Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Nasionalisme Kepala Daerah dalam Bahaya, Moderasi Beragama Solusinya

TIDAK lama lagi rakyat Indonesia akan menggelar pesta demokrasi dalam memilih pemimpin bangsa yakni kepala daerah di tingkat provinsi, kabupaten

Editor: Edi Sumardi
DOK PRIBADI
Sekum MUI Sulsel, Prof Muammar Bakry 

Muammar Bakry

Sekum MUI Sulsel

TIDAK lama lagi rakyat Indonesia akan menggelar pesta demokrasi dalam memilih pemimpin bangsa yakni kepala daerah di tingkat provinsi, kabupaten dan kota.

Sistem pemilihan kepala daerah secara langsung mengharuskan calon memperisapkan modal yang besar, akibat biaya kampanye dalam meraup suara konstituen.

Sebagai dampaknya, SDM yang minim cost politiknya tapi memiliki kapabilitas atau calon terbaik anak bangsa yang punya potensi, nyaris terabaikan dalam ikut berkontestasi menjadi pemimpin bangsa.

Siapa yang bermodal, punya peluang besar menjadi kepala daerah, sekalipun lupuk dari proses penjaringan dalam memastikan calon kepala daerah memiliki jiwa nasionalisme.

Satu-satunya lembaga yang paling bertanggung jawab dalam menyeleksi dan meloloskan calon adalah partai politik. Idealisme dan pragmatisme partai adalah taruhannya.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 151 Tahun 2000 Pasal 2, tidak ada menyebutkan secara ekplisit bahwa calon kepala daerah memiliki jiwa nasionalisme kecuali syarat yang menyebutkan “setia dan taat kepada NKRI dan pemerintah yang sah”.

Padahal poin ini sangat penting, karena pemimpin adalah pengayom semua warga dan rakyat tanpa melihat latar belakangnya.

Untuk menjadi pengayom, seorang pemimpin dalam hal ini kepala daerah harus memiliki jiwa nasionalisme.

Nasionalisme adalah suatu ideologi atau gerakan yang menekankan pentingnya solidaritas, kesatuan, dan identitas nasional dalam suatu negara atau kelompok masyarakat.

Memiliki rasa bangga terhadap sejarah, budaya, dan nilai-nilai bersama suatu bangsa, serta memiliki aspirasi untuk memajukan bangsa yang lebih baik.

Sangat signifikan dalam berperan untuk membentuk identitas kolektif dan memobilisasi masyarakat untuk mencapai tujuan bersama.

Namun dapat dipastikan, bahwa seorang orang yang memiliki jiwa nasionalisme adalah yang memiliki pemahaman agama yang moderat.

Tanpa pemahaman agama yang moderat, ada kekhawatiran, agama disalahmengerti dan disalahgunakan untuk diperhadap-hadapkan dengan konsep nasionalisme, kebhinekaan dan kultur budaya ataupun local wisdom.

Ada yang memahami bahwa Syariat Islam bertentangan dengan konsep state (negara).

Demikian pula kewajiban pemberlakuan syariat Islam di bumi nusantara ini adalah doktrin keagamaan yang masih melekat bagi sebagian umat Islam.

Pancasila bukanlah hal yang mutlak dan absolut, masih bisa digugat. Bagi mereka yang selalu memahami Islam dan Pancasila adalah vis a vis, mereka tidak bisa menerimanya sebagai nilai-nilai fundamental yang harus dijunjung tinggi oleh seluruh warga negara Indonesia.

Mereka menolak Pancasila sebagai prinsip-prinsip yang bersifat universal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hanya dengan menyadari NKRI dan Pancasila, lahir komitmen kebangsaan yang menjadi pilar pertama dari moderasi beragama. Hormat kepada bendera, memajang poto manusia (presiden dan wapres) adalah kesesatan karena bertentangan dengan dalil agama, demikian doktrinnya.

Kedua dan ketiga dari pilar moderasi beragama adalah toleransi dan anti kekerasan.

Sebagai kepala daerah wajib menjaga toleransi antar dan inter umat beragama, tidak memihak salah satu dari komunitas umat beragama atau sosial keagamaan, ia milik semua kelompok.

Toleran hanya bisa diwujudkan dari mereka yang memiliki pemahaman keagamaan yang inklusif, sebab pemahaman keagamaan yang ekslusif mengantar orang ekstrim memahami agama secara harfiyah dan tekstual.

Sulit menerima varian kebenaran dari pemahaman keagamaan yang berbeda-beda.

Dampak dari penolakan terhadap toleransi adalah mentolerir tindakan kekerasan, bahkan dapat dilakukan dengan atas nama agama.

Keempat dari pilar moderasi adalah menghargai budaya.

Tidak ada nasionalisme tanpa mengakomodasi nilai-nilai budaya yang hidup di tengah masyarakat sebagai suatu kebaikan.

Pilar ini menjadi hal yang paling krusial jika diperhadapkan dengan konsep beragama yang kaku, ekstrim dan radikal.

Dalil tentang bid’ah seringkali ditampilkan untuk mendeligitimasi nilai-nilai kebaikan yang bersifat lokal (local wisdom).

Padahal adat, budaya, suku dan nasionalisme adalah fitrah kemanusiaan yang mendapat pengakuan dalam sumber hukum Islam dengan beberapa istilah seperti ‘urf, ma’ruf, syu’ub, qabail, ‘adah, qaum dan lain-lain.

Betapa banyak budaya yang relevan dengan agama tertentu yang menjadi kekhasan Indonesia dan menjadi kekayaan tersendiri bagi bangsa Indonesia.

Relevansi Islam dengan budaya bangsa dan berbasis lokal seperti sarung, peci hitam, batik, tahlilan, maulidan, tabek (nilai kesopanan Bugis Makassar), wayang dan lain-lain adalah budaya yang diislamkan atau Islam yang dibudayakan.

Bukan budaya kearab-araban yang dianggap sebagai ajaran prinsip beragama.

Tanpa adat dan budaya, kita bukanlah Indonesia. Al-‘adah muhakkamah artinya adat itu menjadi sumber hukum, demikian salah satu kaidah fikih yang sangat populer.

Penghargaan terhadap budaya Islam ataupun budaya-budaya yang terkait dengan penganut agama tertentu, hanya dapat diterima oleh seorang yang nasionalis yang sudah tamat pemahaman agamanya yang benar dan moderat.

Maka untuk menjadi nasionalis, moderasi beragama solusinya!(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved