Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Kota, Suhu Panas dan Ketimpangan Sosial

DALAM beberapa dekade terakhir, ada ratusan kota di dunia laksana terpanggang oleh sengatan panas (beat stroke).

DOK PRIBADI
Anis Kurniawan, Mahasiswa S3 Environmental Science UH, Ketua Dewan Pengawas Meranti Indonesia. 

Kota kini ibarat ruang tertutup yang pengap dan dilingkupi bola-bola api. Kota panas membakar dengan durasi lebih panjang di setiap tahunnya.

Lalu, dalam situsasi ini pula sebagian besar kota-kota di dunia dirundung ketimpangan sosial.

Kemiskinan dan tersingkirnya penduduk asli akibat alih fungsi lahan dan pembangunan yang tak menimbang keberlanjutan (sustainability).

Celakanya, warga miskin dan pinggiran adalah klister sosial paling rentan akan dampak dari gelombang suhu panas.

Pada level paling dasar, menurunnya kualitas lingkungan di perkotaan seperti kualitas udara yang buruk, sanitasi hingga akses air bersih telah memperburuk situasi.

Belum lagi adanya kelangkaan sumber daya yang berdampak pada menurunnya pendapatan per kapita, kesehatan yang terganggu hingga meningkatnya angka kriminalitas.

Ketimpangan dan kota masa depan

Pada akhirnya kita perlu memikirkan ulang bagaimana kota-kota di dunia dibangun dan bagaimana segenap kemewahannya itu justru menggerus dua hal.

Pertama, lenyapnya kekayaan tak kasat mata bernama kebudayaan (culture). Plus nilai-nilai luhur yang pernah dianut warganya berpuluh bahkan beratus tahun sebelum hasrat membangun kota dikuasai segelintir pemodal atas nama pembangunan.

Kedua, laju infrastruktur yang tak berorientasi jangka panjang dan mengebiri daya tampung lingkungan (carring capacity). Tidak sedikit kota-kota besar di dunia dibangun di atas penderitaan kelompok marginal, punahnya keanekaragaman hayati bahkan lenyapnya situs-situs bersejarah.

Untuk konteks Indonesia, kota-kota telah dikepung masalah sosial dan ekologi jauh sebelum dampak krisis iklim memperburuk situasi.

Meski demikian, tak sedikit pun menyurutkan laju urbanisasi dari waktu ke waktu.

Kota tetaplah impian dan pusat-pusat uang dihabiskan dalam semalam-dua malam.

Kita terlalu hipokrit mengakui bahwa desa-desa sedang dibangun agar pemerataan pembangunan terlaksana dan agar kota tak sesak menampung impian dari pelosok – faktanya, segala sumber daya di desa diboyong pula ke kota dengan ragam cara.

Melalui Pendidikan, gaya hidup, hingga politik yang semakin pragmatis membawa semangat urban yang individualistik.

Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved