Opini
Kotak Kosong dan Penghinaan Kaum Intelektual
jika kandidat yang merasa yakin bisa mengalahkan calon lain, mengapa dia dan kelompoknya ingin mendorong untuk berhadapan dengan kotak kosong?
Lalu apa hubungannya antara Pilkada Sulsel dengan zoon politician?
Tentu, menghubungkannya perlu telaah dan diskusi panjang, tetapi apa yang terjadi dan menjadi perbincangan publik dalam dua minggu terakhir di Sulsel, terkait Kotak Kosong di Pilkada, memantik warga Sulsel, termasuk kaum terdidik atau kaum intelektual.
Baca juga: Andi Sudirman - Fatmawati vs Kotak Kosong di Pilgub Sulsel Batal, PPP Sudah Siapkan Lawan Sepadan
Apakah benar Kotak Kosong itu adalah pilihan bijaksana? Atau semacam kemunduran demokrasi di Sulsel?.
Mengapa sekelompok orang atau segolongan tertentu, terutama kelompok yang ingin mendorong kandidat tertentu maju di Pilkada Sulsel, seolah-olah ingin bertarung sendiri dan hanya berhadapan dengan Kotak Kosong?
Tentu dalam demokrasi itu sah dan tidak melanggar undang-undang.
Tetapi apa iya, diantara penduduk Sulsel yang jumlahnya lebih 9 juta jiwa ini, hanya satu orang yang memiliki kapasitas menjadi Gubernur?
Dan jika kandidat yang merasa yakin bisa mengalahkan calon lain, mengapa dia dan kelompoknya ingin mendorong untuk berhadapan dengan kotak kosong?
Takut kalahkah?
Atau tidak percaya diri menghadapi calon lainnya?
Di luar pertanyaan-pertanyaan diatas, tentu disetiap kepala kita, banyak sekali pertnayaan lain yang muncul.
Tetapi bagi penulis, sebenarnya yang terjadi di Sulsel sekarang ini adalah perebutan kuasa atas ketokohan.
Ada orang atau kelompok yang merasa begitu dominan dan “ingin sekali” menjadi “yang sebagai”.
Dengan kekuatan kuasa dan kekuatan financial yang dimilikinya, dia mungkin merasa bahwa dialah “sang penentu” masa depan Sulawesi Selatan.
Dia lupa satu hal, bahwa, rakyat, terutama kaum terdidik, sedang merasa muak dengan situasi yang sedang dipertontonkan oleh kelompok-kelompok atau orang-orang yang merasa paling berhak menentukan nasib warga Sulsel.
Apa yang dilakukan oleh kelompok tersebut, yang sedang “memaksakan” untuk hanya satu pasangan calon dan kemudian ingin menghadapi kotak kosong di Pilkada Gubernur November nanti, sesungguhnya sedang menghina kaum intelektual di Sulsel.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.