Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Pilkada dan Kebangkitan Masyarakat Sipil

Pembangunan gerakan masyarakat sipil yang tangguh itu tidaklah mudah. Butuh perjuangan puluhan tahun pula untuk menggeser Orba.

Editor: Sudirman
TRIBUN-TIMUR.COM/M YAUMIL
Ketua PKB Sulsel Azhar Arsyad. 

Oleh: H. Azhar Arsyad, SH, MH

Ketua Umum DPW PKB Sulsel

TRIBUN-TIMUR.COM - Reformasi 1998 adalah buah gerakan masyarakat sipil. Setelah 32 tahun bangsa ini diperintah Orde baru (Orba) gerakan masyarakat sipil pada 1998 silam sukses menggeser rezim tak demokratis itu.

Kampus-kampus bergerak dengan dukungan masyarakat luas memaksa Orba berakhir masanya pada 98 silam.

Pembangunan gerakan masyarakat sipil yang tangguh itu tidaklah mudah. Butuh perjuangan puluhan tahun pula untuk menggeser Orba.

Perjuangan itu bergerak dari bawah ke atas disektor desa dan perkotaan.

Sejarah mencatat, tak sedikit aktor masyarakat sipil dipenjara bahkan dihilangkan dalam pergerakan membangun masyarakat sipil yang berdaulat.

Mereka adalah pejuang-pejuang berdedikasi untuk menyelamatkan bangsa ini dari kolonialisasi Orba. Dan reformasi 1998 silam adalah hasil nyata kesuksesan masyarakat sipil berjuang selama puluhan tahun lamanya.

Bangsa lalu ditata sedemikian rupa dengan arah pokok; demokratisasi. Mengapa demokratisasi?

Sebab solusi otoritarianisme Orba adalah demokratisasi. Kebebasan berpendapat dan berserikat tak lagi dibungkam dan dibatasi. Pertumbuhan lembaga-lembaga demokrasi, baik institusi formal maupun informal dibiarkan subur.

Media massa misalnya, diberi ruang bertumbuh bebas tanpa cap “subversif” seperti halnya di masa Orba.

Partai politik pun demikian adanya, tak ada lagi pembatasan hanya tiga biji parpol sahaja sebagaimana dimasa Orba berkuasa.

Maka pemilu tahun 1999 silam adalah pemilu yang ditaburi parpol beragam.

Tahun 2001, kebijakan desentralisasi ditempuh. Tujuannya, agar pemerintahan tak berjarak dengan masyarakat.

Jakarta adalah sebuah jarak pemisah dengan pembangunan massyarakat di daerah-daerah. Dalam konteks ini, pembangunan masyarakat sipil dilevel lokal merupakan judul besar desentralisasi itu.

Lalu dalam praktik politik, masyarakat sipil menjadi judul besar pula.

Pemilu 2004 dengan sistem pemilihan langsung Presiden/wakil presiden untuk pertama kalinya diterapkan.

Sistem ketatanegaraan kita dalam politik berubah drastis. Masyarakat sipil menjadi penentu pokok dalam pemilihan presiden/wakil presiden.

Setahun kemudian, yakni tahun 2005, pemilihan kepala daerah pun digelar dengan dipilih langsung oleh masyarakat.

Tentu ini moment penting bagi masyarakat sipil dalam mencari calon pemimpinnya di daerah-daerah.

Ditaraf ini, masyarakat sipil menjadi penentu pula—sebagaimana dalam pilpres—dalam menjaring calon pemimpin-pemimpin di daerah. Urgensitas masyarakat sipil tetap utama.

Namun, politik yang bergerak pelan-pelan menggerus kekuatan masyarakat sipil di daerah-daerah.

Pilkada yang digelar berefek pada terfragmentasinya kelompok masyarakat sipil. Mereka terpolarisasi mengikuti polarisasi kandidat-kandidat kepala daerah.

Kelompok masyarakat sipil di desa-desa tak lagi seikat dalam perhelatan pilkada—sebagaimana tahun 1998 silam.

Kelompok masyarakat sipil perkotaan juga tak lagi se-visi dalam gerak pilkada.

Kekuatan kedaulatan terbelah-belah. Pemecahnya, salah satunya maraknya politik uang.

Kandidat yang massif mendistribusi uangnya, sebagian besar memenangkan pilkada.

Maka kekuasaan lokal adalah kekuasaan yang membeli kedaulatan rakyat dengan lembaran uang.

Selama lima tahun, bahkan berlanjut hingga periode kedua dikelolah dengan perspektif kapital pula.

Lantas apa yang terjadi? Pemerintahan dilevel lokal tak lahir sebagai pelayan masyarakat.

Mereka cenderung melayani pemodal. Fokus mereka adalah investasi.

Disamping itu, ruang-ruang demokratis tak diciptakan, bahkan cenderung ditutup.

Sehingga, masyarakat sipil dari berbagai lapisan tak punya ruang membangun negosiasi kepentingan dengan pemerintah setempat.
Kebangkitan Masyarakat Sipil

Dengan kondisi demikian, apa yang harus dilakukan? Momentum pilkada 2024 harus dijadikan pintu membangkitkan masyarakat sipil kembali.

Kelompok masyarakat sipil harus terkonsolidasi untuk memunculkan kekuatan politiknya sebagai upaya membangun politik demokratis.

Masyarakat sipil tak boleh membiarkan kekuasaan di daerah-daerah dikelolah secara serampangan tanpa memperhitungkan bagaimana mengakomodasi kepentingan masyarakat sipil dalam program-program pembangunan dilevel lokal.

Momentum pilkada 2024 harus menjadi arena menegosiasikan kepentingan masyarakat sipil setidaknya dalam masa lima tahun.

Dengan demikian, jelang pilkada 2024 ini masyarakat sipil harus membangun skema bersama untuk meneguhkan kedaulatan oroginalanya.

Arah pergerakannya jelas untuk kemashlahatan masyarakat sipil pasca pilkada.

Mereka tak boleh lagi diibaratkan pendorong mobil mogok dalam perhelatan pilkada sebagaimana yang lalu-lalu.

Setelah mobil mogok didorong dan mesinnya menyala, mobilnya melaju tanpa menyertakan sang pendorong. Dengan demikian, kebangkitan masyarakat sipil begit perlu.

Untuk tujuan itu, perlu sejumlah prasyarat. Pertama, perlu ada inisatif pengorganisasian kelompok masyarakat sipil di seluruh daerah. Ini penting agar garis komando masyarakat sipil tak pecah-pecah sehingga memungkinkan terlerai.

Kedua, kelompok masyarakat sipil harus produktif merumuskan persoalan-persoalannya ditingkat lokal—terutama persoalan yang terkait dengan tingkat kesejahteraan dan pelayanan pemerintah.

Persoalan-persoalan ini kemudian dikonsolidasikan secara rutin hingga kemudian dijadikan sebagai alat bargaining position pada kontestan pilkada.

Ketiga, kelompok masyarakat sipil harus membangun jaringan produktif dengan sejumlah kalangan yang pro pada perjuangannya dan demokratisasi. Sejumlah kelompok strategis diantaranya; media massa, perguruan tinggi, Ormas, aktifis mahasiswa dan LSM.

Kurang lebih, begitulah seharusnya kelompok masyarakat sipil dalam mendorong kebangkitannya kembali sebagai kekuatan pokok dalam proses demokrasi yang berputar.

Momentum pilkada serentak pada November mendatang harus benar-benar dimanfaatkan bagi masyarakat sipil untuk menegosiasikan kepentingan politiknya agar dimasa datang nasibnya tak selalu seperti pendorong mobil mogok tadi.

Sebab, kesejahteraan perikehidupan tak bisa ditunggu terus menerus hingga masa tugas kepala daerah berakhir. Kesejahteraan, harus diperjuangkan bersama.

Masyarakat sipil harus bangkit dan pro aktif memperjuangkan itu—sebagaimana kontestan pilkada berjuang memenangkan kontestasi.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Nikah Massal

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved