Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Pemilu 2024

Kepala Daerah Tak Netral di Pemilu Potensi Pengaruhi Pilgub, Pakar Politik Warning Bawaslu Sulsel

Keterlibatan Pj Gubernur dalam upaya memengaruhi hasil Pilpres kemarin menciptakan risiko ketidakstabilan politik yang dapat merembet ke level lokal. 

Penulis: Erlan Saputra | Editor: Sukmawati Ibrahim
Tribunews
Ilustrasi calon kepala daerah 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unismuh Makassar, Handam memperingatkan dampak dari ketidaknetralan enam Penjabat Gubernur (Pj Gubernur) dalam Pemilihan Umum (Pemilu) terhadap proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024.

Alumni S1 FISIP Universitas Hasanuddin (Unhas) itu menyoroti bahwa ketidaknetralan di level nasional memiliki potensi besar memengaruhi integritas dan keadilan dalam proses Pilkada, termasuk Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sulsel.

Menurutnya, keterlibatan Pj Gubernur dalam upaya memengaruhi hasil Pilpres kemarin menciptakan risiko ketidakstabilan politik yang dapat merembet ke level lokal. 

Hal ini dapat mengganggu proses Pilgub Sulsel dan merugikan integritas serta kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi.

"Karena hasil Pilpres kemarin, pasti akan berefek ke pilkada serentak. Parahnya lagi kalau pola bagi-bagi bansos (bantuan sosial) itu kemudian ditiru di Pilkada, termasuk Pilgub Sulsel," kata Handam kepada Tribun-Timur, Rabu (24/4/2024).

Baca juga: Jawaban Pj Gubernur Sulsel Bahtiar Disebut Tak Netral di Pilpres 2024

Handam mengungkapkan, strategi mobilisasi kepala desa (kades) dan Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Pilpres, berpotensi untuk digunakan kembali dalam Pilkada serentak.

"Proses Pemilu kemarin, seperti adanya temuan mobilisasi kades, formasi itu bisa saja dipakai untuk pilkada mendatang. Jadi saya katakan bahwa hasil produk pemilu itu akan berefek ke pilkada," kata Handam.

Ia menegaskan pentingnya perhatian Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan.

Transparansi dan pengawasan ketat perlu diterapkan untuk mencegah praktek-praktek merugikan integritas dan keadilan dalam proses Pilkada.

Namun, pertanyaan muncul mengenai sejauh mana kualitas pengawasan Bawaslu terhadap Pemilu 2024.

Baca juga: 6 Pj Gubernur Terbukti Ikut Menangkan Prabowo-Gibran, Hakim MK: Termasuk Sulsel

Sebab, ini akan berdampak pada integritas dan keadilan dalam Pilkada.

Dia menyoroti bahwa kinerja Bawaslu dalam pengawasan akan menciptakan landasan kuat bagi proses Pilkada yang berintegritas. 

Sebaliknya, kegagalan dalam melakukan pengawasan yang efektif dapat mengganggu proses Pilkada dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi.

Mantan aktivis HMI ini mengajukan pertanyaan kritis tentang peran Bawaslu.

Serta perlunya keterbukaan dan akuntabilitas dalam menjaga integritas sebagai lembaga pengawas pemilihan.

Handam juga mengajak masyarakat lebih proaktif dalam memantau dan melaporkan setiap pelanggaran yang terjadi pada Pilkada nantinya.

Dengan keterlibatan dan perhatian dari semua pihak, diharapkan bahwa Bawaslu dapat memastikan bahwa Pilkada serentak berlangsung secara adil dan demokratis.

"Tanpa adanya intervensi yang tidak sehat dari pihak-pihak yang berwenang. Ini peringatan bagi Bawaslu maupun KPU," tandasnya.

6 Pj Gubernur Terbukti Ikut Menangkan Prabowo-Gibran, Termasuk Sulsel

Dalam sidang sengketa Pilpres 2024, Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra mengungkapkan bahwa enam Penjabat (Pj) Gubernur tidak netral dalam proses pemilihan. 

Salah satu dari keenam penjabat Gubernur yang disebut adalah Penjabat Gubernur Sulawesi Selatan, Bahtiar Baharuddin.

Sementara lima di antaranya, Pj Gubernur Sumut Hassanudin, Pj Gubernur Heru Budi Hartono, Pj Gubernur Jawa Tengah Nana Sudjana, Pj Gubernur Kalbar Harisson, dan Pj Gubernur Banten Al Muktabar.

Menurut Hakim MK, Saldi Isra, mereka turut serta membantu memenangkan pasangan Capres-Cawapres nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Temuan ini meliputi pelanggaran netralitas yang mencakup penggerakan aparatur sipil negara (ASN).

Tak hanya itu, terlibat dalam pengalokasian dana desa sebagai dana kampanye, dan ajakan terbuka kepada pemilih. 

Kasus ini juga mencakup pembagian bantuan sosial (bansos) dengan menggunakan kantong yang identik dengan calon tertentu.

Serta penyelenggaraan kegiatan massal yang menunjukkan keberpihakan terhadap calon tertentu.

Penyelenggaraan kegiatan massal juga disoroti, dimana baju dan kostum yang digunakan menunjukkan keberpihakan terhadap calon tertentu.

Hakim Saldi Isra menegaskan bahwa temuannya didasarkan pada keterangan dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) serta fakta yang terungkap dalam persidangan, Senin (22/4/2024) lalu.

"Saya menemukan bahwa terdapat masalah netralitas Pj kepala daerah dan pengerahan kepala desa yang terjadi, antara lain, di Sumatera Utara, Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Sualawesi Selatan," kata Saldi Isra.

Selanjutnya, Hakim Saldi Isra juga menyebutkan bahwa ajakan memilih pasangan calon di media sosial dan gedung milik pemerintah merupakan pelanggaran tambahan terhadap netralitas. 

Praktik ini menunjukkan penggunaan sumber daya dan fasilitas publik untuk kepentingan politik tertentu, dapat merusak integritas proses demokrasi.

Hal ini menunjukkan upaya nyata untuk memengaruhi opini publik dalam proses pemilihan.

"(Terdapat temuan) ajakan memilih pasangan calon di media sosial dan gedung milik pemerintah,” tambahnya. (*)

 

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved