Opini
Puisi dan Politik
Quote dari John Fitzgerald Kennedy, sengaja jadi kutipan pembuka tulisan ini karena sangat relevan dengan kondisi aktual bangsa kita.

Oleh: Rusdin Tompo
Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan
“Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya.”
Quote dari John Fitzgerald Kennedy, sengaja jadi kutipan pembuka tulisan ini karena sangat relevan dengan kondisi aktual bangsa kita.
Pada tanggal 14 Februari 2024, dalam hitungan hari, kita akan mengadakan Pemilihan Umum (pemilu), memilih wakil-wakil kita di parlemen, mulai dari tingkat kabupaten/kota dan provinsi, hingga DPR RI.
Pemilu serentak ini juga akan menentukan kepemimpinan nasional untuk lima tahun mendatang.
Itu karena kita akan menggunakan hak suara kita, memilih Presiden dan Wakil Presiden, menggantikan Joko Widodo-KH Mahruf Amin.
Terdapat tiga pasang Capres-Cawapres, dalam pemilu 2024 ini, yakni Anies Rasyid Baswedan - Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo - Mahfud MD.
Tulisan ini lebih sebagai pesan moral, tak terkait dengan upaya untuk meraih suara elektoral.
Komunikasi Politik
Apa yang disampaikan JFK, begitu nama Presiden Amerika Serikat ke-35 itu biasa disingkat, tentu berdasarkan pengalaman pribadinya sebagai politisi.
Dia tahu bahwa ada banyak intrik dalam politik yang dilakukan untuk mencapai tujuan.
Dia tahu, yang disuguhkan dan dilihat oleh kebanyakan dari rakyat yang awam, hanyalah panggung depan.
Sementara aktor-aktor politik, di panggung belakang, saling kasak-kusuk, bersekongkol, kongkalikong, dalam muslihat tingkat dewa, demi berebut, mempertahankan, dan berbagi kekuasaan secara culas.
JFK, yang berkuasa sejak Januari 1961 hingga November 1963, menunjukkan sifat romantik dan humanisnya melalui puisi-puisinya.
Presiden termuda (usia 43 tahun) yang terpilih saat menjabat di negara Paman Sam itu, menyampaikan pesan politiknya secara tersirat, serta menggambarkan dunia politik dengan larik-larik yang lebih indah dan emosional.
Dia sangat menyadari pentingnya seni dalam politik.
Bahwa puisi dan kesenian merupakan simbol kemanusiaan yang saling terhubung.
Puisi merupakan hasil rumusan akal budi, produk budaya, yang tidak boleh diabaikan dalam politik.
Puisi oleh JFK bahkan digunakan sebagai medium komunikasi politik.
Sastrawan, penyair, dan penulis puisi sejatinya juga membaca sikap dan gelagat para politisi (baca: penguasa), serta suasana politik yang mereka prihatinkan sesuai zamannya.
Seluruh fakta dan realitas itu lalu dipadatkan dalam diksi-diksi yang cermat dan bernas, kemudian direfleksikan dalam karya yang kritis tapi tetap puitis.
Genre dan gaya pengungkapannya bisa beragam, tergantung penciptanya, tapi kekuatan sesungguhnya ada pada pesan yang mau disampaikan.
Bacalah puisi-puisi WS Rendra, Taufiq Ismail, KH Mustofa Bisri, Joko Pinurbo, dan penyair-penyair lainnya.
Puisi-puisi sarat protes sosial, yang biasa disebut puisi pamflet, banyak dibuat oleh Wiji Thukul.
Salah satu kutipan puisinya yang paling terkenal, yakni “maka hanya ada satu kata: lawan!” (Dari Puisi “Peringatan”, dalam buku Nyanyian Akar Rumput, 2017).
Politisi Salon
Soekarno, Presiden Republik Indonesia I, juga dikenal sebagai penulis puisi dengan semangat nasionalisme yang kuat.
Bapak Proklamator yang selalu menekankan pentingnya nation and character building ini, bahkan punya satu puisi yang masih kontekstual hingga kini.
Bung Karno mengingatkan: jangan menjadi politikus salon/ lebih separo politisi kita adalah politisi salon/ yang mengenal Marhaen dari sebutannya saja (dari buku Sarinah, 1947).
Sebagaimana kita pahami, Marhaen ini oleh Bung Karno merupakan simbol rakyat jelata, potret wong cilik.
Dalam bahasa yang lebih lugas, Bung Karno, hendak berpesan agar sebagai politisi hendaknya tahu betul kondisi kehidupan dan kebutuhan rakyatnya.
Bila politisi dan penguasa on the track demi bangsa dan negara, demi kesejahteraan rakyat, maka dukungan pun akan diberikan, seperti puisi Chairil Anwar, “Persetujuan dengan Bung Karno” (H.B. Jassin, 2013).
Tokoh penyair Angkatan 45 itu, menjadikan puisi semacam kontrak sosial.
Puisi-puisi yang menyorot kezaliman, kesewenang-wenangan dan ketidakadilan merupakan perlawanan yang bukan saja sebatas rangkaian kata-kata, tapi bisa menggerakkan massa aksi.
Maman S. Mahayana, dalam buku “Jalan Puisi: Dari Nusantara ke Negeri Poci” (2006), menjelaskan bahwa puisi perlawanan itu yang ‘melahirkan’ Indonesia.
Puisi-puisi bernyali itu bagai pupuk bagi tetumbuhan, yang menghasilkan buah-buahan nan ranum.
Fungsi dan peran puisi di sini bukan lagi sebatas hasil imajinasi penulisnya, melainkan telah memberi pencerahan dan mampu menggugat kesadaran kritis pembacanya, termasuk orang-orang yang mendengar puisi itu ketika dibacakan lantang sepenuh jiwa.
Sebaliknya, politisi sendiri juga punya kemampuan retorika, dan pandai memainkan kata-kata bersayap.
Bagi seorang politisi, ini penting dikuasai agar bisa ngeles dan terhindar dari apa yang disebur dengan ‘jebakan Batman’.
Serupa tapi tak sama, sastrawan, penyair, dan penulis puisi pun punya keterampilan dan seni berbahasa seperti itu.
Sapardi Djoko Damono menyebutnya, “Bilang Begini, Maksudnya Begitu” (2006).
Tentu saja, bila politisi “bilang begini, maksudnya begitu” akan sangat berbeda dengan bahasa puisi yang menggunakan majas, metafora, dan unsur-unsur puitik lain dalam menyampaikan pesan-pesan reflektif-filosofisnya.
Sebab yang disasar dan yang mau digedor-gedor oleh puisi tersebut, bukan cuma akal yang rasional tapi hati nurani sebagai manusia.
KBBI V mengartikan “hati nurani” sebagai hati yang telah mendapat cahaya Tuhan.
Pada tataran ini, puisi menjadi seruan dan panggilan tanggung jawab, agar setiap orang mengambil peran kesejarahan sebagai manusia, sebagai anak bangsa. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.