WTP Adalah Maut
Opini WTP saat ini nampak didramatisasi dan dijadikan ‘tameng’ untuk mengelabui publik terhadap perilaku sesungguhnya di belakang panggung.
WTP Adalah Maut
Oleh: Syarif Syahrir Malle
Auditor SPI UIN Alauddin Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM - Layar hiburan tanah air kini diramaikan film genre drama keluarga mengisahkan perselingkuhan yang berakhir ‘maut’ bagi kelangsungan rumah tangga.
Hubungan istimewa si suami dan saudara si istri disembunyikan sehingga nampak samar dan tidak terdeteksi, meski pada akhirnya ketahuan dan menimbulkan malapetaka bagi keluarga.
Dalam konteks lebih luas, maut dalam rumah tangga dapat diawali dari modus: perkenalan, reunian teman sekolah, pertemanan rekan kerja, hingga alasan persaudaraan.
Lanjutan tulisan ini hendak mengulas ‘maut’ bagi instansi disebabkan hadirnya Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang tidak wajar cara dalam meraihnya.
Opini WTP saat ini nampak didramatisasi dan dijadikan ‘tameng’ untuk mengelabui publik terhadap perilaku sesungguhnya di belakang panggung dari para pejabatnya.
Nyaris setiap tahun ucapan selamat atas pencapaian opini WTP tersebar di media online hingga spanduk di jalan sudut-sudut kota.
Nampaknya risiko maut yang ditimbulkan dari hegemoni berlebihan belum disadari oleh para pejabat dan sebagian masyarakat yang awam makna dan urgensi WTP.
Dari sudut pandang ilmu audit, opini WTP secara filosofis menunjukan kualitas pertangunggjawaban pengelolaan akuntansi dan keuangan satuan kerja.
Bila laporan keuangan entitas Kementerian/Lembaga telah mendapat opini WTP, maka secara formil akuntabilitas dalam pengelolaan keuangannya telah dinilai baik dan kredibel sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).
Secara teknis Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan memberikan Opini WTP jika sistem pengendalian internal telah memadai dan tidak ada salah saji yang material pada laporan keuangan K/L.
Rentang 4 tahun terakhir, berita raihan WTP dan penangkapan oknum pimpinan serta auditor BPK terkait suap opini WTP saling mengejar rating di lini media, seperti halnya film maut di awal tulisan, yang mampu menarik animo penonton.
Anomali ini mengemuka pada kasus-kasus, seperti BTS Kominfo (2021), eks Bupati Bogor (2022), Pj Bupati Sorong (2023), eks pejabat Kementerian Pertanian (2023), hingga Proyek Tol MBZ (2024).
Citra sukses seorang kepala daerah di benak rakyat ataupun wakil rakyat di legislatif hanya menggunakan parameter WTP. Namun, benarkah WTP menandakan telah bebas dari korupsi? jawabnya tidak!
Sampai dengan saat ini belum ada indikator bahwa sebuah lembaga pemerintah baik di pusat, maupun daerah yang mendapatkan opini WTP, dapat dinyatakan dengan pemerintahan yang bersih (clean goverment).
Faktanya opini WTP itu saat ini baru sekedar memenuhi unsur-unsur pemerintahan yang baik saja (good governance).
WTP Jadi Alat Transaksi Suap
Tagline ‘WTP adalah Maut’ benar-benar tersaji gamblang di kasus eks Pejabat Kementerian Pertanian yang sidangnya masih berjalan hingga kini.
Jual beli opini WTP nampak bukan sekadar isu liar. Opini WTP disadari atau tidak akan menjadi bom waktu bagi pimpinan K/L akan citranya yang sebenarnya dalam mengelola akuntansi, penatausahaan, dan pelaporan keuangan.
Kasus transaksional opini WTP harus dijadikan pembelajaran bagi kementerian/lembaga untuk tidak perlu mengambil jalan pintas demi menggapai kebanggaan opini WTP.
Hal itu harus dicapai dengan cara yang benar, bukan dengan cara yang melanggar hukum.
Jangan sampai perburuan penghargaan atas WTP menjadi awal siklus lingkaran korupsi.
Jika oknum BPK sebagai auditor eksternal bisa dipengaruhi bahkan dapat dibeli, lalu wibawa auditor internal di kelembagaan juga bermain mata tanpa ada usaha pengawasan melekat secara internal, maka dipastikan siklus korupsi akan terjadi.
Indikatornya yakni ketika entitas kelembagaan sudah berlomba-lomba mendapatkan opini WTP.
Solusi Agar WTP Tidak Menjadi ‘maut’
BPK sebagai institusi pemberi opini, sangat perlu untuk mencegah sekecil apa pun celah terciptanya hubungan ‘istimewa’ bernuansa kolutif antara auditor dan lembaga yang diaudit.
Para penyelenggara negara, eksekutif, legislatif, BPK, bahkan rakyat sekalipun haruslah sadar sepenuhnya bahwa opini WTP bukanlah tujuan akhir.
Ia hanya intermediate target, sedangkan tujuan utamanya ialah keuangan negara dikelola sepenuhnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
Dengan kewenangan yang besar, perwakilan di setiap daerah, anggaran dan fasilitas memadai, Adagium Lord Acton yang berbunyi, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely” masih relevan untuk direnungkan tatkala kita mengetahui masih adanya oknum pejabat teras dan auditor BPK terjerat kasus suap jual beli opini WTP.
Selain audit keuangan yang terjadwal, BPK mungkin dapat melakukan mekanisme pengawasan lain dengan suprise audit (audit mendadak) di sektor yang teridenitifkasi high risk, memasifkan kembali program "Integritas: Bersama Lawan Korupsi" oleh KPK melibatkan pelatihan etika bagi pejabat publik dan pegawai negeri.
Serta melakukan kampanye publik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya maut bernama Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), khususnya dimulai dari level rumah tangga.
Penulis meyakini suami istri yang meningkat profesionalitas dan integritasnya (juga memiliki pondasi agama) akan memiliki pengendalian yang baik dan bisa mencari alternatif-alternatif penghasilan buat keluarga dari sumber yang baik dan halal.(*)
Masa Depan Penerimaan Negara Indonesia di Era Digital: Dari Pungutan ke Kepercayaan |
![]() |
---|
Bukan Rapat Biasa, Ini Strategi Cerdas Daeng Manye Mencari 'The Next Top Leader' di Takalar |
![]() |
---|
Antisipasi Krisis Air Bersih: Sinergi Pemerintah dan Masyarakat Harga Mati |
![]() |
---|
Annar: Saya Diminta Rp5 Miliar agar Bebas Hukum |
![]() |
---|
Seaplane Mengangkasa di Langit Sulawesi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.