Opini
Tapera di Tengah Penderitaan Rakyat
Beragam kebijakan yang katanya untuk membantu rakyat, nyatanya malah membuat rakyat makin menderita
Tapera di Tengah Penderitaan Rakyat
Oleh: Dr Suryani Syahrir ST MT
Dosen dan Pemerhati Sosial
TRIBUN-TIMUR.COM - Belum selesai derita yang satu, kini derita baru menghadang di depan mata.
Beragam kebijakan yang katanya untuk membantu rakyat, nyatanya malah membuat rakyat makin menderita.
Baru saja publik dihebohkan dengan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang selangit.
Kini hadir Tapera, Tabungan Perumahan Rakyat yang ramai diplesetkan sebagai Tabungan Penderitaan Rakyat, Tabungan Pemaksaan Rakyat, dan kalimat lain yang senada.
Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur terkait iuran untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) Senin (25/5/2024).
Ketentuan tersebut tertuang dalam PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera. Salah satu poin utama dalam aturan tersebut adalah mewajibkan karyawan untuk menyisihkan pendapatan atau penghasilan bulanan sebesar tiga persen, yang akan digunakan untuk iuran tabungan perumahan. (kompas.com, 29/05/2024)
Dilansir dari Kompas.com (28/5/2024), rincian potongan Tapera dibebankan 0,5
persen kepada perusahaan dan 2,5 persen kepada pekerja.
Apabila pegawai merupakan pekerja mandiri (freelancer), maka pekerja harus membayarkannya secara mandiri 3 persen dari gaji.
Inilah yang membuat penolakan ramai di tengah masyarakat.
Selain pekerja dan buruh, pengusaha juga terimbas.
Adapun pekerja yang masuk dalam kriteria yang akan dipotong untuk Tapera yaitu:
Pegawai aparatur sipil negara (ASN), Calon pegawai negeri sipil (PNS), Prajurit TNI, Prajurit siswa TNI, Anggota Polri, Pejabat negara, Pekerja/buruh BUMN/BUMD, Pekerja/buruh BUMDES, Pekerja/buruh BUMswasta, Pekerja mandiri (freelancer).
Jika ditelaah secara mendalam, akan ditemui potensi-potensi yang akan menambah kesengsaraan rakyat.
Hal ini karena beragam pungutan, makin mereduksi penghasilan/pendapatan rakyat yang memang sudah kritis.
Pasalnya, harga-harga kebutuhan pokok dan kebutuhan strategis terus melambung secara periodik.
Plus penarikan pajak di hampir semua aktivitas masyarakat.
Sempurnalah penderitaan!
Diperparah jika dirunut potongan gaji buruh di Indonesia akan terlihat kezaliman
secara terang benderang.
Di antaranya potongan BPJS Ketenagakerjaan yang terdiri dari iuran Jaminan Hari Tua (JHT), Pajak Penghasilan (PPh 21), iuran BPJS Kesehatan, Jaminan Pensiun, Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Sangat wajar jika partai buruh kemudian mendesak pemerintah untuk mencabut PP Tapera.
Rumah: Kebutuhan Pokok Individu
Rumah (papan) adalah salah satu kebutuhan pokok individu selain pangan dan sandang.
Sebagai sebuah kebutuhan pokok, seyogianya negara memaksimalkan pemenuhannya.
Bukan malah menjadikannya tambahan beban buat rakyat.
Skema yang ditawarkan Tapera di atas rawan terjadinya kecurangan atau penyimpangan.
Sebagaimana yang terjadi pada kasus korupsi Asabri, Jiwasraya, dan Taspen. Pun lembaga-lembaga plat merah lainnya yang telah diketahui menjadi bancakan para “tikus berdasi” negeri ini.
Publik sudah jengah atas kompleksnya persoalan kerusakan moral yang terus
dipertontonkan.
Inilah sebenarnya paradigma yang harus dibangun di benak rakyat.
Apapun yang dilakukan jika tidak berasas pada kebenaran hakiki, pasti akan menuai kerusakan.
Hal tersebut telah terbukti di hampir semua aspek kehidupan.
Kerusakan demi kerusakan terlihat sangat jelas, berimbas pada penderitaan tak bertepi.
Perlu pula dikritisi akad-akad yang ada dalam Tapera adalah akad yang menegasikan aturan Sang Pencipta.
Muamalah yang berlandaskan pada sesuatu yang melanggar aturan-Nya, niscaya berbuah bencana.
Misal bunga atau riba yang diterapkan dalam aturan pembiayaannya.
Walau ada instrumen syariah yang disisipkan sebagai opsi, tetapi bersifat parsial.
Sehingga tetap saja tidak bisa lepas dari percikan aktivitas-aktivitas yang berpeluang melanggar aturan-Nya.
Seyogianya negara mengupayakan rumah bagi rakyatnya dengan cara yang mudah dan murah.
Sejalan dengan hal tersebut, juga memaksimalkan pemenuhan kebutuhan pokok lainnya.
Namun, karena negeri ini hidup dalam naungan sistem Kapitalisme, maka asa
itu tidak akan pernah terwujud.
Malah penderitaan demi penderitaan terus mewarnai di setiap sisi kehidupan.
Kondisi ini merupakan keniscayaan dalam sistem yang berbasis sekularisme. Sebuah sistem yang memisahkan agama dari kehidupan.
Agama hanya boleh mengatur perkara ibadah-ibadah individu.
Di sisi lain, agama tidak boleh masuk dalam ranah kehidupan publik.
Misal pendidikan, kesehatan, politik, sosial budaya, dan semisalnya.
Jadilah kehidupan semrawut akibat menggunakan aturan manusia yang sarat akan kepentingan.
Penguasa seakan hanya sibuk dengan proyek-proyek prestisius dan bagi-bagi kue
kekuasaan pasca Pemilu.
Seolah tutup mata dan telinga akan jeritan rakyat yang semakin meradang.
Lalu, akankah sistem ini terus dipertahankan? Adakah sistem alternatif yang bisa menyolusi semua problem kehidupan saat ini?
Islam Menjamin Kesejahteraan
Islam sebagai sebuah sistem kehidupan yang diadopsi oleh negara.
Mengatur semua perkara, mulai dari urusan individu rakyat hingga politik luar negeri.
Kondisi tersebut telah terbukti dalam torehan sejarah panjang peradaban Islam sekitar 1300 tahun lamanya.
Sebuah peradaban mulia yang menerapkan seluruh hukum-hukum Sang Khaliq, sehingga terwujud sebuah masyarakat yang dilingkupi kesejahteraan.
Pemenuhan kebutuhan pokok individu yakni papan/perumahan merupakan kewajiban negara.
Oleh karena itu, negara (dalam hal ini pemimpin atau khalifah) memaksimalkan
seluruh potensi yang ada.
Mengelola Sumber Daya Alam (SDA) secara mandiri dan berdaulat sebagai salah satu pemasukan harta Baitul Mal.
Dimana Baitul Mal adalah kas negara dalam mengelola harta kaum muslimin, baik pemasukan maupun pengeluarannya.
Saat yang sama, kebutuhan pokok individu lainnya yakni pangan dan sandang juga dijamin pemenuhannya sesuai syariat.
Pun kebutuhan pokok publik, yakni pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Sebab dalam pandangan syariat, negara adalah pelayan rakyat.
Sebagaimana masyhur dalam sejarah ketika khalifah Umar bin Khattab membawa sendiri gandum kepada janda miskin yang memasak batu untuk anaknya.
Adapun mekanisme Islam untuk memudahkan rakyat memiliki rumah, antara lain:
Pertama, negara harus menciptakan iklim ekonomi yang sehat, sehingga rakyat punya penghasilan yang cukup untuk memiliki rumah, baik rumah pribadi maupun rumah sewaan/kontrakan.
Selain itu, negara juga membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya
bagi laki-laki atau suami sebagai penanggung jawab penafkahan.
Dalam Islam, setiap kepala rumah tangga wajib menyediakan rumah/hunian bagi
keluarga mereka. Allah Swt. berfirman dalam QS. ath-Thalaq ayat 6 yang artinya:
”Tempatkanlah mereka (para istri) di mana saja kalian bertempat tinggal sesuai
dengan kemampuan kalian dan janganlah kalian menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka.”
Kedua, negara melarang praktik ribawi dalam jual-beli kredit perumahan. Riba untuk tujuan apapun adalah dosa besar.
Sangat berbeda dalam sistem Kapitalisme hari ini.
Banyak orang kesulitan memiliki rumah pribadi karena terhalang bunga/riba dalam kredit jual-beli rumah atauapun akad-akad batil lainnya.
Sebagian lagi terlilit utang cicilan rumah yang mengandung riba dan leasing.
Sekelumit gambaran pengelolaan sistem Islam di atas meniscayakan terciptanya
kesejahteraan.
Bukan menambah penderitaan seperti yang kita saksikan saat ini.
Takutlah kepada Sang Pencipta akan ancaman terhadap orang-orang yang mengambil harta orang lain secara paksa.
Sebagaimana yang digambarkan dalam QS. an-Nisa’ ayat 29 yang artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali melalui perdagangan atas dasar suka sama suka di antara kalian.
Janganlah kamu membunuh dirimu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Wallahua’lam bis Showab.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.