anggota Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Kepulauan Selayar
EUFORIA dan semangat “demokratisasi lokal” di ajang pilkada terasa semakin mendekati waktunya.
Kontestasi politik lokal menjadi taruhan bagi pertumbuhan demokrasi---sejalan dengan agenda Reformasi 98 dari sentralisasi politik menuju desentralisasi politik sebagai upaya membongkar “tembok demokrasi elit” menuju demokrasi lokal.
Proses ini tentunya tidak mudah sebab transisi demokrasi juga pada akhirnya mensyaratkan penguatan regulasi sebagai basis hukum dalam proses berpolitik yang demokratis.
Dari perspektif kajian politik pemerintahan lokal, eksistensi pilkada langsung tidak lepas dari cetak biru otonomi daerah sebagai motor penggerak demokratisasi di daerah.
Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran dan pendewasaan politik rakyat yang berbuah partisipasi politik nyata dalam proses pemilihan dan pembuatan keputusan politik.
Sehingga pilkada serentak penting dikaji dari kacamata politik pemerintahan lokal melalui konsep demokrasi lokal.
Demokrasi lokal dalam pandangan ini berbeda dengan demokrasi liberal, demokrasi lokal mensyaratkan demokrasi partisipatif yang membuka ruang publik seluas-luasnya bagi semua aktor untuk merumuskan dan memutuskan kebijakan yang bersandar bagi kebutuhan rakyat.
Sejalan dengan konsep otonomi daerah yang memungkinkan tumbuhnya partisipasi luas bagi masyarakat demi mendorong kemajuan daerahnya sehingga pilihan politik diambil secara mandiri tanpa bergantung dengan pemerintah pusat.
Inilah yang kemudian disebut dengan redemokratisasi lokal.
Redemokratisasi lokal berkonsekuensi langsung terhadap perkembangan demokrasi lokal.
Dari kajian politik pemerintahan lokal, demokrasi lokal menawarkan kepada semua warga untuk mengekspresikan seluruh potensinya dengan melaksanakan kebebasan mereka termasuk identitas lokal mereka melalui praksis-praksis politik seperti pemilu dan pilkada.
Irisan dengan tahapan pemilu sangat riskan tidak saja bagi penyelenggara pemilu, namun juga bagi masyarakat di daerah.
Seiring berjalannya tahapan pemilu dan pilkada secara bersamaan, fokus penyelenggara dan masyarakat juga akan terbelah.
Pemilih di daerah dihadapkan pada dua kontestasi yang tidak berimbang, dengan derajat prestise berbeda.
Pemilu yang memasuki masa-masa puncak bisa saja memiliki pamor lebih tinggi ketimbang pilkada.
Atensi publik nasional dan lokal tertuju pada pemilu.
Alhasil, kualitas tahapan dan kualitas partisipasi pilkada menjadi taruhannya.
Sebagai praktik desentralisasi politik, pilkada dengan waktu tahapan yang pendek akan mempengaruhi mutu pendidikan dan partisipasi politik rakyat.
Pelaksanaan pilkada bagi masyarakat sendiri membutuhkan persiapan yang matang sejak masa sosialisasi.
Sosialisasi yang intensif dan masif dari pemerintah, penyelenggara pemilu, dan stakeholder agar masyarakat mengetahui kapan pilkada berlangsung.
Pentingnya fase ini ingin mendorong keinginan rakyat mengaktualisasikan dirinya secara positif dalam momen pilkada.
Menjadi tugas pemerintah dan penyelenggara pemilu mengalokasikan waktu yang cukup bagi sosialisasi.
Sosialisasi yang efektif merupakan tonggak awal bagi antusiasme lokal terhadap proses elektoral di daerah.
Begitu pula tahapan pencalonan kepala daerah dan kampanye sebagai pintu masuk partisipasi masyarakat dalam menjaring calon pemimpin yang sesuai dengan preferensi politiknya.
Jangan sampai dengan waktu yang semakin sempit lantaran mengejar masa pemilihan dan pelantikan, kampanye sebagai wujud pendidikan politik tidak terlaksana secara bertanggung jawab dan tidak accessible bagi rakyat.
Proses pencalonan dan kampanye kemudian sebatas prosedural semata dilakukan oleh kandidat peserta pemilihan tanpa memperhitungkan rakyat sebagai sasaran pendidikan politik.
Keterbatasan akses informasi dan minim pendidikan politik akibat pendeknya waktu tahapan-tahapan krusial dikhawatirkan dapat menurunkan partisipasi pemilih.
Ajang pilkada langsung yang ditujukan mendewasakan pemilih daerah secara politik akhirnya tidak terealisasi.
Sementara itu kerawanan yang kerap menghantui pilkada langsung semakin sulit dihindari.
Kuatnya corak primordialisme dan paternalistik masyarakat lokal menjadi target empuk hoaks dan hasutan-hasutan emosional berbau SARA, dibarengi nihilnya pendidikan dan literasi politik pemilih.
Ekses-ekses negatif berupa polarisasi ekstrem dan konflik horizontal sangat rawan terjadi.
Misalnya argumentasi elite politik adanya wacana mempercepat pilkada dengan alasan efektivitas tata Kelola pemerintahan dan konsolidasi kebijakan nasional dan lokal lebih menekankan sifat desentralisasi administrasi daripada desentralisasi politik, melalui penguatan demokrasi lokal.
Tujuan desentralisasi membuka keran demokratisasi lewat pilkada langsung, dengan harapan masyarakat akan melek politik hanya sekadar program regular dan agenda tambahan.
Pilkada serentak 2024 setidaknya mampu menimbang elemen demokrasi lokal sebagai bagian semangat desentralisasi.
Bahwa tujuan people empowering melalui pilkada menjadi pertimbangan utama dalam tata kelola pemilihan dan juga sebagai ajang pendidikan politik lokal.
Perlu menakar partisipasi rakyat ke arah penguatan demokrasi lokal yang mapan dan konsolidatif.
Terpenting pemerintah mensosialisasikan isu utama pilkada yang berkualitas kepada masyarakat.
Ide tentang pilkada serentak setidaknya mengakomodir suara masyarakat daerah.
Esensi demokrasi lokal dengan core business partisipasi rakyat tetap terjaga sehingga proses politik di pilkada minimal dianggap sebagai cerminan bukan demokrasi elitis belaka tetapi menjurus pada grass-root democrazy.
Sehingga pilkada serentak paling tidak bukan sebatas euforia, tetapi lebih kepada penguatan kultur serta pendidikan politik kepada rakyat---yang artinya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dan itulah substansi demokrasi.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.