Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Kurikulum Ramadan

Dan seluruh ahli pendidikan sebulat suara bahwa setiap kurikulum harus termuat di dalamnya, tujuan, program, proses dan evaluasi.

Editor: Sudirman
zoom-inlihat foto Kurikulum Ramadan
Ist
Dr Ilham Kadir MA, Dosen Universitas Muhammadiyah Enrekang

Oleh: Dr Ilham Kadir MA

Dosen Universitas Muhammadiyah Enrekang

RAMADAN dapat diibaratkan dengan sebuah madrasah yang menjalankan program-program pendidikan, dan salah satu program utama setiap jenis dan jenjang pendidikan adalah kurikulum.

Dan seluruh ahli pendidikan sebulat suara bahwa setiap kurikulum harus termuat di dalamnya, tujuan, program, proses dan evaluasi.

Tulisan ini, akan memaparkan dan menjelaskan, beberapa jenis kurikulum yang seharusnya diterapkan kaum muslimin setiap kali Ramadan tiba, agar melahirkan output sebagaimana mestinya, insan bertakwa.

Ditilik dari segi bahasa kurikulum merupakan istilah dari bahasa Yunani, yaitu curir berarti pelari dan curere yang merupakan tempat berpacu.

Maka, istilah kurikulum hakikatnya berasal dari dunia olahraga pada zaman Romawi Kuno yang pada dasarnya memiliki arti sebuah jarak yang harus ditempuh oleh seorang perlari dari garis pacu hingga sampai tujuan akhir (finish), (Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2015:308).

Dalam bahasa Arab, Al-Syaibani merujuk pada beberapa kamus, antaranya, al-Qāmûs al-Muhī karya Majdiddin al-Fairuz al-Abadi, dan Muhktar as-Sihhah karya Muhammad bin Abi Bakar Abd. Qadir al-Razī.

Bahwa kurikulum diartikan dengan manhaj atau jalan terang yang dilalui oleh pendidik atau para manusia dalam kehidupannya, (Al-Syaibany, Flsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, [terj.] Jakarta: Bulan Bintang, 1979: 478).

Jika dikaitkan dengan bulan Ramadan, maka segenap ibadah yang dilaksanakan di dalamnya menjadi bagian dari kurikulum, baik itu ibadah yang jelas dan kasat mata seperti shalat, zakat, tilawah al-Qur’an, infak hingga berbagai jenis sedekah.

Ataupun ibadah yang tidak tampak, hanya pelaku dan Allah saja yang tahu, berbagai ibadah hati antara lain niat yang baik, keinginan beramal shaleh, menjalankan ibadah puasa.

Atau ibadah-ibadah lisan seperti berkata dengan perkataan yang baik, zikir, memberikan nasihat, tausiyah, dan sejenisnya, semua itu dikategorikan sebagai ibadah.

Kurikulum dimaksud di sini lebih dekat dengan definisi ‘seperangkat tugas yang harus dilakukan untuk mencapai hasil yang ditetapkan terlebih dulu’, (Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, 2015: 233).

Hasil yang ingin ditetapkan merujuk dijelaskan dalam Surah al-Baqarah ayat 183 melahirkan insan bertakwa [la’allakum tattaqūn], adapun dimaksud dengan ‘seperangat tugas’ adalah segenap ibadah yang tersaji pada bulan Ramadan, terutama yang bersifat fardhu, setidaknya ada tiga: salat, zakat, dan puasa.

Saya tidak masukkan ‘syahadat’ sebab ibadah ini berfungsi sebagai kunci untuk masuk melaksanakan keempat rukun setelahnya, walaupun jika ada orang non muslim ingin mengucap syahadat pada bulan Ramadan, tentu lebih afdal.

Itu artinya, dari lima rukun Islam, hanya ibadah Haji yang tidak dapat dilakukan pada bulan Ramadan.

Ketersediaan kurikulum tanpa melalui proses belajar yang serius, tekun, dan istiqamah juga tidak akan melahirkan lulusan Ramadan sesuai target, karena itu proses merupakan inti dari dunia belajar-mengajar.

Kita semua adalah pelajar yang ingin sukses meraih gelar takwa, kurikulum telah tersedia, para guru dari kalangan muballig, siang malam tanpa henti mengeluarkan ilmu yang mereka miliki dengan berbagai sarana dan metode.

Ibadah puasa merupakan salah satu inti segala usaha untuk menjadi insan takwa, sebab jangankan perbuatan haram, perbuatan halal bahkan menjadi ibadah di luar Ramadhan saja.

Namun jika dilaksanakan pada siang hari Ramadan dapat menjadi dosa besar.

Salah satunya adalah melakukan hubungan suami istri ‘jimak’ pada siang hari, selain terlarang, pelakunya bahkan diberi sanksi berupa harus berpuasa dua bulan berturut-turut jika melakukan perbuatan haram itu walau hanya sekali dalam sehari.

Jika melakukan dalam dua hari, akan ditambah dendanya menjadi empat bulan, dan seterusnya.

Berarti penekanannya terletak pada pengendalian diri, kemampuan mengendalikan nafsu untuk tidak melakukan segala bentuk larangan ketika puasa, pada saat yang sama harus memanfaatkan waktu untuk melaksanakan amaliyah Ramadan, atau ibadah-ibadah yang telah ditetapkan.

Hebatnya, ibadah yang dilakukan akan melahirkan pahala yang jumlahnya tak terhingga jika dibandingkan dengan ibadah yang sama dilakukan pada bulan lain.

Kata Nabi, man taqarraba bihaslah min khaer, kāna kaman addā farīdhah fīmā siwāhu, siapa saja yang melakukan ibadah sunnah pada bulan Ramadan, seakan-akan ia telah melakukan ibadah fardhu di luar Ramadan.

Waman addā fīhi farīdhah kāna Kaman addā sab’īna farīdhah, Siapa yang menegakkan ibadah fardhu di dalamnya, maka ia seakan-akan menegakkan 70 kali ibadah fardhu di luar Ramadan.

Maka, jika seorang muslim melaksanakan ibadah shalat Subuh sekali, nilainya sama dengan 70 kali ibadah Subuh di luar Ramadan, dan siapa yang menunaikan ibadah zakat harta mislanya sebanyak 2 juta rupiah.

Maka sama nilainya pahalanya jika menunaikan zakat sebanyak 140 juta rupiah di luar Ramadan.

Di sinilah titik utamanya, ibadah berlipat dengan kelipatan tak terhingga, angka-angka yang tersebut hanya merupakan nominal terendah, dan nilainya berlipat sesuai kadar keikhlasan.

Makin ikhlas, maka nilainya juga makin tinggi, dan pada tahap tertentu tak dapat dihitung lagi, hanya Allah saja yang tahu kadarnya.

Demikian pula ibadah-ibadah lainnya, seperti tilawah al-Qur’an yang memiliki nilai khusus pada bulan Ramadan, sebab dikatakan, sebagai syahrul-qur’ān, atau ‘bulan al-qur’an’ sebab di dalamnya al-Qur’an diturunkan.

Sebaliknya, untunglah mereka yang mengoptimakan Ramadan dengan membaca, memahami, merenungi, dan berupaya mengamalkan isinya sesuai kapasitas dan kemampuannya.

Sebaliknya, merugilah orang yang melewatkan Ramadan tanpa menggunakan momentum istimewa itu sebaik mungkin.

Lebih rugi lagi, jika para dai, mubalig, ustadz, guru, bahkan ulama yang hanya sibuk mengajar tapi tidak memiliki waktu bagi dirinya untuk membaca dan belajar al-Qur’an, laksana ‘lilin menerangi orang lain tapi mencelakai dirinya’.

Orang-orang berlomba mengamalkan apa yang mereka ajarkan, tapi yang mengajar tidak mampu melakukan apa yang mereka ajarkan karena terlalu sibuk mengajar dan mengajak orang lain.

Padahal guru yang baik adalah yang mampu menjadi contoh dalam mengamalkan apa yang ia telah ajarkan.

Dengan mengoptimalkan segala bentuk ibadah yang ada pada bulan Ramadan ini, memahami segenap kurikulum dan materi ajar, serta melawati rangkaian proses pembelajarana dengan mengamalkan apa yang telah dipelajari, maka hasil evaluasi akhirnya, insya Allah tidak akan mengecewakan.

Secara umum, konsep hasil sangat tergantung dari pelaksanaan proses.

Insan Bertakwa

Dalam al-Qur’an, kata ‘takwa’ dengan makna taqwā dulang sebanyak 89 kali, kata la’allakum tattaqūn diulang sebanyak 19 kali, salah satunya terdapat dalam ayat perintah berpuasa pada bulan Ramadhan (Al-Baqarah[2]: 183), selain itu taqwā dikaitkan dengan berbagai jenis amal shaleh.

Pada prinsipnya taqwā adalah perpaduan dari lima rukun Islam dan enam rukun iman serta dua rukun ihsan.

Karena itu, taqwā dibuka dengan pintu taubat dan tazkiyah--penyucian jiwa dari segala bentuk dosa—lalu dikawal dengan penuh perjuangan dilandasi keikhlasan dan ketaatan.

Taat dan ikhlas menurut Abu Bakar as-Shiddiq dan Utsman bin Affan merupakan pelaksanaan tauhid yang murni dengan jalan beribadah kepada Allah semata dan bebas dari segala bentuk syirik.

Sementara Umar bin Al-Khathab memaknai sebagai ‘setia di jalan ketaatan’, dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa taat dan ikhlas dimaknasi sebagai ‘tekun beribadah’ dan Ibnu Abbas memaknai dengan, menghidupkan sunnah dan membersihkan bid’ah’.

Jadi takwa adalah akumulasi dari nilai-nilai kebaikan dan kebajikan yang membahagiakan dan menyelamatkan, (Abu Taw Jieh, Jurnal Ramadan. Jakarta: Laznas DDII, 2014:207-208).

Karena itu, salah seorang sahabat Nabi, Abu Dzar pernah bertanya, Wahai Rasul, beri aku wasiat darimu.

‘Aku wasiatkan padamu, bertakwalah kepada Allah, karena ketakwaan itu pokok segala urusan’, jawab Nabi, (Imam Suyuthi, Jami’ al-Shaghir, III/2793).

Lalu siapakah yang layak disebut sebagai orang-orang bertakwa? Tidak sedikit ayat menjelaskan ciri-ciri orang yang bertakwa, misalnya, dalam Surah al-Baqarah ayat 3-4 disebut bahwa orang bertakwa itu: (1) beriman kepada yang ghaib; (2) mendirikan shalat; (3) menafkahkan sebahagian rezeki yang dikaruniakan padanya [zakat, infak, sedekah]; (4) percaya kepada kitab suci al-Qur’an dan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, dan (5) beriman akan adanya Hari Akhirat.

Dalam lima ayat tersebut dapat diklasifikasi bahwa ayat pertama, keempat, dan kelima, takwa dicirikan dengan iman, sedangkan ayat kedua dan ketiga takwa dicirikan dengan ihsan.

Selain itu, dalam surah Āli Imrān ayat 134-235 disebutkan bahwa ciri-ciri orang bertakwa adalah: (1) dermawan atau siap menafkahkan hartanya baik dalam keadaan lapang maupun sempit; (2) mampu menahan amarah ketika ia marah; (3) pemaaf, dan (4) selalu istighfar dan bertaubat atas dosa-dosanya.

Maka, pada penjelasan dari ayat di atas menunjukkan bahwa takwa lebih dekat dengan sifat ihsan.

Namun, dua kelompok ayat di atas dapat memberikan gambaran dalam membuat kesimpulan bahwa hakikat takwa adalah mampu memadukan secara integral antara aspek iman, Islam, dan ihsan dalam diri seorang muslim.

Maka, yang bertakwa adalah orang yang dalam waktu bersamaan menjadi muslim, mukmin, dan muhsin.

Dan, bulan Ramadhan merupakan waktu terbaik untuk membuktikan bahwa kita memang benar-benar layak keluar sebagai insan bertakwa. Selamat menunaikan ibadah Ramadan 1445 Hijriah!(*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved